Naik Atap Kereta.. Siapa Hendak Turut?
Saya pernah menjadi atapers.
Itu dulu ketika saya masih duduk di bangku SMA. Pada waktu itu bersama rombongan teman sekolah, kami berangkat untuk melihat keramaian PRJ.
Ternyata, meski ada perasaan takut setengah mati, naik di atas atap gerbong yang sedang berjalan memang mengasikkan bagi mereka yang memiliki jiwa muda dan jiwa petualang.
Ada sensasi adrenalin tersendiri, pada saat kereta memacu dengan kecepatan tinggi, sementara saya dalam kondisi tanpa sabuk pengaman, tanpa helm, bahkan tanpa ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan kuat. Uji nyali itu seolah mengalahkan uji nyali menantang makhluk dunia lain.
Masih membekas dalam ingatan, sepulang dari Jakarta, dengan bangga saya ceritakan pengalaman itu kepada kedua orangtua. Pada waktu itu saya tak habis mengerti, kenapa saya malah dihukum gara-gara jadi atapers.
Tapi itu hanya kisah dulu, kira-kira lebih dari dua dekade dari sekarang.
Para atapers kini bukan lagi para jiwa petualang yang butuh menikmati sensasi.
Para atapers kini dikuasai orang-orang pinggiran yang berjuang untuk tidak tersingkir. Tersingkir dari kehidupan yang mereka rasakan semakin sulit. Tersingkir dari apa yang mereka katakan pengzhaliman ekonomi terhadap diri mereka dan keluarga mereka yang semakin hari semakin sadis menggila.
Jadi, apapun cara yang dilakukan pemerintah melalui pengurus perkereta-apian tanah air, seolah tak cukup untuk menyingkirkan para atapers. Upaya-upaya pencegahan yang dilakukan seolah menambah daftar panjang penzhaliman ekonomi yang mereka rasakan.
Saya tidak sedang berusaha membela para atapers. Bahkan bila mereka para atapers itu mau mendengarkan, saya ingin menyarankan untuk tidak menjadi atapers.
Entahlah.., semenjak berkeluarga dan memiliki buntut yang ganteng cantik (menurut saya tentunya), segala kegilaan masa muda telah saya tinggalkan. Jadi, bila harus naik KRL, saya lebih memilih cara-cara aman meski tak nyaman, yang penting kans atau jaminan untuk dapat berkumpul kembali bersama keluarga tercinta lebih besar.
Sebuah ironi memang bila pengurus perkereta-apian menerapkan ide-ide gila untuk menghadapi perilaku kegilaan.
Mungkin itu pula yang akhirnya membuat pers dunia mengkritik kebijakan yang diambil pengurus kendaraan rakyat ini.
Wahai, rakyat kecil selalu menjadi korban ternyata memang benar adanya. Nyawa selalu menjadi sesuatu yang murah di sini.
Tak usah menyangkal dengan berbagai dalih untuk kalimat di atas. Bila kita bisa melihat dari kacamata lain.. para “atapers politik” hingga kini masih leluasa menikmati jiwa petualang mereka dengan gagah berani, tak perlu takut dihadang semprotan cat, pintu koboi, ataupun bandul baja yang akan mencelakakan jiwa mereka.
Kalau untuk yang satu ini, entahlah..? Saya belum pernah merasakannya.
Dan tak ingin untuk merasakan itu.
RD SUKMANA 18/1/2012
Itu dulu ketika saya masih duduk di bangku SMA. Pada waktu itu bersama rombongan teman sekolah, kami berangkat untuk melihat keramaian PRJ.
Ternyata, meski ada perasaan takut setengah mati, naik di atas atap gerbong yang sedang berjalan memang mengasikkan bagi mereka yang memiliki jiwa muda dan jiwa petualang.
Ada sensasi adrenalin tersendiri, pada saat kereta memacu dengan kecepatan tinggi, sementara saya dalam kondisi tanpa sabuk pengaman, tanpa helm, bahkan tanpa ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan kuat. Uji nyali itu seolah mengalahkan uji nyali menantang makhluk dunia lain.
Masih membekas dalam ingatan, sepulang dari Jakarta, dengan bangga saya ceritakan pengalaman itu kepada kedua orangtua. Pada waktu itu saya tak habis mengerti, kenapa saya malah dihukum gara-gara jadi atapers.
Tapi itu hanya kisah dulu, kira-kira lebih dari dua dekade dari sekarang.
Para atapers kini bukan lagi para jiwa petualang yang butuh menikmati sensasi.
Para atapers kini dikuasai orang-orang pinggiran yang berjuang untuk tidak tersingkir. Tersingkir dari kehidupan yang mereka rasakan semakin sulit. Tersingkir dari apa yang mereka katakan pengzhaliman ekonomi terhadap diri mereka dan keluarga mereka yang semakin hari semakin sadis menggila.
Jadi, apapun cara yang dilakukan pemerintah melalui pengurus perkereta-apian tanah air, seolah tak cukup untuk menyingkirkan para atapers. Upaya-upaya pencegahan yang dilakukan seolah menambah daftar panjang penzhaliman ekonomi yang mereka rasakan.
Saya tidak sedang berusaha membela para atapers. Bahkan bila mereka para atapers itu mau mendengarkan, saya ingin menyarankan untuk tidak menjadi atapers.
Entahlah.., semenjak berkeluarga dan memiliki buntut yang ganteng cantik (menurut saya tentunya), segala kegilaan masa muda telah saya tinggalkan. Jadi, bila harus naik KRL, saya lebih memilih cara-cara aman meski tak nyaman, yang penting kans atau jaminan untuk dapat berkumpul kembali bersama keluarga tercinta lebih besar.
Sebuah ironi memang bila pengurus perkereta-apian menerapkan ide-ide gila untuk menghadapi perilaku kegilaan.
Mungkin itu pula yang akhirnya membuat pers dunia mengkritik kebijakan yang diambil pengurus kendaraan rakyat ini.
Wahai, rakyat kecil selalu menjadi korban ternyata memang benar adanya. Nyawa selalu menjadi sesuatu yang murah di sini.
Tak usah menyangkal dengan berbagai dalih untuk kalimat di atas. Bila kita bisa melihat dari kacamata lain.. para “atapers politik” hingga kini masih leluasa menikmati jiwa petualang mereka dengan gagah berani, tak perlu takut dihadang semprotan cat, pintu koboi, ataupun bandul baja yang akan mencelakakan jiwa mereka.
Kalau untuk yang satu ini, entahlah..? Saya belum pernah merasakannya.
Dan tak ingin untuk merasakan itu.
RD SUKMANA 18/1/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar