Tawuran
Saya
memiliki satu orang sepupu lelaki yang masih bersekolah di salah satu
SMK di Kota Bogor. Setiap harinya, ia terpaksa harus berganti baju dulu
dengan baju non seragam bila hendak berangkat dan pulang sekolah.
Alasannya, biar aman di jalan, tidak digebukin anak sekolah lain.
Saya menilai, ini sebuah kondisi yang sudah parah dan tak lagi harus dibiarkan.
Pada saat saya masih duduk di bangku SMA di Jakarta pada 1985 silam, belum ada yang namanya tawuran pelajar antar sekolah. Yang ada pada masa itu adalah jagger-jagger, istilah bagi para jagoan sekolah tukang berkelahi yang memang hobinya berkelahi.
Namun, para jagger biasanya lebih suka berkelahi secara jantan bila ada perselisihan dengan sekolah lain. Biasanya, kami ditantang atau menantang jagger sekolah lain untuk adu fisik antar jagger di sebuah tempat tersembunyi dari keramaian, sehingga tidak ada satu pun warga yang bisa melerai.
Cara berkelahi pun cukup mendatangkan nyali. Dengan tangan kosong, dua jagoan itu bergantian memukul satu demi satu. Jagger satu memukul lawannya tanpa ditangkis, setelah itu lawannya pun akan gantian memukul. Pemenangnya adalah jagger yang berhasil membuat lawannya terjatuh atau mengaku kalah.
Karena ketidakamanan dan ketidaknyamanan dalam menuntut ilmu, orang tua pun memindahkan saya untuk bersekolah di Kota Bogor yang pada waktu itu dikenal sebagai Kota Pelajar dan sangat tidak tersentuh oleh berbagai kenakalan pelajar seperti sekarang.
Nah, kalau dibandingkan dengan cara pelajar untuk diakui kadar “kejagoannya” oleh pelajar sekolah lain, tentunya era sekarang hanya menjadi bahan tertawaan bagi kami sang jagger di sekolah kami dulu.
Entah apa alasannya, pelajar sekarang lebih senang berkelahi bersama-sama, keroyok satu pelajar yang kebetulan tertangkap, dan lebih senang menggunakan senjata berbahaya dan mematikan. Namun di luar itu, tawuran pelajar menjadi permasalahan sosial terutama di kota-kota yang tumbuh menjadi kota besar.
Sayangnya, meski para pelajar yang tawuran mengusung nama sekolah mereka, pihak sekolah acapkali berkelit dengan berkilah, para pelajar yang tawuran tersebut berada di luar lokasi sekolah sehingga tidak mampu untuk diawasi pihak sekolah. Pihak sekolah pun tak ingin tanggung jawab dibebankan sendirian dengan memaksa pihak orang tua wali murid pun harus turut mengawasi masing-masing putra-putri mereka untuk tidak terlibat tawuran.
Anehnya, dari pantauan saya, nama-nama sekolah yang tampak dalam setiap tawuran pelajar di Kota Bogor, selalu nama-nama sekolah yang itu-itu saja. Apakah itu berarti ada sesuatu yang salah dalam sistem belajar mengajar di sekolah-sekolah itu? Sejauh mana tanggung jawab para pendidik di sekolah yang namanya semakin rusak oleh para siswanya tersebut?
Para pelajar tentu saja anak-anak yang harus dibina, bukan dibinasakan. Bila memang hanya sekolah-sekolah yang itu-itu saja, kenapa tidak pihak pengurus sekolah lebih intensif menjalin koordinasi dengan sekolah “lawan” bagi siswanya? Banyak cara untuk menuntaskan masalah tawuran pelajar, tinggal tergantung pada para pihak yang berkompeten, mau atau tidak menuntaskannya.
RD Sukmana 19/2/2012
Saya menilai, ini sebuah kondisi yang sudah parah dan tak lagi harus dibiarkan.
Pada saat saya masih duduk di bangku SMA di Jakarta pada 1985 silam, belum ada yang namanya tawuran pelajar antar sekolah. Yang ada pada masa itu adalah jagger-jagger, istilah bagi para jagoan sekolah tukang berkelahi yang memang hobinya berkelahi.
Namun, para jagger biasanya lebih suka berkelahi secara jantan bila ada perselisihan dengan sekolah lain. Biasanya, kami ditantang atau menantang jagger sekolah lain untuk adu fisik antar jagger di sebuah tempat tersembunyi dari keramaian, sehingga tidak ada satu pun warga yang bisa melerai.
Cara berkelahi pun cukup mendatangkan nyali. Dengan tangan kosong, dua jagoan itu bergantian memukul satu demi satu. Jagger satu memukul lawannya tanpa ditangkis, setelah itu lawannya pun akan gantian memukul. Pemenangnya adalah jagger yang berhasil membuat lawannya terjatuh atau mengaku kalah.
Karena ketidakamanan dan ketidaknyamanan dalam menuntut ilmu, orang tua pun memindahkan saya untuk bersekolah di Kota Bogor yang pada waktu itu dikenal sebagai Kota Pelajar dan sangat tidak tersentuh oleh berbagai kenakalan pelajar seperti sekarang.
Nah, kalau dibandingkan dengan cara pelajar untuk diakui kadar “kejagoannya” oleh pelajar sekolah lain, tentunya era sekarang hanya menjadi bahan tertawaan bagi kami sang jagger di sekolah kami dulu.
Entah apa alasannya, pelajar sekarang lebih senang berkelahi bersama-sama, keroyok satu pelajar yang kebetulan tertangkap, dan lebih senang menggunakan senjata berbahaya dan mematikan. Namun di luar itu, tawuran pelajar menjadi permasalahan sosial terutama di kota-kota yang tumbuh menjadi kota besar.
Sayangnya, meski para pelajar yang tawuran mengusung nama sekolah mereka, pihak sekolah acapkali berkelit dengan berkilah, para pelajar yang tawuran tersebut berada di luar lokasi sekolah sehingga tidak mampu untuk diawasi pihak sekolah. Pihak sekolah pun tak ingin tanggung jawab dibebankan sendirian dengan memaksa pihak orang tua wali murid pun harus turut mengawasi masing-masing putra-putri mereka untuk tidak terlibat tawuran.
Anehnya, dari pantauan saya, nama-nama sekolah yang tampak dalam setiap tawuran pelajar di Kota Bogor, selalu nama-nama sekolah yang itu-itu saja. Apakah itu berarti ada sesuatu yang salah dalam sistem belajar mengajar di sekolah-sekolah itu? Sejauh mana tanggung jawab para pendidik di sekolah yang namanya semakin rusak oleh para siswanya tersebut?
Para pelajar tentu saja anak-anak yang harus dibina, bukan dibinasakan. Bila memang hanya sekolah-sekolah yang itu-itu saja, kenapa tidak pihak pengurus sekolah lebih intensif menjalin koordinasi dengan sekolah “lawan” bagi siswanya? Banyak cara untuk menuntaskan masalah tawuran pelajar, tinggal tergantung pada para pihak yang berkompeten, mau atau tidak menuntaskannya.
RD Sukmana 19/2/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar