Bogor, Jurnal Bogor
Siang itu, saya melihat Ki Batin tengah jongkok di depan alat pemanggang. Dia tampak tekun dan larut dengan kegiatan yang dilakukannya. Sebuah kihid atau kipas dari anyaman bambu terus digoyang-goyangkan berusaha menghidupkan api dari bara arang yang mulai menyala.
Namun yang membuat aneh, Ki Batin melakukan aktivitas itu di belakang rumahnya tanpa dinaungi peneduh, sehingga teriknya matahari yang pada saat itu tengah panas-panasnya langsung menerpa dirinya. Meski demikian, sahabat saya yang satu itu tampak tidak mempedulikan situasi terik yang menimpanya.
Tertarik dengan apa yang tengah dilakukannya, saya pun menghampiri sahabat saya itu. Setelah mengucapkan salam, saya pun menanyakan mengapa Ki Batin seperti tidak menghiraukan panas terik dan tidak menggunakan alat peneduh untuk memayungi dirinya.
Ki Batin memandang saya dengan mata jenakanya sambil tersenyum. Tak lama ia berkata, “Eleuh si Aa, jaman sekarang situasi panas mah biasa. Sudah banyak orang yang tidak peduli lagi. Saya lagi berlatih biar terbiasa dengan situasi panas sekarang ini,” jawabnya penuh makna seraya menaruh empat tusuk sate di atas alat pemanggang dan terus mengipasi bara yang apinya sudah mulai berkobar.
Ki Batin pun melanjutkan, saat ini sudah begitu banyak manusia yang menggelepar kepanasan karena situasi yang tidak menentu. Dikatakannya, secara kasat mata, dengan mudah kita melihat orang miskin terbiasa berada di terik matahari, sambil antri dengan tertib hanya untuk mendapatkan satu atau dua liter minyak tanah. Sedangkan orang kaya, lagi-lagi kembali ke tanah suci melakukan umrah dan rela disengat terik matahari dalam menjalankan ritual rukun Islam ke lima. “Jomplang A, tapi begitulah hidup,” ujarnya.
Tanpa sadar, saya pun ikut jongkok di hadapan alat pemanggang tanpa menghiraukan teriknya matahari yang seakan membakar kepala ini. Meski bau rambut yang terkena sinar mentari pun tercium, saya tak mempedulikan karena sangat tertarik dengan apa yang diucapkan sahabat saya yang satu itu.
Ki Batin pun menjelaskan, kenapa dirinya membakar sate di siang hari bolong. Empat tusuk sate itu, katanya, akan diberikan kepada istri dan tiga orang anaknya. “Persediaan minyak tanah di rumah sudah habis, jadi masaknya yang dibakar saja,” ucap Ki Batin.
Sambil terus mengipasi satenya, Ki Batin menuturkan, minyak tanah dan BBM semakin sulit didapat, mungkin salahsatunya karena habis diborong orang-orang kepanasan yang ingin membakar habis apa-apa yang telah membuat dirinya panas dan akhirnya mabuk.
“Lantas setelah simbol-simbol yang membuat diri mereka hangus terbakar, what next? Banggakah? Legakah? Merasa paling benar dan paling menangkah? Atau, redakah panas yang memabukkan itu? Sungguh banyak manusa menikmati keadaan kepanasan dan mabuk sekarang ini,” ujarnya sambil matanya terus menatapi sate yang mulai matang.
“Nah, satenya sudah matang, A. Mangga atuh, saya mau masuk ke dalam dulu,” ujar Ki Batin sambil menggenggam empat tusuk satenya untuk dinikmati bersama istri dan anak-anaknya. Sungguh, membakar sate lebih nikmat.
Rudi D. Sukmana
Selasa, 08 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar