Bogor, Jurnal Bogor
Malam seusai menunaikan pekerjaan rutin, saya memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki, menggunakan kedua belah kaki ciptaan-Nya yang tiada tara ini sambil menikmati suasana Kota Bogor di waktu malam.
Secara kebetulan, ketika melewati kawasan kuliner trek Jembatan Merah, saya berjumpa dengan Ki Batin tengah asyik menyantap bubur ayam di salah satu penjaja bubur ayam yang cukup banyak di kawasan itu.
Dengan perasaan gembira, saya menghampiri dan menyapa sahabat saya yang satu itu. Ki Batin seperti biasa tidak menunjukkan rasa keterkejutannya. Dengan ramah ia mempersilakan saya duduk dan langsung memesankan satu porsi bubur ayam untuk saya, meskipun saya belum mengatakan apa-apa.
Belum lagi saya membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, Ki Batin sudah menukas dengan sikapnya yang cool alias kalem. “Geus, lamun dibere rejeki ulah ditampik. Tarima bae,” katanya yang dalam Bahasa Indonesia kira-kira terjemahannya adalah, Sudahlah, kalau dikasih rejeki jangan ditolak. Terima saja.
Akhirnya, saya pun turut menyantap bubur ayam yang entah kenapa pada malam itu terasa berbeda. Lebih lezat dari biasanya. “Tumben Kang, buburnya terasa lebih enak malam ini,” sahut saya mencoba mengomentari dan membuka pembicaraan.
Ki Batin tersenyum dan mengangguk perlahan. “Keur wayahna weh, kenging kena rasana, A. Perasaan si Aa lagi enak, jadi berdampak pada makanan yang Aa santap ini,” ujar Ki Batin sambil menyantap sate usus.
“Yeuh, urang keur ngabubuy bulan, ngasangray bentang jeung nyate panon poe, A,” tambahnya lagi, mengingatkan saya kepada salah satu lagu Sunda lawas Bubuy Bulan. “Maksudnya apa tuh, Kang?” tanya saya belum mengerti.
Ki Batin tertawa perlahan mendengar pertanyaan saya. Sesaat setelah porsi bubur ayamnya habis dia lalu melanjutkan. “Ya itu, tadi kita sedang makan bubur bulan, plus sambal sangray bentang, dan sate panon poe. Eta teh, siloka, A. Panjang kalau dijabarkan, dan belum tentu habis dua hari dua malam untuk mengerti,” paparnya.
Hanya saja, lanjut Ki Batin, kalau manusia bisa ngabubuy bulan, ngasangray bentang jeung nyate panon poe, tidak ada lagi manusia yang mengusik manusia lain. “Teu aya deui golongan anu ngusik golongan laen. Da usik malik teh sajatina mah milik Gusti, A” ujarnya.
Namun, demikianlah memang dunia diciptakan, kata Ki Batin. Ada yang mengusik, ada yang terusik. “Lantas, kita mesti bagaimana, Kang? Apa yang mesti kita lakukan?” tanya saya lagi. “Eleuh, A. Pan urang teh hirup di dunia ieu ngan saukur nyakseni, A. Nyakseni. Sok atuh dikaji deui sahadat teh. Kaji ka diri, ulah kaluar, kasep,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar