Ia tak Pernah Selesai dengan Manusia
Tiap
kali telinga sebelah kiri ini mendenging, esok atau lusa yang terdapati
adalah berita tragedi.Tiap kali telinga yang kiri ini berdengung hebat,
esok atau lusa yang hadir adalah berita kematian.
Wahai, apakah ini pertanda atau hanya sekedar pengalaman religius semata?
Hanya dalam tragedi, kematian ditandai dengan aura. Tanpa itu, para santo tak akan ada, juga para hero. Seperti ditulis George Steiner dalam The Death of Tragedy, penderitaan tragis adalah “sebuah privilese yang murung yang didapatkan oleh mereka yang berada di tempat atas”.
Di bawah, yang membentuk kita adalah banalnya kematian. Tapi itu juga yang membuat kita tak berada dalam kemurungan yang radikal.
Aku teringat sebuah puisi Amir Hamzah yang sebenarnya tak bertanya, Junjunganku apatah kekal / apatah tetap / apatah tak bersalin rupa / apatah baka sepanjang masa
Lantas, kita tetap saja akan berjejal-jejal naik bus yang tak diketahui laik-tidaknya berjalan.
Tetap saja kagum laksana laron menatap lampu-lampu diskotik sambil sesekali terlena aroma sabu.
Tetap saja mengejar pembangunan mercu suar dan melupakan sekeping papan rapuh yang digunakan untuk jembatan bagi para anak-anak tak berdosa.
Kita tetap saja menantang maut lewat alam yang menderu dari balik derasnya kegelapan hujan dan kilatan gemuruh petir.
Di saat itu gelandangan pun merapat ke pojok-pojok. Para penjaga malam yang merasa sial. Para pelacur yang terhalau, dan bajingan yang beringsut siap.
Di dalam sejarah, di luar surga, manusia kecewa. Tapi seperti harapan, kecewa juga lahir dari rongga yang bisa menelannya kembali.
Mungkin rongga ini sebenarnya rasa syukur yang luas tapi tak selalu jelas.
Jika kita baca kata-kata Tuhan yang murka dalam Kitab Suci, si manusia itu seakan-akan bukan ciptaan-Nya lagi.
Dalam arti tertentu, ada sesuatu yang berhasil –manusia bisa menakjubkan dalam kemerdekaannya, dan sebab itu seakan ada sesuatu yang gagal.
Tak bisakah kita menyimpulkan, bahwa kegagalan itu sesuatu yang niscaya? Tuhan memperlihatkan kuasa-Nya dalam diri manusia di dunia tapi makhluk itu juga justru yang praktis membatasi kehendak-Nya dan membuat kehendak itu tak bisa jadi mutlak.
Artinya, Ia tak pernah selesai dengan manusia.
Mungkin Ia tak pernah puas.
Ia mencintainya tapi harus menyaksikan cacatnya.
RD Sukmana/* 23/2/2012
Wahai, apakah ini pertanda atau hanya sekedar pengalaman religius semata?
Hanya dalam tragedi, kematian ditandai dengan aura. Tanpa itu, para santo tak akan ada, juga para hero. Seperti ditulis George Steiner dalam The Death of Tragedy, penderitaan tragis adalah “sebuah privilese yang murung yang didapatkan oleh mereka yang berada di tempat atas”.
Di bawah, yang membentuk kita adalah banalnya kematian. Tapi itu juga yang membuat kita tak berada dalam kemurungan yang radikal.
Aku teringat sebuah puisi Amir Hamzah yang sebenarnya tak bertanya, Junjunganku apatah kekal / apatah tetap / apatah tak bersalin rupa / apatah baka sepanjang masa
Lantas, kita tetap saja akan berjejal-jejal naik bus yang tak diketahui laik-tidaknya berjalan.
Tetap saja kagum laksana laron menatap lampu-lampu diskotik sambil sesekali terlena aroma sabu.
Tetap saja mengejar pembangunan mercu suar dan melupakan sekeping papan rapuh yang digunakan untuk jembatan bagi para anak-anak tak berdosa.
Kita tetap saja menantang maut lewat alam yang menderu dari balik derasnya kegelapan hujan dan kilatan gemuruh petir.
Di saat itu gelandangan pun merapat ke pojok-pojok. Para penjaga malam yang merasa sial. Para pelacur yang terhalau, dan bajingan yang beringsut siap.
Di dalam sejarah, di luar surga, manusia kecewa. Tapi seperti harapan, kecewa juga lahir dari rongga yang bisa menelannya kembali.
Mungkin rongga ini sebenarnya rasa syukur yang luas tapi tak selalu jelas.
Jika kita baca kata-kata Tuhan yang murka dalam Kitab Suci, si manusia itu seakan-akan bukan ciptaan-Nya lagi.
Dalam arti tertentu, ada sesuatu yang berhasil –manusia bisa menakjubkan dalam kemerdekaannya, dan sebab itu seakan ada sesuatu yang gagal.
Tak bisakah kita menyimpulkan, bahwa kegagalan itu sesuatu yang niscaya? Tuhan memperlihatkan kuasa-Nya dalam diri manusia di dunia tapi makhluk itu juga justru yang praktis membatasi kehendak-Nya dan membuat kehendak itu tak bisa jadi mutlak.
Artinya, Ia tak pernah selesai dengan manusia.
Mungkin Ia tak pernah puas.
Ia mencintainya tapi harus menyaksikan cacatnya.
RD Sukmana/* 23/2/2012