Bogor, Jurnal Bogor
Siapa yang tak ingin mencicipi kemewahan citarasa kuliner ala Hotel? Mungkin sedikit orang yang menolak kelezatan menu-menu makanan dan minuman yang disajikan para Chef dan koki berpengalaman di hotel-hotel, apalagi yang berbintang.
Meski ucapan-ucapan dan perilaku hidupnya sehari-hari sedikit banyak mempengaruhi saya, Ki Batin pun tak urung terlihat sangat menikmati sajian penuh dengan citra kemewahan itu.
Menu sarapan pagi ala hotel yang disuguhkan Hotel Novotel, satu per satu dicicipi sahabat saya yang satu itu. ”Hayu, A. Kapan lagi bisa merasakan menu-menu hotel,” ujar Ki Batin menyapa saya yang tengah tertegun melihatnya.
Sejenak saya berpikir, di mana Ki Batin yang bersahaja. Di mana Ki Batin yang memandang hidup dengan penuh kesederhanaan. Ki Batin sendiri, tampak tak perduli dengan pikiran yang berkecamuk di dalam kepala saya. Ia tampak asyik mengunyak sosis daging yang terlihat begitu empuk menggiurkan.
Perlahan dengan hati-hati saya menanyakan, apakah sahabat saya itu tergoda dengan kemewahan yang kini tengah ditawarkan di hadapannya? Ki Batin tersenyum kecil. Sebuah senyuman yang khas yang selalu ia hadirkan. Ia sama sekali tidak menjawab, bahkan makin asyik menikmati sarapan paginya yang super mewah itu.
Setelah usai menikmati sarapannya, Ki Batin dengan santai mengeluarkan rokok kretek kesukaannya dan segera menyalakan rokoknya itu lalu menyeruput kopi yang telah disediakan pelayan restoran hotel. Matanya pun memandang saya yang mendadak kehilangan nafsu makan.
”Kunaon A. Makanan begini lezat kok engga doyan?” tanya Ki Batin sambil mengepulkan asap rokok. Saya mengangkat alis dan tersenyum. ”Ah, biasa saja, Kang. Saya sudah tidak selera makan,” jawab saya sekenanya.
Tanpa menghiraukan jawaban saya yang mengandung nada protes, Ki Batin melanjutkan pembicaraannya. ”Apa itu kenikmatan, A? Apakah bersantap mewah di hotel dengan menu makanan yang enak-enak merupakan kenikmatan? Bila ingin menganggap demikian, maka benar adanya,” tuturnya.
Hanya saja, lanjut Ki Batin, manusia harus dapat mensyukuri kenikmatan yang didapatkannya sama seperti mensyukuri kesengsaraan yang dialaminya. ”Kenikmatan dan kesengsaraan, keduanya merupakan ujian Gusti kepada kita. Seandainya manusia mengetahui, pasti manusia memilih untuk mendapatkan kesengsaraan,” ungkapnya.
Ki Batin pun melanjutkan, kenikmatan apa yang telah diterimanya tadi merupakan derita baginya. ”Dalam menyantap makanan tadi, sebenarnya diri saya menangis mengingat pada setiap orang yang tidak dapat menikmati makanan yang saya makan. Diri ini pun bergetar mengingat ujian kemewahan yang tengah saya hadapi ini, karena takut terlena dan lupa,” terangnya.
Adapun kenapa dirinya tampak menikmati sarapan tadi, Ki Batin menjelaskan, sarapan tadi merupakan kodrat iradat Gusti kepadanya. ”Lamun geus kodrat iradat Gusti, apa yang bisa manusa tolak? Da manusa mah ngan saukur narima jeung nyakseni wae, A,” pungkasnya.
Rudi D. Sukmana
Senin, 07 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar