Bogor, Jurnal Bogor
Minggu pagi, setelah mengajak anak-anak berolahraga di lapangan Sempur, saya sengaja mengajak bocah-bocah lucu itu pulang dengan berjalan kaki. Di perjalanan yang sempat melewati Pasar Kebon Kembang, kegiatan pasar tradisional yang dapat dilihat merupakan salah satu wisata unik yang sedikit banyak mampu menambah wawasan pengetahuan mereka.
Ketika melewati Jl. Mawar, sebuah gerobak penjaja penganan mangkal di trotoar di antara pertigaan Kota Paris dan Jl. Menteng. Tiara Aishabrina, anak saya nomor dua menarik tangan saya sambil menunjuk ke arah gerobak itu, meminta dibelikan. Nama penganan yang dijajakan memang menarik perhatian anak-anak, yakni Kue Dorayaki yang di bawahnya dicantumkan harga per satuannya Rp 500.
Kami pun segera menghampiri gerobak penjaja Kue Dorayaki itu. Penjaja kue tersebut, Abdul Majid menyambut dengan ramah di sela-sela kesibukannya menuangkan adonan kue ke atas loyang cetakan. Saya memesan untuk dibawa pulang alias dibungkus 20 kue Dorayaki yang harganya hanya Rp 10.000.
Sambil menunggu kue itu matang, Abdul Majid menuturkan dirinya telah berjualan kue Dorayaki sejak 1998 lalu. “Saya sudah berjualan kue ini sepuluh tahun. Mangkalnya pun tidak pernah ganti tempat, tetap di depan Toko Mawar Elektrik,” ujar Majid sembari tangannya membalik kue-kue yang telah setengah matang di atas loyang cetakannya.
Dikatakan Majid, usahanya yang dimulai dengan modal awal lebih dari Rp 2 juta itu, kini sudah memiliki banyak pelanggan yang bahkan, banyak juga pembeli dari luar Kota Bogor yang menjadi langganannya. “Saya berjualan setiap hari mulai pukul 5.30 sampai pukul 14.00. Kecuali Jumat, saya libur,” tuturnya.
Majid juga mengatakan, hingga saat ini dia tidak memiliki cabang atau anak buah yang berjualan di lokasi lain. “Kalau kebetulan menemukan penjual kue Dorayaki di tempat lain, tidak ada hubungan apa-apa dengan saya,” terangnya seraya menambahkan dalam sehari ia mampu menghabiskan hingga delapan kilogram terigu.
Kue Dorayaki yang dijajakan Majid, ditawarkan dalam dua rasa, yakni rasa kismis dan rasa coklat. “Kue Dorayaki hasil racikan saya, citarasanya berbeda dengan kue dorayaki penjual lain, karena saya menggunakan adonan spesial, yaitu memakai kelapa muda parut,” jelas Majid.
Setelah matang dan dibungkus, kue Dorayaki racikan Majid pun kami bawa pulang. Dalam perjalanan, anak-anak tak henti-hentinya menyantap kue-kue yang masih hangat itu. Mulut-mulut kecil mereka menggembung lucu.
Rasa yang disuguhkan dari kue itu memang sangat istimewa. Sebuah tampilan rasa yang memadukan citarasa dan kelembutan kue cubit dengan citarasa dan kekenyalan kue pukis. Namun, bentuk kue Dorayaki olahan Majid sendiri, lebih cenderung mirip Poffertjes, meski zonder taburan gula halus. Tak heran, anak-anak jadi sangat menggandrungi kue bernama Jepang, berbentuk Belanda, dan bercitarasa Sunda itu.
Rudi D. Sukmana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar