Menikmati Surabi Durian dan Surabi Oncom Keju
Bogor, Jurnal Bogor
Warga Bogor yang gemar dengan kue surabi, pancake ala Bandung itu belum lengkap rasanya bila belum mencicipi kuliner surabi yang dijajakan Kedai Surabi Sukasari yang berlokasi di Jl. Sukasari I Bogor, tepat di seberang gedung baru Indomobil Foton.
Kedai yang berbentuk tenda berukuran panjang 25 meter dan lebar 3 meter itu telah hadir sejak 2 tahun 7 bulan lalu. “Biasanya kami mulai buka jam 15.00 sampai jam 00.00. Baru empat hari yang lalu kami buka mulai jam 10.00,” ujar Fendy Manday, pengelola Kedai Surabi Sukasari kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan pria berkumis tebal asal Padang itu, Kedai Surabi Sukasari merupakan tempat makan yang dimiliki oleh Aan Sanjaya yang tinggal di daerah Puncak Bogor. “Pak Aan saat ini memiliki dua kedai surabi. Satu di Kota Sukabumi, satu lagi di tempat ini,” terangnya.
Kedai Surabi Sukasari yang memiliki 40 bangku itu, menyediakan berbagai penganan inovasi hasil ide kreasi Aan Sanjaya, yaitu surabi, colenak, pisang bakar, jagung bakar, roti bakar, dan internet. “Menu surabi yang kami sediakan berjumlah 62 jenis rasa yang semuanya istimewa,” terang Fendy.
Selain 62 menu surabi bercitarasa istimewa yang harganya mulai Rp 3.000 sampai Rp 7.000, menurut Fendy, pengunjung kedainya banyak juga yang memesan menu colenak yang ditawarkan dengan harga Rp. 4.000 sampai Rp 6.000, menu pisang bakar yang harganya mulai Rp 4.000 sampai Rp 6.000, dan menu jagung bakar dengan harga mulai Rp 5.500 sampai Rp 6.000.
“Kami juga menawarkan menu roti bakar yang dimulai dengan harga Rp 4.500 sampai Rp 6.000 dan menu internet atau indomi telur kornet yang kami patok dengan harga Rp 2.500 sampai Rp 7.500,” papar Fendy.
Untuk menu minuman yang disediakan, lanjut Fendy, tempatnya tidak menyediakan menu-menu minuman inovasi hasil kreasi sendiri. “Minuman yang kami sediakan cukup umum dan biasa, seperti minuman botol, juice, es jeruk, kopi, capuccino, dan teh yang harganya mulai Rp 2.500 sampai Rp 6.000,” jelasnya.
Fendy juga mengatakan, menu surabi durian yang merupakan menu terbaru Kedai Surabi Sukasari, merupakan menu yang paling digandrungi pengunjung kedai itu. “Yang pertama kali dipesan kebanyakan pengunjung kami adalah surabi durian, baru kemudian menanyakan menu lainnya,” ujarnya.
Tertarik dengan citarasa yang ditawarkan menu surabi durian, apalagi sedari tadi indra penciuman ini terusik dengan aroma durian yang menggoda, seporsi surabi durian polos pun saya pesan. Belum cukup puas, saya pun memesan seporsi menu surabi oncom keju spesial untuk membandingkan citarasa yang disajikan.
Tak berapa lama, dua menu pesanan itu pun tersaji di atas meja lengkap dengan secangkir kopi susu panas. Aroma durian yang menjadi selai surabinya memiliki tampilan seperti mayones. Sejenak saya sempat kebingungan untuk memilih mana yang terlebih dahulu saya cicipi, rasa manis ataukah rasa gurih.
Dan benar apa kata Fendy, saya pun akhirnya memilih untuk menyantap surabi durian terlebih dahulu. Ketika surabi khas Bandung yang tebal itu saya belah, uap pun mengepul dari kue yang baru saja matang itu. Uap yang merebak membawa aroma durian kemana-mana. Sangat menendang indra pembau ini untuk segera menghabisi pancake ala Sunda itu.
Dengan menggunakan garpu kecil dan pisau pemotong, surabi durian pun sepotong demi sepotong saya suap. Rasa empuk, gurih, dan manis surabi yang terbuat dari tepung beras itu berbaur dengan rasa khas durian. Sensasi citarasanya sangat mengejutkan alat ecap ini. Citarasa istimewa yang pantas dinilai luar biasa.
Setelah surabi durian ludes tandas, dengan segera piring surabi oncom keju spesial saya tarik ke hadapan. Menyantap potongan menu ini pun, ternyata mampu menghadirkan kejutan-kejutan rasa gurih yang mantap. Keju bercampur dengan oncom dan mayones pedas, sebagai pelengkap dari surabi. Sungguh paduan tradisional dan modern yang sangat padu dalam menghadirkan sensasi citarasa baru.
Dalam sekejap, porsi kedua pun ludes. Sensasi surabi yang baru saja dinikmati masih menyisakan kejutan-kejutan dalam ruang rasa. Rasa manis durian dan rasa gurih oncom keju telah lebur di dalam perut. Menanti siapa yang paling lama menyisakan kejutan rasa. Nyatanya, surabi durian memenangkan pertarungan rasa. Karena hingga saat ini, citarasa durian masih tersisa dalam ruang rasa.
Rudi D. Sukmana
Minggu, 04 Mei 2008
Gulali Harum Manis, Tetap Disuka Bocah Singkong
Bogor, Jurnal Bogor
Salah satu jajanan favorit saya di waktu kecil adalah gulali harum manis. Pada waktu itu, ada dua jenis gulali harum manis yang dijajakan penjualnya secara berkeliling, yaitu gulali harum manis berbentuk seperti bulu domba yang diapit sejenik semprong berbentuk bundar dan disajikan layaknya burger.
Gulali harum manis satunya, berbentuk jel pekat yang bisa dibuat berbagai macam bentuk. Biasanya abang tukang jual gulali ini sering mangkal di depan sekolah dasar. Sebagai bocah, saya sering dimarahi almarhumah ibunda bila kedapatan membeli jajanan satu itu karena dinilai tidak higienis dan tidak bersih bila melihat, abang penjualnya membentuk gulali dengan tangan telanjang dan tanpa membersihkan tangan terlebih dahulu.
Dewasa ini, gulali harum manis lebih banyak dijual dengan bentuk bagaikan kapas warna warni. Penjualnya pun menggunakan sebuah alat khusus yang didisain sedemikian rupa, sehingga bahan baku berupa gula pasir yang telah diberi pewarna dapat berubah menjadi pintalan serat-serat halus bak kapas. Penyajiannya pun menggunakan satu batang lidi dengan melilitkan serat-serat gula itu sehingga berbentuk mirip seperti buntalan kapas.
Seorang penjual gulali harum manis yang saya jumpai ketika tengah melayani pembeli yang kebanyakan bocah kecil mengatakan, dirinya berjualan gulali harum manis dengan berkeliling masuk dan keluar kampung. “Saya tidak berkeliling ke perumahan, karena tidak pernah ada yang membeli,” ujar Asep, penjual gulali harum manis itu.
Gulali harum manis yang dijajakan Asep, terdiri dari dua pilihan warna, yaitu merah dan kuning. Kedua pilihan warna itu memiliki rasa yang sama, tanpa perbedaan. “Bahannya terbuat dari gula pasir yang diberi tepung pewarna yang biasa digunakan untuk membuat kue,” terangnya.
Dikatakan Asep, dalam sehari dibutuhkan dua kilogram gula pasir untuk membuat gulali harum manis. “Satu buahnya saya jual seharga Rp 1.000 untuk yang memakai batang bambu dan Rp 2.000 yang sudah saya bungkus di dalam plastik. Biasanya, anak-anak kecil lebih suka yang menggunakan batang bambu,” terangnya.
Dalam sehari, Asep mampu membawa uang sedikitnya Rp 25.000 untuk diputar lagi dalam usahanya. “Sebagian saya sisihkan untuk biaya kebutuhan sehari-hari dan kirim uang kepada orangtua di kampung,” ujar pemuda tanggung yang berasal dari Garut itu.
Asep sendiri merasa cukup puas dengan usaha yang ditekuninya saat ini. “Saya realistis saja. Untuk melanjutkan sekolah, tidak ada biaya. Untuk mendapatkan pekerjaan apalagi. Yang penting usaha saya ini halal, dan menyenangkan bagi pembeli terutama anak-anak kecil,” pungkasnya.
Rudi D. Sukmana
Salah satu jajanan favorit saya di waktu kecil adalah gulali harum manis. Pada waktu itu, ada dua jenis gulali harum manis yang dijajakan penjualnya secara berkeliling, yaitu gulali harum manis berbentuk seperti bulu domba yang diapit sejenik semprong berbentuk bundar dan disajikan layaknya burger.
Gulali harum manis satunya, berbentuk jel pekat yang bisa dibuat berbagai macam bentuk. Biasanya abang tukang jual gulali ini sering mangkal di depan sekolah dasar. Sebagai bocah, saya sering dimarahi almarhumah ibunda bila kedapatan membeli jajanan satu itu karena dinilai tidak higienis dan tidak bersih bila melihat, abang penjualnya membentuk gulali dengan tangan telanjang dan tanpa membersihkan tangan terlebih dahulu.
Dewasa ini, gulali harum manis lebih banyak dijual dengan bentuk bagaikan kapas warna warni. Penjualnya pun menggunakan sebuah alat khusus yang didisain sedemikian rupa, sehingga bahan baku berupa gula pasir yang telah diberi pewarna dapat berubah menjadi pintalan serat-serat halus bak kapas. Penyajiannya pun menggunakan satu batang lidi dengan melilitkan serat-serat gula itu sehingga berbentuk mirip seperti buntalan kapas.
Seorang penjual gulali harum manis yang saya jumpai ketika tengah melayani pembeli yang kebanyakan bocah kecil mengatakan, dirinya berjualan gulali harum manis dengan berkeliling masuk dan keluar kampung. “Saya tidak berkeliling ke perumahan, karena tidak pernah ada yang membeli,” ujar Asep, penjual gulali harum manis itu.
Gulali harum manis yang dijajakan Asep, terdiri dari dua pilihan warna, yaitu merah dan kuning. Kedua pilihan warna itu memiliki rasa yang sama, tanpa perbedaan. “Bahannya terbuat dari gula pasir yang diberi tepung pewarna yang biasa digunakan untuk membuat kue,” terangnya.
Dikatakan Asep, dalam sehari dibutuhkan dua kilogram gula pasir untuk membuat gulali harum manis. “Satu buahnya saya jual seharga Rp 1.000 untuk yang memakai batang bambu dan Rp 2.000 yang sudah saya bungkus di dalam plastik. Biasanya, anak-anak kecil lebih suka yang menggunakan batang bambu,” terangnya.
Dalam sehari, Asep mampu membawa uang sedikitnya Rp 25.000 untuk diputar lagi dalam usahanya. “Sebagian saya sisihkan untuk biaya kebutuhan sehari-hari dan kirim uang kepada orangtua di kampung,” ujar pemuda tanggung yang berasal dari Garut itu.
Asep sendiri merasa cukup puas dengan usaha yang ditekuninya saat ini. “Saya realistis saja. Untuk melanjutkan sekolah, tidak ada biaya. Untuk mendapatkan pekerjaan apalagi. Yang penting usaha saya ini halal, dan menyenangkan bagi pembeli terutama anak-anak kecil,” pungkasnya.
Rudi D. Sukmana
Cafe deDaunan
Citarasa Meneer van Buitenzorg
Bogor, Jurnal Bogor
Cafe deDaunan, siapa yang tidak kenal dengan tempat kuliner satu ini? Nama yang diusungnya saja sungguh indah dan ada kesan puitis di dalamnya. Selain itu, secara kasat mata deDaunan merupakan nama yang identik dengan tata bahasa para meneer Walanda. Dan memang konsep itu yang ditampilkan Cafe deDaunan yang menu-menunya banyak menyediakan masakan Eropa, terutama menu dari Negeri Kincir Angin itu.
Terletak di Jl. Astrid di dalam area Kebun Raya Bogor, kafe itu memiliki suasana nyaman yang tak ada di kota-kota lain di Indonesia, bahkan di dunia. Posisi dan lokasi kafe itu sangat strategis, baik dari segi jarak, maupun estetika.
Dari segi jarak, tempat ini tidak jauh dari pintu masuk III Kebun Raya Bogor yang dibuka khusus untuk para pengunjung Cafe deDaunan mulai pukul 17.00, dan mudah ditemukan. Sedangkan dari segi estetika, kafe yang berundak-undak itu dikelilingi oleh pepohonan besar, dan menghadap langsung ke lapangan rumput nan hijau yang luas dan tertata rapi, dan tentu saja, kolam teratai berhiaskan air mancur. Pemandangan yang disuguhkan, benar-benar menjanjikan suasana romantis bagi para pengunjung.
Berkat penataan ruang tanpa dinding pembatas antara ruang makan dengan halaman, sirkulasi udara menjadi sungguh nyaman. Jangan bayangkan kesejukan pendingin udara karena di tempat itu akan dijumpai hembusan angin sepoi-sepoi dari pepohonan besar yang ada di sekitar. Bahkan, terik matahari di siang bolong pun tidak menjadi masalah di sini.
Menu yang disedikan di kafe itu, secara umum dibagi menjadi dua katagori, yaitu menu tradisional dan menu internasional. Pengunjung dapat memesan masakan khas Sunda dan Indonesian food, juga masakan western terutama masakan dari benua Eropa, seperti lumpia, kentang dan ikan goreng (fish and chips), serta cumi goreng tepung (calamari).
Selain itu, tersedia juga aneka selada seperti selada buah campur, selada aneka hasil laut, selada ala Cafe deDaunan yang diberi nama Garden Salad, dan koktail udang kecil. Kafe itu juga menyediakan Chef’s Salad, yang terdiri dari daun salada letus, daging sapi asap, telur rebus, keju cheddar dengan thousand island.
Menu andalam Cafe deDaunan adalah Rijstaffel, nama yang diambil dari bahasa Belanda yang berarti nasi besar. Menu ini terdiri dari nasi putih, ayam, daging sapi, balado telur, gudeg, acar kuning, urap, lalapan, kentang pedas dan kacang.
Sedangkan menu andalan untuk dessert, kafe itu menyediakan Poffertjeis yang sangat istimewa untuk dicicipi. Poffertjeis merupakan makanan yang terbuat dari campuran tepung terigu, telur ayam, dan susu segar yang ditaburi dengan gula halus, mesis, serta irisan buah ceri.
Untuk kunjungan yang entah ke berapa kalinya itu, saya memesan menu-menu western food, yaitu Kebun Raya Roll Chicken dan Mix Grill deDaunan serta menu minumannya Es Lemon dan deDaunan Punch. Mix Grill ala kafe itu, terdiri dari Red Snapper, Tenderloin dan Chicken yang semuanya digrill.
Citarasa yang muncul cukup lumayan, meski menurut saya tenderloinnya terasa agak keras dan ayamnya tidak terasa seperti ayam. Sedangkan menu Roll Chicken, dilengkapi dengan french fries dan sayuran seperti kacang polong, wortel, buncis, dan brokoli. Citarasa Roll Chicken yang disuguhkan cukup enak dan lebih tasty dibandingkan menu yang sama di beberapa kafe lain yang pernah dikunjungi. Keunggulan menu itu, porsinya cukup besar dan menguntungkan buat saya.
Menikmati menu-menu di Cafe deDaunan, paling enak setelah letih berkeliling dalam keteduhan dan kehijauan Kebun Raya Bogor. Namun, suasana terindah yang dapat dijumpai pengunjung untuk merasakan kenikmatan maksimal di kafe itu pada saat senja yang cerah. Pemandangan sunset yang dapat kita lihat sepuas-puasnya dari tempat duduk, berpadu dengan citarasa istimewa menu-menu yang disajikan.
Semilir angin senja yang bertiup, membawa nuansa lembayung yang meneduhkan pandangan mata. Warna-warna alam yang disajikan panorama Kebun Raya Bogor yang tertata rapi dan apik, dengan kicauan burung yang beterbangan kembali menuju ke sarangnya, benar-benar membuat pengunjung kafe itu sangat dimanjakan.
Belum lagi bila di hadapan tersaji secangkir teh atau kopi panas yang berteman dengan kue-kue khas Belanda, benar-benar menimbulkan satu kemahfuman, mengapa para meneeer itu pernah dengan tega menjajah negeri ini selama berbilang abad.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Cafe deDaunan, siapa yang tidak kenal dengan tempat kuliner satu ini? Nama yang diusungnya saja sungguh indah dan ada kesan puitis di dalamnya. Selain itu, secara kasat mata deDaunan merupakan nama yang identik dengan tata bahasa para meneer Walanda. Dan memang konsep itu yang ditampilkan Cafe deDaunan yang menu-menunya banyak menyediakan masakan Eropa, terutama menu dari Negeri Kincir Angin itu.
Terletak di Jl. Astrid di dalam area Kebun Raya Bogor, kafe itu memiliki suasana nyaman yang tak ada di kota-kota lain di Indonesia, bahkan di dunia. Posisi dan lokasi kafe itu sangat strategis, baik dari segi jarak, maupun estetika.
Dari segi jarak, tempat ini tidak jauh dari pintu masuk III Kebun Raya Bogor yang dibuka khusus untuk para pengunjung Cafe deDaunan mulai pukul 17.00, dan mudah ditemukan. Sedangkan dari segi estetika, kafe yang berundak-undak itu dikelilingi oleh pepohonan besar, dan menghadap langsung ke lapangan rumput nan hijau yang luas dan tertata rapi, dan tentu saja, kolam teratai berhiaskan air mancur. Pemandangan yang disuguhkan, benar-benar menjanjikan suasana romantis bagi para pengunjung.
Berkat penataan ruang tanpa dinding pembatas antara ruang makan dengan halaman, sirkulasi udara menjadi sungguh nyaman. Jangan bayangkan kesejukan pendingin udara karena di tempat itu akan dijumpai hembusan angin sepoi-sepoi dari pepohonan besar yang ada di sekitar. Bahkan, terik matahari di siang bolong pun tidak menjadi masalah di sini.
Menu yang disedikan di kafe itu, secara umum dibagi menjadi dua katagori, yaitu menu tradisional dan menu internasional. Pengunjung dapat memesan masakan khas Sunda dan Indonesian food, juga masakan western terutama masakan dari benua Eropa, seperti lumpia, kentang dan ikan goreng (fish and chips), serta cumi goreng tepung (calamari).
Selain itu, tersedia juga aneka selada seperti selada buah campur, selada aneka hasil laut, selada ala Cafe deDaunan yang diberi nama Garden Salad, dan koktail udang kecil. Kafe itu juga menyediakan Chef’s Salad, yang terdiri dari daun salada letus, daging sapi asap, telur rebus, keju cheddar dengan thousand island.
Menu andalam Cafe deDaunan adalah Rijstaffel, nama yang diambil dari bahasa Belanda yang berarti nasi besar. Menu ini terdiri dari nasi putih, ayam, daging sapi, balado telur, gudeg, acar kuning, urap, lalapan, kentang pedas dan kacang.
Sedangkan menu andalan untuk dessert, kafe itu menyediakan Poffertjeis yang sangat istimewa untuk dicicipi. Poffertjeis merupakan makanan yang terbuat dari campuran tepung terigu, telur ayam, dan susu segar yang ditaburi dengan gula halus, mesis, serta irisan buah ceri.
Untuk kunjungan yang entah ke berapa kalinya itu, saya memesan menu-menu western food, yaitu Kebun Raya Roll Chicken dan Mix Grill deDaunan serta menu minumannya Es Lemon dan deDaunan Punch. Mix Grill ala kafe itu, terdiri dari Red Snapper, Tenderloin dan Chicken yang semuanya digrill.
Citarasa yang muncul cukup lumayan, meski menurut saya tenderloinnya terasa agak keras dan ayamnya tidak terasa seperti ayam. Sedangkan menu Roll Chicken, dilengkapi dengan french fries dan sayuran seperti kacang polong, wortel, buncis, dan brokoli. Citarasa Roll Chicken yang disuguhkan cukup enak dan lebih tasty dibandingkan menu yang sama di beberapa kafe lain yang pernah dikunjungi. Keunggulan menu itu, porsinya cukup besar dan menguntungkan buat saya.
Menikmati menu-menu di Cafe deDaunan, paling enak setelah letih berkeliling dalam keteduhan dan kehijauan Kebun Raya Bogor. Namun, suasana terindah yang dapat dijumpai pengunjung untuk merasakan kenikmatan maksimal di kafe itu pada saat senja yang cerah. Pemandangan sunset yang dapat kita lihat sepuas-puasnya dari tempat duduk, berpadu dengan citarasa istimewa menu-menu yang disajikan.
Semilir angin senja yang bertiup, membawa nuansa lembayung yang meneduhkan pandangan mata. Warna-warna alam yang disajikan panorama Kebun Raya Bogor yang tertata rapi dan apik, dengan kicauan burung yang beterbangan kembali menuju ke sarangnya, benar-benar membuat pengunjung kafe itu sangat dimanjakan.
Belum lagi bila di hadapan tersaji secangkir teh atau kopi panas yang berteman dengan kue-kue khas Belanda, benar-benar menimbulkan satu kemahfuman, mengapa para meneeer itu pernah dengan tega menjajah negeri ini selama berbilang abad.
Rudi D. Sukmana
Gurame Bumbu Tauco, ‘Nyunda Banget’
Bogor, Jurnal Bogor
Biasanya di setiap rumah makan Sunda, menu yang paling diandalkan ialah ikan gurame. Pengolahannya pun bisa dengan cara dibakar atau digoreng dengan bumbu-bumbu yang hampir serupa. Akan tetapi, Dulang Restaurant mampu menciptakan menu ikan gurame tersebut menjadi berbeda. Dengan menggunakan bahan baku tauco, Dulang Restaurant bisa menyedot perhatian para petualang kuliner.
Nama menu spesial itu ialah Gurame Bumbu Tauco. Aromanya yang menyengat, tak mengalahkan rasanya yang lezat. Menu yang sudah digemari pelanggan resto itu sejak 2002, menurut Rudi, sapaan akrab Amarudi, merupakan jenis makanan yang memiliki ciri khas Sunda yang sangat kental. “Saya menggunakan tauco karena bumbu ini berasal dari tanah Sunda, tepatnya di daerah Cianjur, sehingga taste yang diberikan nyunda banget,” ungkap Rudi, pengelola Dulang Restaurant kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Diakui Rudi, pertama kali mengenalkan Gurame Bumbu Tauconya itu, banyak pelanggan yang ragu untuk mencicipinya karena namanya yang sedikit asing. “Namun, saya terus coba mempromosikannya dan terbukti hingga sekarang, pelanggan malah ketagihan,” katanya.
Rudi juga mengatakan, proses pengolahannya tidak memakan waktu yang lama. Pertama, gurame yang sudah dicuci bersih, dipisahkan dari tulang-tulangnya (fillet), setelah itu daging guramenya dipotong berbentuk persegi. Kemudian gurame dilumuri ke dalam adonan tepung yang sudah diberi bumbu ala Dulang. “Tujuannya, ketika gurame sudah diangkat dari penggorengan, menghasilkan daging yang kriuk dan sedikit crispy,” jelasnya.
Sambil menunggu potongan daging guramenya matang, lanjut Rudi, bumbu-bumbu menu itu harus segera diracik. Mulai dari bawang bombay, bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe rawit yang sudah dirajang terlebih dahulu serta mentimun, dicampur menjadi satu. “Setelah bahan-bahan tadi mewangi, bumbu tauconya pun dimasukkan dan diberi sedikit air agar tidak terlalu asin,” paparnya.
Menurut Rudi, ketika proses pematangan bumbu, potongan gurame tadi segera diolah bersama, supaya bumbu tauconya dapat meresap ke setiap pori-pori daging gurame. “Jadi kekayaan aroma yang dikeluarkan dari setiap bahan bisa menyerukan rasa hingga di dalam mulut, meski sudah beres menyantapnya,” terang ayah tiga orang anak itu.
Uniknya, dalam penataan sajian, potongan gurame yang sudah berlumur bumbu tauco itu, diletakkan di atas badan ikan gurame yang sudah digoreng. “Pelanggan tidak perlu bersusah payah untuk melepas potongan daging dari tulang-tulang ikan, sebab banyak pelanggan yang mengalami kesulitan jika tidak difillet terlebih dahulu, terutama bagi anak-anak dan lansia,” tandasnya.
Nasia Freemeta I
Biasanya di setiap rumah makan Sunda, menu yang paling diandalkan ialah ikan gurame. Pengolahannya pun bisa dengan cara dibakar atau digoreng dengan bumbu-bumbu yang hampir serupa. Akan tetapi, Dulang Restaurant mampu menciptakan menu ikan gurame tersebut menjadi berbeda. Dengan menggunakan bahan baku tauco, Dulang Restaurant bisa menyedot perhatian para petualang kuliner.
Nama menu spesial itu ialah Gurame Bumbu Tauco. Aromanya yang menyengat, tak mengalahkan rasanya yang lezat. Menu yang sudah digemari pelanggan resto itu sejak 2002, menurut Rudi, sapaan akrab Amarudi, merupakan jenis makanan yang memiliki ciri khas Sunda yang sangat kental. “Saya menggunakan tauco karena bumbu ini berasal dari tanah Sunda, tepatnya di daerah Cianjur, sehingga taste yang diberikan nyunda banget,” ungkap Rudi, pengelola Dulang Restaurant kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Diakui Rudi, pertama kali mengenalkan Gurame Bumbu Tauconya itu, banyak pelanggan yang ragu untuk mencicipinya karena namanya yang sedikit asing. “Namun, saya terus coba mempromosikannya dan terbukti hingga sekarang, pelanggan malah ketagihan,” katanya.
Rudi juga mengatakan, proses pengolahannya tidak memakan waktu yang lama. Pertama, gurame yang sudah dicuci bersih, dipisahkan dari tulang-tulangnya (fillet), setelah itu daging guramenya dipotong berbentuk persegi. Kemudian gurame dilumuri ke dalam adonan tepung yang sudah diberi bumbu ala Dulang. “Tujuannya, ketika gurame sudah diangkat dari penggorengan, menghasilkan daging yang kriuk dan sedikit crispy,” jelasnya.
Sambil menunggu potongan daging guramenya matang, lanjut Rudi, bumbu-bumbu menu itu harus segera diracik. Mulai dari bawang bombay, bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe rawit yang sudah dirajang terlebih dahulu serta mentimun, dicampur menjadi satu. “Setelah bahan-bahan tadi mewangi, bumbu tauconya pun dimasukkan dan diberi sedikit air agar tidak terlalu asin,” paparnya.
Menurut Rudi, ketika proses pematangan bumbu, potongan gurame tadi segera diolah bersama, supaya bumbu tauconya dapat meresap ke setiap pori-pori daging gurame. “Jadi kekayaan aroma yang dikeluarkan dari setiap bahan bisa menyerukan rasa hingga di dalam mulut, meski sudah beres menyantapnya,” terang ayah tiga orang anak itu.
Uniknya, dalam penataan sajian, potongan gurame yang sudah berlumur bumbu tauco itu, diletakkan di atas badan ikan gurame yang sudah digoreng. “Pelanggan tidak perlu bersusah payah untuk melepas potongan daging dari tulang-tulang ikan, sebab banyak pelanggan yang mengalami kesulitan jika tidak difillet terlebih dahulu, terutama bagi anak-anak dan lansia,” tandasnya.
Nasia Freemeta I
MM Juice
Minuman Melawai Nan Aduhai
Bogor, Jurnal Bogor
MM Juice yang pertama saya kenali citarasanya, sewaktu saya masih tinggal di Kota Tangerang. Pada waktu itu, karena seringnya berpetualang kuliner, saya sempat mendapat peringatan dari dokter, karena kadar kolesterol yang meninggi dan menjadikan saya stroke ringan. Untuk itu, saya diharuskan berpuasa dari segala makanan yang mengandung lemak dan setiap hari wajib menjalani fisioterapi di salah satu Rumah Sakit swasta ternama di kota itu.
Dari situlah, awal perkenalan saya dengan MM Juice. Sebagai salah satu tenant di RS itu, MM Juice menjadi tempat favorit saya melepas rasa lapar dengan menyantap kentang dan kol tanpa bumbu siomai serta beberapa juice buah non fat, sambil menunggu giliran untuk mendapatkan terapi. Saya pun menjadi pelanggan tetap MM Juice sampai terapi selesai selama tiga bulan.
Setelah sekian tahun berlalu, ketika berkunjung ke Matahari Plaza Jl. Soleh Iskandar saya melihat MM Juice membuka tempatnya di lantai dasar plaza itu. Mendadak, timbul juga rasa kangen untuk mencicipi kembali citarasa yang disajikan MM Juice. Dengan ringan, kaki pun melangkah menuju stand itu.
Dua karyawan pun menyambut dengan ramah. Setelah saya sampaikan tujuan saya, mereka menyetujui untuk diliput Jurnal Bogor. Saya pun segera memesan satu porsi nasi putih, mie goreng sea food, satu buah siomai, dan juice durian kopyor. Sambil menunggu pesanan rampung, Anni Surtini, kasir MM Juice menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan dengan ramah.
Dikatakan Anni Surtini, MM Juice merupakan singkatan dari Minuman Melawai Juice yang berkantor pusat di Jl. Melawai Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. MM Juice, lanjutnya, tidak difranchisekan melainkan membuka cabang-cabang yang saat ini telah tersebar di beberapa kota besar di seluruh Indonesia. “Di Kota Bogor, MM Juice ada di dua tempat, yaitu di Bogor Indah Plaza dan yang terbaru di Matahari Plaza,” ujar Anni kepada Jurnal Bogor, kemarin.
MM Juice Matahari Plaza, imbuh Anni, dibuka setiap hari mulai pukul 8.00 sampai pukul 22.00. Tempat itu menyediakan delapan meja yang masing-masing mempunyai empat kursi. Selain itu, juga disediakan tempat duduk yang berjejer menghadap meja besar stand MM Juice. “Krew yang bertugas di tempat ini, berjumlah enam orang, terdiri dari dua juicer, satu waitress, dan tiga cooker,” terangnya.
Menu yang disediakan MM Juice Matahari Plaza, tambah Anni, tidak lebih dari 100 jenis masakan dan minuman. “Di beberapa tempat MM Juice lain, menu yang ditawarkan mencapai lebih dari 100 jenis masakan dan minuman,” jelasnya seraya menambahkan, tempat yang turut dikelolanya itu menyediakan menu-menu favorit pilihan mengunjung.
Anni juga mengatakan, MM Juice memiliki menu-menu yang sangat digandrungi para pengunjung. Beberapa diantaranya adalah siomai, mie ayam, juice alpukat, dan juice strawberry. “Untuk menu makanan, kami jual dengan harga mulai Rp 12.000 sampai Rp 45.000. Sedangkan menu minuman, kami jual mulai harga Rp 8.000 sampai Rp. 22.000,” paparnya.
Menu pertama yang dipesan pun hadir di hadapan. Sepotong siomai yang telah dibalur dengan bumbu kacangnya. Tanpa menunggu lama, menu itu pun langsung disantap. Bumbu kacangnya terasa agak kelebihan dalam memberikan garam, namun rasa udang pada siomainya cukup mengangkat. Bumbu kacang siomainya memang diracik tidak terlalu halus, berbeda dengan bumbu kacang siomai Abah Bujal, yang citarasanya paling dahsyat yang pernah saya rasakan.
Siomai seharga Rp 4.500 per potong itu secara keseluruhan menyuguhkan citarasa yang cukup lumayan. Belum habis siomai disantap, nasi putih dan mie goreng sea food pun tersaji di hadapan diiringi segelas juice durian kopyor yang berwarna putih.
Selesai dengan urusan siomai, tanpa jeda saya langsung menyenduk mie goreng sea food. Mie goreng yang penuh dengan campuran mie, toge, irisan daun bawang, potongan acar mentimun dan wortel, potongan cumi, bakso ikan, dan udang itu dengan cepat masuk ke dalam mulut. Ada rasa sedikit pahit dari bumbu yang diracik, sepertinya bumbu bawang-bawangannya agak terlalu banyak diberikan, atau terlalu matang ditumisnya.
Dua menu pilihan telah saya cicipi dan habiskan, namun belum juga saya menemukan kepuasan rasa. Akhirnya, juice durian kopyor pun saya seruput. Mm.. citarasa juice itu cukup membalur kekecewaan saya terhadap dua menu masakan yang telah ludes saya santap. Meski saya merasakan ada campuran essense dari juice durian kopyor yang disajikan, secara keseluruhan juice durian kopyor yang ditawarkan MM Juice cukup memiliki citarasa istimewa.
Selesai semua pesanan ludes tandas, Rp 55.500 pun saya rogoh untuk membayar menu-menu pesanan saya. Dikatakan Anni, rata-rata pengunjung yang singgah ke MM Juice membayar Rp 20.000 per orang. “Di tempat kami, rata-rata pengunjung per hari mencapai 30 orang di hari biasa. Sedangkan Sabtu dan Minggu bisa dua sampai tiga kali lipatnya,” pungkasnya.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
MM Juice yang pertama saya kenali citarasanya, sewaktu saya masih tinggal di Kota Tangerang. Pada waktu itu, karena seringnya berpetualang kuliner, saya sempat mendapat peringatan dari dokter, karena kadar kolesterol yang meninggi dan menjadikan saya stroke ringan. Untuk itu, saya diharuskan berpuasa dari segala makanan yang mengandung lemak dan setiap hari wajib menjalani fisioterapi di salah satu Rumah Sakit swasta ternama di kota itu.
Dari situlah, awal perkenalan saya dengan MM Juice. Sebagai salah satu tenant di RS itu, MM Juice menjadi tempat favorit saya melepas rasa lapar dengan menyantap kentang dan kol tanpa bumbu siomai serta beberapa juice buah non fat, sambil menunggu giliran untuk mendapatkan terapi. Saya pun menjadi pelanggan tetap MM Juice sampai terapi selesai selama tiga bulan.
Setelah sekian tahun berlalu, ketika berkunjung ke Matahari Plaza Jl. Soleh Iskandar saya melihat MM Juice membuka tempatnya di lantai dasar plaza itu. Mendadak, timbul juga rasa kangen untuk mencicipi kembali citarasa yang disajikan MM Juice. Dengan ringan, kaki pun melangkah menuju stand itu.
Dua karyawan pun menyambut dengan ramah. Setelah saya sampaikan tujuan saya, mereka menyetujui untuk diliput Jurnal Bogor. Saya pun segera memesan satu porsi nasi putih, mie goreng sea food, satu buah siomai, dan juice durian kopyor. Sambil menunggu pesanan rampung, Anni Surtini, kasir MM Juice menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan dengan ramah.
Dikatakan Anni Surtini, MM Juice merupakan singkatan dari Minuman Melawai Juice yang berkantor pusat di Jl. Melawai Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. MM Juice, lanjutnya, tidak difranchisekan melainkan membuka cabang-cabang yang saat ini telah tersebar di beberapa kota besar di seluruh Indonesia. “Di Kota Bogor, MM Juice ada di dua tempat, yaitu di Bogor Indah Plaza dan yang terbaru di Matahari Plaza,” ujar Anni kepada Jurnal Bogor, kemarin.
MM Juice Matahari Plaza, imbuh Anni, dibuka setiap hari mulai pukul 8.00 sampai pukul 22.00. Tempat itu menyediakan delapan meja yang masing-masing mempunyai empat kursi. Selain itu, juga disediakan tempat duduk yang berjejer menghadap meja besar stand MM Juice. “Krew yang bertugas di tempat ini, berjumlah enam orang, terdiri dari dua juicer, satu waitress, dan tiga cooker,” terangnya.
Menu yang disediakan MM Juice Matahari Plaza, tambah Anni, tidak lebih dari 100 jenis masakan dan minuman. “Di beberapa tempat MM Juice lain, menu yang ditawarkan mencapai lebih dari 100 jenis masakan dan minuman,” jelasnya seraya menambahkan, tempat yang turut dikelolanya itu menyediakan menu-menu favorit pilihan mengunjung.
Anni juga mengatakan, MM Juice memiliki menu-menu yang sangat digandrungi para pengunjung. Beberapa diantaranya adalah siomai, mie ayam, juice alpukat, dan juice strawberry. “Untuk menu makanan, kami jual dengan harga mulai Rp 12.000 sampai Rp 45.000. Sedangkan menu minuman, kami jual mulai harga Rp 8.000 sampai Rp. 22.000,” paparnya.
Menu pertama yang dipesan pun hadir di hadapan. Sepotong siomai yang telah dibalur dengan bumbu kacangnya. Tanpa menunggu lama, menu itu pun langsung disantap. Bumbu kacangnya terasa agak kelebihan dalam memberikan garam, namun rasa udang pada siomainya cukup mengangkat. Bumbu kacang siomainya memang diracik tidak terlalu halus, berbeda dengan bumbu kacang siomai Abah Bujal, yang citarasanya paling dahsyat yang pernah saya rasakan.
Siomai seharga Rp 4.500 per potong itu secara keseluruhan menyuguhkan citarasa yang cukup lumayan. Belum habis siomai disantap, nasi putih dan mie goreng sea food pun tersaji di hadapan diiringi segelas juice durian kopyor yang berwarna putih.
Selesai dengan urusan siomai, tanpa jeda saya langsung menyenduk mie goreng sea food. Mie goreng yang penuh dengan campuran mie, toge, irisan daun bawang, potongan acar mentimun dan wortel, potongan cumi, bakso ikan, dan udang itu dengan cepat masuk ke dalam mulut. Ada rasa sedikit pahit dari bumbu yang diracik, sepertinya bumbu bawang-bawangannya agak terlalu banyak diberikan, atau terlalu matang ditumisnya.
Dua menu pilihan telah saya cicipi dan habiskan, namun belum juga saya menemukan kepuasan rasa. Akhirnya, juice durian kopyor pun saya seruput. Mm.. citarasa juice itu cukup membalur kekecewaan saya terhadap dua menu masakan yang telah ludes saya santap. Meski saya merasakan ada campuran essense dari juice durian kopyor yang disajikan, secara keseluruhan juice durian kopyor yang ditawarkan MM Juice cukup memiliki citarasa istimewa.
Selesai semua pesanan ludes tandas, Rp 55.500 pun saya rogoh untuk membayar menu-menu pesanan saya. Dikatakan Anni, rata-rata pengunjung yang singgah ke MM Juice membayar Rp 20.000 per orang. “Di tempat kami, rata-rata pengunjung per hari mencapai 30 orang di hari biasa. Sedangkan Sabtu dan Minggu bisa dua sampai tiga kali lipatnya,” pungkasnya.
Rudi D. Sukmana
Kue Rangi Setelah Olahraga Pagi
Bogor, Jurnal Bogor
Minggu pagi, sejak pukul 5.00 saya sudah bersiap diri untuk berolahraga pagi, satu aktivitas menyehatkan yang selama ini jarang saya lakukan. Setelah berdandan ala kadarnya, udara pagi pun dihirup di tengah pagi yang masih gelap.
Sambil berjalan perlahan, saya tak henti-henti menarik dan menghembuskan nafas. Mencoba mengisi seluruh ruang dalam paru-paru ini dengan udara pagi yang begitu segar. Sesekali saya berlari kecil di pinggir jalan dengan satu tujuan, lapangan Sempur.
Setelah hampir setengah jam berjalan dan berlari-lari kecil, akhirnya saya sampai juga di lapangan sempur. Saat itu waktu menunjukkan pukul 5.45, namun suasana lapangan Sempur sudah seperti pasar saja layaknya. Riuh rendah dengan para warga yang berolahraga pagi.
Alhasil, saya pun tidak fokus berolahraga. Hanya mengelilingi lapangan sempur sambil mata ini tidak lepas melihat-lihat barang dagangan yang dijajakan dengan menggelar lapak berjejer di seputar lapangan.
Setelah puas mengitari lapangan Sempur sebanyak dua kali, saya pun ikut arus warga yang pergi menuju Taman Kencana. Di Taman Kencana, matahari pagi sudah menerangi Kota Bogor. Perut ini pun mulai merintih meminta diisi.
Berkeliling seputar Taman Kencana, mencari-cari sesuatu yang sreg untuk dimakan. Mata ini terpaku dengan satu gerobak sederhana yang menjajakan kue jadul yang dikenal dengan nama kue rangi. Mendadak, terbit keinginan kuat untuk kembali merasakan kue rangi di pagi cerah seusai olahraga pagi.
Kue rangi, sebagai kue berbahan tepung sagu dan parutan kelapa pun mengeluarkan aromanya yang khas ketika dipanggang dengan sedikit minyak goreng. Harumnya membuat perut semakin merintih, meminta untuk segera diisi.
Setelah kue matang, ciri khas yang paling saya suka dari kue rangi itu adalah, diolesi dengan gula merah berbentuk jel. Saya selalu meminta olesannya tebal, karena menurut saya, kenikmatan rasa kue rangi justru timbul pada saat menggigitnya. Rasa empuk manis olesan bercampur menjadi satu dengan rasa garing gurih kue rangi. Sungguh sensasi pagi yang terasa kembali.
Rudi D. Sukmana
Minggu pagi, sejak pukul 5.00 saya sudah bersiap diri untuk berolahraga pagi, satu aktivitas menyehatkan yang selama ini jarang saya lakukan. Setelah berdandan ala kadarnya, udara pagi pun dihirup di tengah pagi yang masih gelap.
Sambil berjalan perlahan, saya tak henti-henti menarik dan menghembuskan nafas. Mencoba mengisi seluruh ruang dalam paru-paru ini dengan udara pagi yang begitu segar. Sesekali saya berlari kecil di pinggir jalan dengan satu tujuan, lapangan Sempur.
Setelah hampir setengah jam berjalan dan berlari-lari kecil, akhirnya saya sampai juga di lapangan sempur. Saat itu waktu menunjukkan pukul 5.45, namun suasana lapangan Sempur sudah seperti pasar saja layaknya. Riuh rendah dengan para warga yang berolahraga pagi.
Alhasil, saya pun tidak fokus berolahraga. Hanya mengelilingi lapangan sempur sambil mata ini tidak lepas melihat-lihat barang dagangan yang dijajakan dengan menggelar lapak berjejer di seputar lapangan.
Setelah puas mengitari lapangan Sempur sebanyak dua kali, saya pun ikut arus warga yang pergi menuju Taman Kencana. Di Taman Kencana, matahari pagi sudah menerangi Kota Bogor. Perut ini pun mulai merintih meminta diisi.
Berkeliling seputar Taman Kencana, mencari-cari sesuatu yang sreg untuk dimakan. Mata ini terpaku dengan satu gerobak sederhana yang menjajakan kue jadul yang dikenal dengan nama kue rangi. Mendadak, terbit keinginan kuat untuk kembali merasakan kue rangi di pagi cerah seusai olahraga pagi.
Kue rangi, sebagai kue berbahan tepung sagu dan parutan kelapa pun mengeluarkan aromanya yang khas ketika dipanggang dengan sedikit minyak goreng. Harumnya membuat perut semakin merintih, meminta untuk segera diisi.
Setelah kue matang, ciri khas yang paling saya suka dari kue rangi itu adalah, diolesi dengan gula merah berbentuk jel. Saya selalu meminta olesannya tebal, karena menurut saya, kenikmatan rasa kue rangi justru timbul pada saat menggigitnya. Rasa empuk manis olesan bercampur menjadi satu dengan rasa garing gurih kue rangi. Sungguh sensasi pagi yang terasa kembali.
Rudi D. Sukmana
Warung Nu Teteh
Citarasa Barat dengan Harga Jawa Barat
Bogor, Jurnal Bogor
Siang ini panas matahari begitu menyengat seluruh kulit sehingga membuat badan mengeluarkan keringat untuk sekian ribu kalinya, namun tiba-tiba kedua mata tertuju pada satu bangunan yang terlihat sejuk di tengah-tengah terik matahari yang tak henti-hentinya menyorot Jl. Pandawa Raya, Bogor.
Ketika kaki ini melangkah memasuki bangunan yang sebagian besar terbuat dari bilik bambu itu, semilir angin menerpa tubuh. Rasanya benar-benar membuat badan ini kembali bergairah, nama bangunan yang dimaksud adalah Warung Nu Teteh.
“Dinamakan Nu Teteh, karena saya biasa dipanggil teteh oleh keluarga. Jadi, mengisyaratkan warung ini milik saya. Selain itu, ungkapan tersebut cukup familiar di Bogor, sehingga mudah diingat,” ungkap Rina Agustina, pemilik Warung Nu Teteh kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Menurut Rina, sapaan akrab Rina Agustina, konsep yang begitu Sundanesse ditonjolkan oleh warung yang sudah dikelolanya selama empat tahun itu. “Saya sengaja mendisain cukup sederhana, agar tidak terkesan mahal dan pelanggan merasa di rumah sendiri,” ujarnya.
Istri dari Bambang Nirzawan itu mengungkapkan, menu yang disediakan selalu diperbaharui setiap tiga bulan sekali, tapi menu favorit pelanggan dipertahankan. “Saya melakukan sortir menu, supaya pelanggan tidak merasa jenuh dan lebih variatif, sehingga pelanggan selalu penasaran untuk datang kembali,” kata wanita kelahiran Bandung, 23 Agustus 1977 itu.
Warung yang berkapasitas 30 orang itu, lanjut Rina, menawarkan harga-harga menu mulai dari Rp 1.000 hingga Rp 20.000. “Meskipun harganya terjangkau, namun tidak mengurangi kualitas setiap makanan yang disajikan. Bahan baku yang kami gunakan selalu menggunakan mutu terbaik, sehingga citarasa sajian hampir tak bercela,” bebernya
Diakui Rina, warungnya menyediakan sekitar 70 jenis makanan dan minuman pilihan. “Walaupun interior bergaya Sunda, sebagian besar menu yang ada di sini ialah Western Food, namun ada juga West Java Food dan Japanesse Food,” ucapnya seraya menambahkan mayoritas pelanggan berasal dari kalangan karyawan dan pelajar.
Sambil melanjutkan pembicaraan, seporsi Nasi Pepes Ampela terhidang di hadapan. Menu ini diyakini sebagai menu andalan selain nasi timbel komplit. Ternyata tidak heran pelanggan memfavoritkannya, sebab bumbunya yang meresap ke setiap butiran nasi memberikan citarasa tersendiri. Selain itu, kekenyalan ampela dan sambal terasinya membuat mulut ini ingin lagi dan lagi, untuk menghabiskan tiap suapan.
Sebelum Nasi Pepes Ampela habis dilahap, Rina mengatakan, masih ada jenis makanan yang saat ini sedang digemari pelanggan, terutama pelajar, yakni Ice Cream Goreng. “Saya sering bereksperimen dalam pengembangan menu pilihan, salah satu hasil yang di respon sangat baik ialah Ice Cream Goreng, namanya yang unik membuat pelanggan penasaran,” paparnya.
Seunik namanya, sensasi saat menyantap Ice Cream Goreng memang sangat unik dan tak mengecewakan rasa penasaran. Roti yang dibaluri oleh sejenis tepung itu, membungkus setiap sudut ice cream yang sudah dibekukan terlebih dahulu. Secara logika, hampir tidak mungkin ice cream bisa digoreng. Namun aneh tapi nyata, pengolahannya memang benar-benar digoreng dalam minyak panas, sampai-sampai bentuknya seperti ayam goreng crispy. Krekesnya roti ditambah lagi meltednya ice cream mencerminkan kreativitas sang empu.
Selain Ice Cream Goreng, imbuh Rina, masih banyak menu unik lainnya yang belum ditawarkan kepada pelanggan. “Banyak menu, khususnya dessert yang sudah mengantri dan masih dirahasiakan, sebab akan digunakan untuk menjadi menu pilihan di cabang yang akan didirikan pada bulan ini di daerah Cinere, yaitu Ice Cream Nu Teteh,” pungkasnya.
Nasia Freemeta I
Bogor, Jurnal Bogor
Siang ini panas matahari begitu menyengat seluruh kulit sehingga membuat badan mengeluarkan keringat untuk sekian ribu kalinya, namun tiba-tiba kedua mata tertuju pada satu bangunan yang terlihat sejuk di tengah-tengah terik matahari yang tak henti-hentinya menyorot Jl. Pandawa Raya, Bogor.
Ketika kaki ini melangkah memasuki bangunan yang sebagian besar terbuat dari bilik bambu itu, semilir angin menerpa tubuh. Rasanya benar-benar membuat badan ini kembali bergairah, nama bangunan yang dimaksud adalah Warung Nu Teteh.
“Dinamakan Nu Teteh, karena saya biasa dipanggil teteh oleh keluarga. Jadi, mengisyaratkan warung ini milik saya. Selain itu, ungkapan tersebut cukup familiar di Bogor, sehingga mudah diingat,” ungkap Rina Agustina, pemilik Warung Nu Teteh kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Menurut Rina, sapaan akrab Rina Agustina, konsep yang begitu Sundanesse ditonjolkan oleh warung yang sudah dikelolanya selama empat tahun itu. “Saya sengaja mendisain cukup sederhana, agar tidak terkesan mahal dan pelanggan merasa di rumah sendiri,” ujarnya.
Istri dari Bambang Nirzawan itu mengungkapkan, menu yang disediakan selalu diperbaharui setiap tiga bulan sekali, tapi menu favorit pelanggan dipertahankan. “Saya melakukan sortir menu, supaya pelanggan tidak merasa jenuh dan lebih variatif, sehingga pelanggan selalu penasaran untuk datang kembali,” kata wanita kelahiran Bandung, 23 Agustus 1977 itu.
Warung yang berkapasitas 30 orang itu, lanjut Rina, menawarkan harga-harga menu mulai dari Rp 1.000 hingga Rp 20.000. “Meskipun harganya terjangkau, namun tidak mengurangi kualitas setiap makanan yang disajikan. Bahan baku yang kami gunakan selalu menggunakan mutu terbaik, sehingga citarasa sajian hampir tak bercela,” bebernya
Diakui Rina, warungnya menyediakan sekitar 70 jenis makanan dan minuman pilihan. “Walaupun interior bergaya Sunda, sebagian besar menu yang ada di sini ialah Western Food, namun ada juga West Java Food dan Japanesse Food,” ucapnya seraya menambahkan mayoritas pelanggan berasal dari kalangan karyawan dan pelajar.
Sambil melanjutkan pembicaraan, seporsi Nasi Pepes Ampela terhidang di hadapan. Menu ini diyakini sebagai menu andalan selain nasi timbel komplit. Ternyata tidak heran pelanggan memfavoritkannya, sebab bumbunya yang meresap ke setiap butiran nasi memberikan citarasa tersendiri. Selain itu, kekenyalan ampela dan sambal terasinya membuat mulut ini ingin lagi dan lagi, untuk menghabiskan tiap suapan.
Sebelum Nasi Pepes Ampela habis dilahap, Rina mengatakan, masih ada jenis makanan yang saat ini sedang digemari pelanggan, terutama pelajar, yakni Ice Cream Goreng. “Saya sering bereksperimen dalam pengembangan menu pilihan, salah satu hasil yang di respon sangat baik ialah Ice Cream Goreng, namanya yang unik membuat pelanggan penasaran,” paparnya.
Seunik namanya, sensasi saat menyantap Ice Cream Goreng memang sangat unik dan tak mengecewakan rasa penasaran. Roti yang dibaluri oleh sejenis tepung itu, membungkus setiap sudut ice cream yang sudah dibekukan terlebih dahulu. Secara logika, hampir tidak mungkin ice cream bisa digoreng. Namun aneh tapi nyata, pengolahannya memang benar-benar digoreng dalam minyak panas, sampai-sampai bentuknya seperti ayam goreng crispy. Krekesnya roti ditambah lagi meltednya ice cream mencerminkan kreativitas sang empu.
Selain Ice Cream Goreng, imbuh Rina, masih banyak menu unik lainnya yang belum ditawarkan kepada pelanggan. “Banyak menu, khususnya dessert yang sudah mengantri dan masih dirahasiakan, sebab akan digunakan untuk menjadi menu pilihan di cabang yang akan didirikan pada bulan ini di daerah Cinere, yaitu Ice Cream Nu Teteh,” pungkasnya.
Nasia Freemeta I
Tampilan, Kemasan, Isi, dan Rasa
Bogor, Jurnal Bogor
Malam hari setelah merampungkan pekerjaan rutin, saya menyempatkan diri singgah di tempat kediaman sahabat saya, Ki Batin di Gunung Batu. Seperti biasa, sosok satu itu menyambut dengan ramah dan mempersilakan saya untuk duduk. Tak berapa lama, sajian pun dihidangkan. Kali ini sajian itu tampak istimewa, karena berupa kue dalam kemasan pabrik.
Di tengah-tengah pembicaraan, saya menceritakan pengalaman ketika sedang melakukan liputan kuliner di salah satu warung makan di Jl. Malabar Ujung. Di tempat itu, seorang laki-laki berseragam menegur saya dengan keras karena tidak suka dirinya difoto. Padahal, saya merasa tidak memfoto lelaki itu secara khusus, hanya ingin mengambil suasana ramai warung makan yang citarasanya sudah dikenal banyak orang itu.
“Yang membuat saya sebal, Kang. Itu orang arogannya minta ampun. Sambil menunjukkan seragam yang dipakainya, seperti orang penting saja,” tutur saya. Ki Batin pun mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar cerita saya.
Tanpa memberikan tanggapan atau komentar, Ki Batin malah mengasongkan piring berisi kue-kue dalam kemasan, diantaranya Beng Beng dan Top kepada saya. “Sok A, milih Beng Beng atawa Top?” tanyanya seperti tak menghiraukan cerita saya tadi.
Saya lalu mengambil Top dan langsung saya buka kemasan bungkusnya. Wafer coklat itu pun lalu saya lahap. “Kunaon si Aa milih Top, laen Beng Beng, pan sami-sami wafer coklat?” tanyanya lagi. Sambil mulut sibuk mengunyah, saya katakan rasa Top lebih saya suka dibandingkan rasa Beng Beng.
“Eta oge sae, A,” balas Ki Batin. “Berarti Aa teh udah ngeliat pada isi bukan lagi pada tampilan atau kemasan,” tambahnya. Banyak orang, lanjut Ki Batin, yang masih melihat pada tampilan atau kemasan. “Beng Beng yang merah dan berukuran lebih besar atau Top yang berwarna gold dengan ukuran lebih kecil, masih jadi patokan bagi sebagian besar orang. Hal itu merupakan cerminan manusa dalam menilai sesuatu,” paparnya.
Ki Batin pun melanjutkan, segala sesuatu itu selalu memiliki kandungan asma, af’al, sifat, dan zat. “Begitu juga diri manusa. Masing-masing individu ada zat, sifat, af’al, dan asmanya,” jelasnya.
Diterangkan Ki Batin, asma merupakan tampilan terluar. “Seperti halnya wafer coklat ini. Sama-sama wafer coklat tapi berbeda asma atau nama. Ada yang namanya Beng Beng, ada yang namanya Top,” jelasnya.
Lalu af’alnya, imbuh Ki Batin, adalah ciri dari sesuatu. “Beng Beng af’alnya berwarna merah dan ukurannya lebih besar, sedangkan Top berwarna gold dengan ukuran lebih kecil. Sama seperti manusa, asmana berbeda-beda demikian juga bentuk rupanya,” tambahnya.
Manusia yang sudah dapat melihat dan menilai pada sifat, kata Ki Batin, merupakan tingkatan yang lebih tinggi daripada manusia yang masih melihat pada nama dan tampilan bentuk. “Sekarang ini, banyak sekali orang yang namanya sangat islami tapi kelakuannya jauh dari nama yang disandangnya. Banyak orang ganteng atau cantik, tapi sikap dan perilakunya tidak sesuai dengan keindahan rupanya. Banyak sekali, anaking,” ujar Ki Batin membuat saya termenung.
Padahal, tambah Ki Batin, semuanya berasal dari zat yang sama. “Mau dia bangsat, mau dia bajingan, mau dia ulama, semuanya itu berasa dari zat yang sama, zat yang satu. Siapa? Sang Zat Tunggal itu sendiri. Tapi kenapa semakin banyak manusa yang teu nggeuh ka palebah dieu? Makin banyak manusa yang silau dengan nama dan tampilan. Sok atuh direnungkeun deui, kasep,” pungkasnya.
Rudi D. Sukmana
Malam hari setelah merampungkan pekerjaan rutin, saya menyempatkan diri singgah di tempat kediaman sahabat saya, Ki Batin di Gunung Batu. Seperti biasa, sosok satu itu menyambut dengan ramah dan mempersilakan saya untuk duduk. Tak berapa lama, sajian pun dihidangkan. Kali ini sajian itu tampak istimewa, karena berupa kue dalam kemasan pabrik.
Di tengah-tengah pembicaraan, saya menceritakan pengalaman ketika sedang melakukan liputan kuliner di salah satu warung makan di Jl. Malabar Ujung. Di tempat itu, seorang laki-laki berseragam menegur saya dengan keras karena tidak suka dirinya difoto. Padahal, saya merasa tidak memfoto lelaki itu secara khusus, hanya ingin mengambil suasana ramai warung makan yang citarasanya sudah dikenal banyak orang itu.
“Yang membuat saya sebal, Kang. Itu orang arogannya minta ampun. Sambil menunjukkan seragam yang dipakainya, seperti orang penting saja,” tutur saya. Ki Batin pun mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar cerita saya.
Tanpa memberikan tanggapan atau komentar, Ki Batin malah mengasongkan piring berisi kue-kue dalam kemasan, diantaranya Beng Beng dan Top kepada saya. “Sok A, milih Beng Beng atawa Top?” tanyanya seperti tak menghiraukan cerita saya tadi.
Saya lalu mengambil Top dan langsung saya buka kemasan bungkusnya. Wafer coklat itu pun lalu saya lahap. “Kunaon si Aa milih Top, laen Beng Beng, pan sami-sami wafer coklat?” tanyanya lagi. Sambil mulut sibuk mengunyah, saya katakan rasa Top lebih saya suka dibandingkan rasa Beng Beng.
“Eta oge sae, A,” balas Ki Batin. “Berarti Aa teh udah ngeliat pada isi bukan lagi pada tampilan atau kemasan,” tambahnya. Banyak orang, lanjut Ki Batin, yang masih melihat pada tampilan atau kemasan. “Beng Beng yang merah dan berukuran lebih besar atau Top yang berwarna gold dengan ukuran lebih kecil, masih jadi patokan bagi sebagian besar orang. Hal itu merupakan cerminan manusa dalam menilai sesuatu,” paparnya.
Ki Batin pun melanjutkan, segala sesuatu itu selalu memiliki kandungan asma, af’al, sifat, dan zat. “Begitu juga diri manusa. Masing-masing individu ada zat, sifat, af’al, dan asmanya,” jelasnya.
Diterangkan Ki Batin, asma merupakan tampilan terluar. “Seperti halnya wafer coklat ini. Sama-sama wafer coklat tapi berbeda asma atau nama. Ada yang namanya Beng Beng, ada yang namanya Top,” jelasnya.
Lalu af’alnya, imbuh Ki Batin, adalah ciri dari sesuatu. “Beng Beng af’alnya berwarna merah dan ukurannya lebih besar, sedangkan Top berwarna gold dengan ukuran lebih kecil. Sama seperti manusa, asmana berbeda-beda demikian juga bentuk rupanya,” tambahnya.
Manusia yang sudah dapat melihat dan menilai pada sifat, kata Ki Batin, merupakan tingkatan yang lebih tinggi daripada manusia yang masih melihat pada nama dan tampilan bentuk. “Sekarang ini, banyak sekali orang yang namanya sangat islami tapi kelakuannya jauh dari nama yang disandangnya. Banyak orang ganteng atau cantik, tapi sikap dan perilakunya tidak sesuai dengan keindahan rupanya. Banyak sekali, anaking,” ujar Ki Batin membuat saya termenung.
Padahal, tambah Ki Batin, semuanya berasal dari zat yang sama. “Mau dia bangsat, mau dia bajingan, mau dia ulama, semuanya itu berasa dari zat yang sama, zat yang satu. Siapa? Sang Zat Tunggal itu sendiri. Tapi kenapa semakin banyak manusa yang teu nggeuh ka palebah dieu? Makin banyak manusa yang silau dengan nama dan tampilan. Sok atuh direnungkeun deui, kasep,” pungkasnya.
Rudi D. Sukmana
Tahu Brintiiik
Gelitik Rasa Tahu Unik
Bogor, Jurnal Bogor
Sebuah kios menarik berdiri di satu lokasi di Jl. Veteran Bogor. Kios yang mirip seperti kios penjaja kebab doner itu, dari penandanya menjual satu jenis kuliner yang cukup baru di Kota Bogor, namanya Tahu Brintiiik. Kuatnya daya tarik yang disajikan kios Tahu Brintiiik itu membuat saya menyetop angkot yang saya naiki dan segera menghampiri tempat itu.
Setelah mengutarakan maksud dan tujuan kepada seorang penjaga kios, dia mengatakan tidak bersedia untuk diliput karena baru satu bulan mangkal di tempatnya sekarang. Meski demikian, lelaki penjaga kios itu menyarankan saya untuk mendatangi satu lagi kios Tahu Brintik yang berada di Jl. Pengadilan, karena menurutnya di sana merupakan kios pertama dan tempatnya hanya sebagai cabang dari kios yang terletak di seberang gedung sekolah Regina Pacis itu.
Tambah penasaran, saya segera menuju ke tempat yang dimaksud. Kios Tahu Brintiiik yang berada di Jl. Pengadilan ternyata berjejeran dengan kios-kios yang menjajakan beragam kuliner lain, dan merupakan tempat jajan bagi para pelajar sekolah terkenal di Kota Bogor itu.
Udin Khaerudin, penjaga kios Tahu Brintiiik yang berada di Jl. Pengadilan pun mengatakan kesediaannya untuk diliput. “Kios ini baru dibuka sejak lima bulan lalu,” ujar Udin yang asli Temanggung, Jawa Tengah itu.
Dikatakan Udin, tahu brintik merupakan jenis kuliner baru sebagai hasil modifikasi dari berbagai jenis kuliner tahu goreng yang telah ada. “Dinamakan tahu brintik, karena tahunya dipotong-potong keci berukuran stik seperti french fries,” ujarnya.
Udin pun mengangkat bahunya, ketika ditanyakan apakah tahu brintik merupakan satu modifikasi terbaru dari tahu brontak yang sudah sangat populer itu. “Mungkin saja begitu. Tapi, tahu brontak itu adalah tahu isi, tahu yang ada isinya. Tahu brintik bukan tahu isi,” tukasnya.
Kios Tahu Brintiiik dikatakan Udin dimiliki oleh Rosa yang tinggal di komplek Kehutanan Ciomas. Usaha itu, lanjutnya, merupakan usaha franchise yang dibeli hak usahanya dari pameran franchise beberapa waktu lalu di Jakarta. “Tahu Brintiiik aslinya berasal dari Surabaya,” tutur Udin.
Menu yang disediakan kios Tahu Brintiiik, menurut Udin, ditawarkan dalam lima pilihan, yaitu Tahu Crispy Petis, Tahu Crispy Balado, Tahu Isi Udang, Tahu Stik Keju Mayo ukuran S, dan Tahu Stik Keju Mayo ukuran L. “Tahu Crispy Petis dan Tahu Crispy Balado harganya Rp 5.000 per 10 biji. Tahu Isi Udang dijual dengan harga Rp 10.000 per 10 biji, sedangkan Tahu Stik Mayo S Rp 3.000 dan Tahu Stik Mayo L Rp 6.000,” paparnya.
Udin juga mengatakan, kios yang turut dikelolanya dibuka setiap hari kecuali Minggu. “Setiap hari kios ini dibuka mulai jam 10.00 sampai 17.00,” ujarnya seraya menambahkan, untuk hari libur kiosnya tutup karena memang membidik pangsa pasar pelajar sekolah Regina Pacis.
Keistimewaan tahu brintik, imbuh Udin, terletak pada rasanya yang manis, asin, pedas, garing, dan renyah. “Kami menggunakan tahu Sumedang asli yang tiap hari didatangkan langsung dari Kota Sumedang. Bahkan bumbu petisnya pun asli didatangkan dari Kota Surabaya,” katanya.
Setiap harinya, Udin mampu menjual 40 mangkuk kecil tahu brintik yang berharga Rp 3.000 dan 15 kotak besar tahu brintik yang berharga Rp 6.000. “Pelajar sangat menyukai Tahu Stik Mayo, karena rasanya sangat unik,” ungkapnya.
Tertarik dengan citarasa yang disuguhkan kuliner jenis baru itu, saya pun memesan dua rasa tahu brintik, yaitu Tahu Stik Mayo dan Tahu Crispy Balado. Dengan sigap, Udin pun meracik tahu Sumedang yang direndam dalam air berbumbu. Setelah disiangi, tahu itu dibalur dengan adonan tepung.
Tahu pun kemudian dimasukkan ke dalam genangan minyak goreng panas. Dalam waktu tidak terlalu lama, tahu pesanan saya telah tersaji dengan penampilan yang mampu membangkitkan selera kuliner ini. “Tahu brintik paling enak dinikmati ketika masih hangat-hangat panas,” kata Udin sambil menyuguhkan tahu hasil olahannya.
Tanpa menunggu lagi, mulut ini pun akhirnya mengap-mengap karena mengunyah potongan tahu yang masih bersuhu panas itu. Saus baladonya semakin menambah rasa panas di mulut dan mampu menghadirkan bulir-bulir keringat di sekitar kening. Untuk citarasa, tahu brintik cukup istimewa. Meski sudah ditambah dengan berbagai bumbu, rasa gurih khas tahu Sumedangnya masih timbul dari suguhan itu.
Sebagai satu jenis kuliner baru, tahu brintik sangat berpotensi menjadi penantang utama tahu brontak. Gelitik rasa yang ditimbulkan tahu brintik itu sendiri, menurut saya akan semakin menjadi bila tahu brintik itu dinikmati ketika hujan rintik.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Sebuah kios menarik berdiri di satu lokasi di Jl. Veteran Bogor. Kios yang mirip seperti kios penjaja kebab doner itu, dari penandanya menjual satu jenis kuliner yang cukup baru di Kota Bogor, namanya Tahu Brintiiik. Kuatnya daya tarik yang disajikan kios Tahu Brintiiik itu membuat saya menyetop angkot yang saya naiki dan segera menghampiri tempat itu.
Setelah mengutarakan maksud dan tujuan kepada seorang penjaga kios, dia mengatakan tidak bersedia untuk diliput karena baru satu bulan mangkal di tempatnya sekarang. Meski demikian, lelaki penjaga kios itu menyarankan saya untuk mendatangi satu lagi kios Tahu Brintik yang berada di Jl. Pengadilan, karena menurutnya di sana merupakan kios pertama dan tempatnya hanya sebagai cabang dari kios yang terletak di seberang gedung sekolah Regina Pacis itu.
Tambah penasaran, saya segera menuju ke tempat yang dimaksud. Kios Tahu Brintiiik yang berada di Jl. Pengadilan ternyata berjejeran dengan kios-kios yang menjajakan beragam kuliner lain, dan merupakan tempat jajan bagi para pelajar sekolah terkenal di Kota Bogor itu.
Udin Khaerudin, penjaga kios Tahu Brintiiik yang berada di Jl. Pengadilan pun mengatakan kesediaannya untuk diliput. “Kios ini baru dibuka sejak lima bulan lalu,” ujar Udin yang asli Temanggung, Jawa Tengah itu.
Dikatakan Udin, tahu brintik merupakan jenis kuliner baru sebagai hasil modifikasi dari berbagai jenis kuliner tahu goreng yang telah ada. “Dinamakan tahu brintik, karena tahunya dipotong-potong keci berukuran stik seperti french fries,” ujarnya.
Udin pun mengangkat bahunya, ketika ditanyakan apakah tahu brintik merupakan satu modifikasi terbaru dari tahu brontak yang sudah sangat populer itu. “Mungkin saja begitu. Tapi, tahu brontak itu adalah tahu isi, tahu yang ada isinya. Tahu brintik bukan tahu isi,” tukasnya.
Kios Tahu Brintiiik dikatakan Udin dimiliki oleh Rosa yang tinggal di komplek Kehutanan Ciomas. Usaha itu, lanjutnya, merupakan usaha franchise yang dibeli hak usahanya dari pameran franchise beberapa waktu lalu di Jakarta. “Tahu Brintiiik aslinya berasal dari Surabaya,” tutur Udin.
Menu yang disediakan kios Tahu Brintiiik, menurut Udin, ditawarkan dalam lima pilihan, yaitu Tahu Crispy Petis, Tahu Crispy Balado, Tahu Isi Udang, Tahu Stik Keju Mayo ukuran S, dan Tahu Stik Keju Mayo ukuran L. “Tahu Crispy Petis dan Tahu Crispy Balado harganya Rp 5.000 per 10 biji. Tahu Isi Udang dijual dengan harga Rp 10.000 per 10 biji, sedangkan Tahu Stik Mayo S Rp 3.000 dan Tahu Stik Mayo L Rp 6.000,” paparnya.
Udin juga mengatakan, kios yang turut dikelolanya dibuka setiap hari kecuali Minggu. “Setiap hari kios ini dibuka mulai jam 10.00 sampai 17.00,” ujarnya seraya menambahkan, untuk hari libur kiosnya tutup karena memang membidik pangsa pasar pelajar sekolah Regina Pacis.
Keistimewaan tahu brintik, imbuh Udin, terletak pada rasanya yang manis, asin, pedas, garing, dan renyah. “Kami menggunakan tahu Sumedang asli yang tiap hari didatangkan langsung dari Kota Sumedang. Bahkan bumbu petisnya pun asli didatangkan dari Kota Surabaya,” katanya.
Setiap harinya, Udin mampu menjual 40 mangkuk kecil tahu brintik yang berharga Rp 3.000 dan 15 kotak besar tahu brintik yang berharga Rp 6.000. “Pelajar sangat menyukai Tahu Stik Mayo, karena rasanya sangat unik,” ungkapnya.
Tertarik dengan citarasa yang disuguhkan kuliner jenis baru itu, saya pun memesan dua rasa tahu brintik, yaitu Tahu Stik Mayo dan Tahu Crispy Balado. Dengan sigap, Udin pun meracik tahu Sumedang yang direndam dalam air berbumbu. Setelah disiangi, tahu itu dibalur dengan adonan tepung.
Tahu pun kemudian dimasukkan ke dalam genangan minyak goreng panas. Dalam waktu tidak terlalu lama, tahu pesanan saya telah tersaji dengan penampilan yang mampu membangkitkan selera kuliner ini. “Tahu brintik paling enak dinikmati ketika masih hangat-hangat panas,” kata Udin sambil menyuguhkan tahu hasil olahannya.
Tanpa menunggu lagi, mulut ini pun akhirnya mengap-mengap karena mengunyah potongan tahu yang masih bersuhu panas itu. Saus baladonya semakin menambah rasa panas di mulut dan mampu menghadirkan bulir-bulir keringat di sekitar kening. Untuk citarasa, tahu brintik cukup istimewa. Meski sudah ditambah dengan berbagai bumbu, rasa gurih khas tahu Sumedangnya masih timbul dari suguhan itu.
Sebagai satu jenis kuliner baru, tahu brintik sangat berpotensi menjadi penantang utama tahu brontak. Gelitik rasa yang ditimbulkan tahu brintik itu sendiri, menurut saya akan semakin menjadi bila tahu brintik itu dinikmati ketika hujan rintik.
Rudi D. Sukmana
Gang Selot Kumpulan Kuliner Bercitarasa Dahsyat
Bogor, Jurnal Bogor
Tempat yang satu ini, bisa jadi merupakan salah satu titik kuliner di Kota Bogor. Meski namanya kurang begitu populer, selama lebih dari 30 tahun, tempat itu telah menjadi pilihan untuk santap siang dan selalu dipadati pelajar dan karyawan. Tempat yang dimaksud adalah Gang Selot yang terletak tepat di antara SMPN 1 Bogor dan gedung LIPI di Jl. Ir. H. Juanda.
Seorang penjual kupat tahu bernama Sugandi mengatakan, nama Gang Selot sendiri tidak diketahui asal usulnya. ”Entah darimana nama Selot itu berasal, namun yang pasti ketika saya pertama kali menjual kupat tahu pada 1970, gang ini sudah dinamakan seperti itu,” ungkap Sugandi kepada Jurnal Bogor, kemarin
Menurut Sugandi, pada awalnya hanya ada lima gerobak yang menjajakan dagangan di Gang Selot, diantaranya kupat tahu miliknya, toge goreng, aneka minuman, warung kecil dan tahu goreng. ”Sekitar 38 tahun saya berdagang di sini, tapi tidak pernah berganti-ganti menu, sebab banyak pelanggan yang sudah kepincut dengan makanan yang saya sajikan,” katanya.
Dikatakan Sugandi, sekarang ini Gang Selot mengalami banyak perubahan dari mulai tata letak, kebersihan, dan jumlah gerobak yang semakin bertambah. ”Walaupun demikian, jumlah pelanggan juga bertambah, sehingga tidak mengurangi pendapatan para pedagang,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Sugandi, ada 25 gerobak yang berjejer sepanjang Gang Selot, dari mulai wartel, bakso, mie ayam, nasi goreng, warteg, pempek, es doger hingga toko sepatu dan tas. ”Setiap gerobak memiliki pelanggan setia masing-masing, namun saya lihat yang paling banyak diminati ialah Bakso Yamin Selot,” paparnya.
Hal senada diungkapkan Rosalina Denis, salah satu pelanggan kuliner Gang Selot yang mengaku sudah enam tahun selalu makan siang di Gang Selot. ”Saya senang dengan suasananya yang nyaman, selain itu makanannya murah meriah,” terangnya.
Dara yang sering dipanggil Alin itu mengatakan, Gang Selot saat ini lebih bersih dan tertata rapih. ”Meski demikian, perlu ada pembenahan sedikit, yaitu menambah tanaman atau pepohonan sehingga dapat menambah kesejukan karena udara di Gang Selot saat ini cukup panas,” jelasnya.
Karyawati LIPI yang menjabat sebagai sekretaris itu menuturkan, makanan favoritnya dari SMA sampai sekarang adalah bakso yamin dan es doger. ”Bakso di sini rasanya berbeda dengan bakso di tempat lain. Selain itu, baksonya juga lebih empuk dan isinya bermacam-macam, seperti bakso telur, bakso urat, bakso daging, bahkan bakso isi hati juga ada di sini,” ucap dara kelahiran Bogor, 26 Oktober 1987 itu.
Penasaran dengan rasa Bakso Yamin Selot yang digembar-gemborkan itu, semangkuk bakso racikan khas Gang Selot pun terhidang di hadapan mata. Semangkuk bakso telur dan bakso hati yang ditemani yamin mie itu tampak menawarkan sensari rasa menakjubkan.
Saat bakso telur dibelah, kuning telurnya terpecah dan membaur dengan kuah bakso yang gurih, sehingga menambah nikmatnya sajian di siang hari itu. Peluhpun menetes karena sensasi rasa sambal racikan ala Bakso Yamin Selot. Pedasnya membuat lidah ini semakin kepanasan, ditambah lagi suasana hiruk pikuk dan hilir mudik para pelanggan semakin menciptakan selera makan menjadi tambah bersemangat.
Selesai dengan semangkuk bakso, hantaran selanjutnya adalah siomai. Seporsi siomai yang terbuat dari ikan tenggiri itu, benar-benar legit dan tidak ada pengawet yang digunakan, sehingga rasa yang diberikan keluar di setiap gigitan. Bumbu kacangnya pun sedikit berbeda dengan siomay lainnya, terlihat ulekan kacangnya yang begitu halus memberikan citarasa yang semakin dahsyat.
Kedahsyatan rasa siomai asli Gang Selot membuat saya berpikir tentang rasa siomai Rasa Jati Abah Bujal yang menurut kabarnya, konon merupakan citarasa siomai yang terdahsyat di antara yang dahsyat. Sayangnya, si abang siomai dan tempat mangkalnya kini belum berhasil ditemukan kembali.
Untuk meredakan panasnya perut akibat sambal bakso tadi, segelas es doger pun dipesan. Campuran ketan hitam, alpukat, tape singkong dan es serut yang disuguhkan mampu mendinginkan suhu tubuh yang sempat panas. Benar-benar menyejukkan dan memantapkan perut untuk menyudahi petualangan kuliner hari ini.
Nasia Freemeta I
Tempat yang satu ini, bisa jadi merupakan salah satu titik kuliner di Kota Bogor. Meski namanya kurang begitu populer, selama lebih dari 30 tahun, tempat itu telah menjadi pilihan untuk santap siang dan selalu dipadati pelajar dan karyawan. Tempat yang dimaksud adalah Gang Selot yang terletak tepat di antara SMPN 1 Bogor dan gedung LIPI di Jl. Ir. H. Juanda.
Seorang penjual kupat tahu bernama Sugandi mengatakan, nama Gang Selot sendiri tidak diketahui asal usulnya. ”Entah darimana nama Selot itu berasal, namun yang pasti ketika saya pertama kali menjual kupat tahu pada 1970, gang ini sudah dinamakan seperti itu,” ungkap Sugandi kepada Jurnal Bogor, kemarin
Menurut Sugandi, pada awalnya hanya ada lima gerobak yang menjajakan dagangan di Gang Selot, diantaranya kupat tahu miliknya, toge goreng, aneka minuman, warung kecil dan tahu goreng. ”Sekitar 38 tahun saya berdagang di sini, tapi tidak pernah berganti-ganti menu, sebab banyak pelanggan yang sudah kepincut dengan makanan yang saya sajikan,” katanya.
Dikatakan Sugandi, sekarang ini Gang Selot mengalami banyak perubahan dari mulai tata letak, kebersihan, dan jumlah gerobak yang semakin bertambah. ”Walaupun demikian, jumlah pelanggan juga bertambah, sehingga tidak mengurangi pendapatan para pedagang,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Sugandi, ada 25 gerobak yang berjejer sepanjang Gang Selot, dari mulai wartel, bakso, mie ayam, nasi goreng, warteg, pempek, es doger hingga toko sepatu dan tas. ”Setiap gerobak memiliki pelanggan setia masing-masing, namun saya lihat yang paling banyak diminati ialah Bakso Yamin Selot,” paparnya.
Hal senada diungkapkan Rosalina Denis, salah satu pelanggan kuliner Gang Selot yang mengaku sudah enam tahun selalu makan siang di Gang Selot. ”Saya senang dengan suasananya yang nyaman, selain itu makanannya murah meriah,” terangnya.
Dara yang sering dipanggil Alin itu mengatakan, Gang Selot saat ini lebih bersih dan tertata rapih. ”Meski demikian, perlu ada pembenahan sedikit, yaitu menambah tanaman atau pepohonan sehingga dapat menambah kesejukan karena udara di Gang Selot saat ini cukup panas,” jelasnya.
Karyawati LIPI yang menjabat sebagai sekretaris itu menuturkan, makanan favoritnya dari SMA sampai sekarang adalah bakso yamin dan es doger. ”Bakso di sini rasanya berbeda dengan bakso di tempat lain. Selain itu, baksonya juga lebih empuk dan isinya bermacam-macam, seperti bakso telur, bakso urat, bakso daging, bahkan bakso isi hati juga ada di sini,” ucap dara kelahiran Bogor, 26 Oktober 1987 itu.
Penasaran dengan rasa Bakso Yamin Selot yang digembar-gemborkan itu, semangkuk bakso racikan khas Gang Selot pun terhidang di hadapan mata. Semangkuk bakso telur dan bakso hati yang ditemani yamin mie itu tampak menawarkan sensari rasa menakjubkan.
Saat bakso telur dibelah, kuning telurnya terpecah dan membaur dengan kuah bakso yang gurih, sehingga menambah nikmatnya sajian di siang hari itu. Peluhpun menetes karena sensasi rasa sambal racikan ala Bakso Yamin Selot. Pedasnya membuat lidah ini semakin kepanasan, ditambah lagi suasana hiruk pikuk dan hilir mudik para pelanggan semakin menciptakan selera makan menjadi tambah bersemangat.
Selesai dengan semangkuk bakso, hantaran selanjutnya adalah siomai. Seporsi siomai yang terbuat dari ikan tenggiri itu, benar-benar legit dan tidak ada pengawet yang digunakan, sehingga rasa yang diberikan keluar di setiap gigitan. Bumbu kacangnya pun sedikit berbeda dengan siomay lainnya, terlihat ulekan kacangnya yang begitu halus memberikan citarasa yang semakin dahsyat.
Kedahsyatan rasa siomai asli Gang Selot membuat saya berpikir tentang rasa siomai Rasa Jati Abah Bujal yang menurut kabarnya, konon merupakan citarasa siomai yang terdahsyat di antara yang dahsyat. Sayangnya, si abang siomai dan tempat mangkalnya kini belum berhasil ditemukan kembali.
Untuk meredakan panasnya perut akibat sambal bakso tadi, segelas es doger pun dipesan. Campuran ketan hitam, alpukat, tape singkong dan es serut yang disuguhkan mampu mendinginkan suhu tubuh yang sempat panas. Benar-benar menyejukkan dan memantapkan perut untuk menyudahi petualangan kuliner hari ini.
Nasia Freemeta I
Laksa Bogor Taman Kencana
Ngalalap Kemangi Anu ka Asa
Bogor, Jurnal Bogor
Sebagai satu jenis kuliner unik, laksa memiliki banyak kisah dalam perjalanannya menyuguhkan citarasa bagi perut manusia. Nama laksa sendiri, diambil dari bahasa Sanskrit India kuno, yaitu laksha yang mempunyai arti banyak, sedangkan arti laksa dalam Bahasa Indonesia berarti sepuluh ribu. Arti itu seakan menunjukkan, laksa dibuat dengan berbagai bumbu.
Sebenarnya laksa yang lebih dikenal di dunia adalah Laksa Kari, Laksa Assam, dan Laksa Sarawak, yaitu jenis makanan mi yang ditaruh beraneka bumbu di dalamnya. Di Indonesia, laksa merupakan makanan kebudayaan peranakan yang merupakan gabungan kuliner Tionghoa dan Melayu.
Meski demikian, Laksa Bogor merupakan jenis laksa yang memiliki citarasa tersendiri yang unik. Keunikan Laksa Bogor itu karena menambahkan oncom bereum dan daun kemangi dalam porsi yang cukup banyak, sehingga sangat sesuai dengan citarasa lidah Urang Sunda, khususnya warga asli Bogor. Menjadikan Laksa Bogor sebagai kuliner yang memiliki sepuluh ribu rasa.
Salah satu penjual Laksa Bogor, dapat dijumpai di dekat Taman Kencana. Wanah, perempuan penjual Laksa Bogor itu mengatakan, telah menjajakan kuliner itu sejak lebih dari 1,5 tahun lalu. “Sebelumnya, saya berjualan rujak ulek. Karena pembeli semakin berkurang, saya beralih menjual laksa,” ungkap Wanah kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Bersama-sama Muhrin, suaminya yang membuka kios rokok di sebelah tempat Wanah biasa mangkal, pasangan itu mencoba bertahan mengais rejeki di Taman Kencana yang saat ini terkenal sebagai salah satu titik wisata kuliner Kota Bogor. Laksa Bogor pun dijual Wanah dengan harga Rp 6.000 per porsi dengan tambahan lauk telur ayam rebut. “Untuk porsi kosongan, tanpa telur, saya jual Rp 4.000,” ujar Wanah.
Dikatakan Wanah, usahanya berjualan laksa dilakukan setiap hari tanpa hari libur mulai pukul 8.00 sampai pukul 16.00. “Kalau saya libur jualan, bisa-bisa saya dan keluarga tidak bisa makan,” ujar ibu dua anak itu seraya meracik menu Laksa Bogor dengan cepat.
Ritual peracikan laksa memang sangat dikenal unik. Oncom bereumnya diremas dan hancur oleh ujung jari, belum lagi daun kemangi segarnya yang wanginya merebak. Keunikan lainnya, adalah proses pematangan yang hanya merendam campuran bahan-bahan laksa dengan kuah laksa lalu kuahnya dituangkan kembali ke dalam panci secara berulang-ulang sebanyak tiga sampai empat kali. Sungguh suatu ritual peracikan yang enak untuk ditonton.
Dalam satu hari, Wanah biasa menyediakan 30 porsi Laksa Bogor. “Biasanya saya memutar modal Rp 100.000 perharinya. Keuntungan yang saya dapat sekitar Rp 20.000 sampai Rp 50.000, tergantung sepi tidaknya pembeli,” terangnya sambil menghidangkan satu porsi Laksa Bogor, lengkap dengan lauk telur ayam rebusnya.
Satu porsi Laksa Bogor yang terhidang, memang memiliki penampilan yang sederhana. Meski demikian, aroma harum bumbu-bumbu yang berasal dari kuah laksa yang masih mengepul, sangat menggoda indra penciuman ini. Sesendok sambal berwarna hijau layu pun tak lupa disisipkan di pinggir piring sebagai perangsang selera.
Satu seruput pun dilakukan untuk menjajal rasa. Mmm.. menurut saya, Laksa Bogor merupakan jenis masakan yang memiliki rasa nyaris mirip seperti Tom Yam Soup dari Thailand itu. Bedanya hanya bahan-bahan yang diberikan dan aroma laut yang disuguhkan oleh Tom Yam Soup.
Laksa Bogor Ibu Wanah menyuguhkan kuah yang bumbu-bumbu dapur dasarnya sangat terasa. Bahan-bahan lain, seperti ketupat, soun, dan toge bercampur padu dengan oncom bereum dan daun kemangi. Semuanya disajikan dengan setengah matang, itulah kekuatan rasa Laksa Bogor di samping daun kemangi dan oncom bereumnya.
Rasa pedas yang berasal dari sambal yang dibuat pun sangat menunjang citarasa Laksa Bgor yang disajikan Wanah. Ketika ditanya apa nama usaha yang dijalankannya, Wanah menjawab, tidak pernah terpikirkan untuk memberi nama usahanya itu. “Para pembeli biasanya memberi nama Laksa Bogor Taman Kencana untuk usaha yang saya jalankan,” ujarnya.
Tidak berapa lama, satu porsi Laksa Bogor pun tandas. Satu hentakan kuat angin dari dalam perut, membuat mulut ini membunyikan suara yang lazimnya tidak sopan. Untung saja, waktu itu hanya ada saya dan piring bekas sajian laksa, sehingga saya tidak perlu merasa malu.
Laksa Bogor memang satu jenis kuliner yang langka. Mungkin karena langkanya, masakan itu dinamakan laksa. Seperti kata Wanah yang mengatakan laksa merupakan singkatan dari langka kapendak rasa. Buat saya, laksa lebih pas merupakan singkatan dari ngalalap kemangi anu ka asa.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Sebagai satu jenis kuliner unik, laksa memiliki banyak kisah dalam perjalanannya menyuguhkan citarasa bagi perut manusia. Nama laksa sendiri, diambil dari bahasa Sanskrit India kuno, yaitu laksha yang mempunyai arti banyak, sedangkan arti laksa dalam Bahasa Indonesia berarti sepuluh ribu. Arti itu seakan menunjukkan, laksa dibuat dengan berbagai bumbu.
Sebenarnya laksa yang lebih dikenal di dunia adalah Laksa Kari, Laksa Assam, dan Laksa Sarawak, yaitu jenis makanan mi yang ditaruh beraneka bumbu di dalamnya. Di Indonesia, laksa merupakan makanan kebudayaan peranakan yang merupakan gabungan kuliner Tionghoa dan Melayu.
Meski demikian, Laksa Bogor merupakan jenis laksa yang memiliki citarasa tersendiri yang unik. Keunikan Laksa Bogor itu karena menambahkan oncom bereum dan daun kemangi dalam porsi yang cukup banyak, sehingga sangat sesuai dengan citarasa lidah Urang Sunda, khususnya warga asli Bogor. Menjadikan Laksa Bogor sebagai kuliner yang memiliki sepuluh ribu rasa.
Salah satu penjual Laksa Bogor, dapat dijumpai di dekat Taman Kencana. Wanah, perempuan penjual Laksa Bogor itu mengatakan, telah menjajakan kuliner itu sejak lebih dari 1,5 tahun lalu. “Sebelumnya, saya berjualan rujak ulek. Karena pembeli semakin berkurang, saya beralih menjual laksa,” ungkap Wanah kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Bersama-sama Muhrin, suaminya yang membuka kios rokok di sebelah tempat Wanah biasa mangkal, pasangan itu mencoba bertahan mengais rejeki di Taman Kencana yang saat ini terkenal sebagai salah satu titik wisata kuliner Kota Bogor. Laksa Bogor pun dijual Wanah dengan harga Rp 6.000 per porsi dengan tambahan lauk telur ayam rebut. “Untuk porsi kosongan, tanpa telur, saya jual Rp 4.000,” ujar Wanah.
Dikatakan Wanah, usahanya berjualan laksa dilakukan setiap hari tanpa hari libur mulai pukul 8.00 sampai pukul 16.00. “Kalau saya libur jualan, bisa-bisa saya dan keluarga tidak bisa makan,” ujar ibu dua anak itu seraya meracik menu Laksa Bogor dengan cepat.
Ritual peracikan laksa memang sangat dikenal unik. Oncom bereumnya diremas dan hancur oleh ujung jari, belum lagi daun kemangi segarnya yang wanginya merebak. Keunikan lainnya, adalah proses pematangan yang hanya merendam campuran bahan-bahan laksa dengan kuah laksa lalu kuahnya dituangkan kembali ke dalam panci secara berulang-ulang sebanyak tiga sampai empat kali. Sungguh suatu ritual peracikan yang enak untuk ditonton.
Dalam satu hari, Wanah biasa menyediakan 30 porsi Laksa Bogor. “Biasanya saya memutar modal Rp 100.000 perharinya. Keuntungan yang saya dapat sekitar Rp 20.000 sampai Rp 50.000, tergantung sepi tidaknya pembeli,” terangnya sambil menghidangkan satu porsi Laksa Bogor, lengkap dengan lauk telur ayam rebusnya.
Satu porsi Laksa Bogor yang terhidang, memang memiliki penampilan yang sederhana. Meski demikian, aroma harum bumbu-bumbu yang berasal dari kuah laksa yang masih mengepul, sangat menggoda indra penciuman ini. Sesendok sambal berwarna hijau layu pun tak lupa disisipkan di pinggir piring sebagai perangsang selera.
Satu seruput pun dilakukan untuk menjajal rasa. Mmm.. menurut saya, Laksa Bogor merupakan jenis masakan yang memiliki rasa nyaris mirip seperti Tom Yam Soup dari Thailand itu. Bedanya hanya bahan-bahan yang diberikan dan aroma laut yang disuguhkan oleh Tom Yam Soup.
Laksa Bogor Ibu Wanah menyuguhkan kuah yang bumbu-bumbu dapur dasarnya sangat terasa. Bahan-bahan lain, seperti ketupat, soun, dan toge bercampur padu dengan oncom bereum dan daun kemangi. Semuanya disajikan dengan setengah matang, itulah kekuatan rasa Laksa Bogor di samping daun kemangi dan oncom bereumnya.
Rasa pedas yang berasal dari sambal yang dibuat pun sangat menunjang citarasa Laksa Bgor yang disajikan Wanah. Ketika ditanya apa nama usaha yang dijalankannya, Wanah menjawab, tidak pernah terpikirkan untuk memberi nama usahanya itu. “Para pembeli biasanya memberi nama Laksa Bogor Taman Kencana untuk usaha yang saya jalankan,” ujarnya.
Tidak berapa lama, satu porsi Laksa Bogor pun tandas. Satu hentakan kuat angin dari dalam perut, membuat mulut ini membunyikan suara yang lazimnya tidak sopan. Untung saja, waktu itu hanya ada saya dan piring bekas sajian laksa, sehingga saya tidak perlu merasa malu.
Laksa Bogor memang satu jenis kuliner yang langka. Mungkin karena langkanya, masakan itu dinamakan laksa. Seperti kata Wanah yang mengatakan laksa merupakan singkatan dari langka kapendak rasa. Buat saya, laksa lebih pas merupakan singkatan dari ngalalap kemangi anu ka asa.
Rudi D. Sukmana
Kuliner Murah Meriah di Lapangan Sempur
Bogor, Jurnal Bogor
Lapangan Sempur merupakan lapangan kebanggaan warga Kota Bogor. Di lapangan itu, beragam kegiatan dan aktivitas warga terwakili, baik olahraga, pentas seni, hingga politik. Bagi saya, lapangan Sempur setidaknya saya kelilingi dua hingga tiga kali di hampir setiap Minggu pagi, karena memang pada Minggu pagi, lapangan itu berubah menjadi tempat keramaian.
Pembaca yang belum pernah mengalami, silakan mendatangi lapangan Sempur di Minggu pagi. Pada hari itu, sejak pukul 4.30 lapangan Sempur sudah mulai ramai dengan para pedagang yang menggelar berbagai jenis barang dengan berjejer mengelilingi pinggir lapangan. Mirip suasana sekatenan di Yogyakarta.
Warga yang datang pun, tidak semuanya berniat untuk berolahraga pagi. Bahkan, mungkin lebih banyak yang sekedar jalan-jalan mengelilingi lapangan sambil matanya tak lepas menatap beragam barang yang dijual pedagang. Diakui, dengan melihat barang jualan, tak terasa telah satu hingga dua putaran diri ini mengelilingi lapangan Sempur.
Di hari biasa, lapangan Sempur tak seramai seperti Minggu pagi. Meski demikian, lapangan Sempur tak pernah sepi dengan para penjaja makanan. Beraneka jajanan konvensional tersedia di lapangan itu, seperti bakso, mie ayam, lontong sayur, ketoprak, hingga sate ayam.
Selain itu, para penjual minuman pun setiap hari berdatangan dan mangkal di lapangan Sempur sebagai pilihan bagi warga yang singgah di tempat itu. Tak kurang dari pedagang es krim, es cendol, dan penjual minuman botol menawarkan jualannya.
Kebanyakan penjual membuka dagangannya di pinggir sebelah timur lapangan Sempur yang memang lokasinya sangat strategis. Selain berada di bawah pohon-pohon besar yang rimbun dan teduh, tempat itu dilalui jalan beraspal yang cukup ramai dilalui berbagai kendaraan.
Sebagai lapangan yang sering digunakan berbagai pihak untuk mengadakan kegiatan yang mampu mengundang banyak warga Bogor untuk hadir, tentu saja para penjaja kuliner itu memiliki banyak peluang untuk mengais rejeki.
Agung, seorang karyawan yang tengah menyantap ketoprak mengatakan, hampir setiap hari ia makan siang di lapangan Sempur, karena kantor tempatnya bekerja berjarak cukup dekat. “Selain rasanya lumayan, harganya murah meriah, juga banyak pilihan sehingga membuat saya tidak cepat bosan,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
Lapangan Sempur merupakan lapangan kebanggaan warga Kota Bogor. Di lapangan itu, beragam kegiatan dan aktivitas warga terwakili, baik olahraga, pentas seni, hingga politik. Bagi saya, lapangan Sempur setidaknya saya kelilingi dua hingga tiga kali di hampir setiap Minggu pagi, karena memang pada Minggu pagi, lapangan itu berubah menjadi tempat keramaian.
Pembaca yang belum pernah mengalami, silakan mendatangi lapangan Sempur di Minggu pagi. Pada hari itu, sejak pukul 4.30 lapangan Sempur sudah mulai ramai dengan para pedagang yang menggelar berbagai jenis barang dengan berjejer mengelilingi pinggir lapangan. Mirip suasana sekatenan di Yogyakarta.
Warga yang datang pun, tidak semuanya berniat untuk berolahraga pagi. Bahkan, mungkin lebih banyak yang sekedar jalan-jalan mengelilingi lapangan sambil matanya tak lepas menatap beragam barang yang dijual pedagang. Diakui, dengan melihat barang jualan, tak terasa telah satu hingga dua putaran diri ini mengelilingi lapangan Sempur.
Di hari biasa, lapangan Sempur tak seramai seperti Minggu pagi. Meski demikian, lapangan Sempur tak pernah sepi dengan para penjaja makanan. Beraneka jajanan konvensional tersedia di lapangan itu, seperti bakso, mie ayam, lontong sayur, ketoprak, hingga sate ayam.
Selain itu, para penjual minuman pun setiap hari berdatangan dan mangkal di lapangan Sempur sebagai pilihan bagi warga yang singgah di tempat itu. Tak kurang dari pedagang es krim, es cendol, dan penjual minuman botol menawarkan jualannya.
Kebanyakan penjual membuka dagangannya di pinggir sebelah timur lapangan Sempur yang memang lokasinya sangat strategis. Selain berada di bawah pohon-pohon besar yang rimbun dan teduh, tempat itu dilalui jalan beraspal yang cukup ramai dilalui berbagai kendaraan.
Sebagai lapangan yang sering digunakan berbagai pihak untuk mengadakan kegiatan yang mampu mengundang banyak warga Bogor untuk hadir, tentu saja para penjaja kuliner itu memiliki banyak peluang untuk mengais rejeki.
Agung, seorang karyawan yang tengah menyantap ketoprak mengatakan, hampir setiap hari ia makan siang di lapangan Sempur, karena kantor tempatnya bekerja berjarak cukup dekat. “Selain rasanya lumayan, harganya murah meriah, juga banyak pilihan sehingga membuat saya tidak cepat bosan,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
Bakso Sempur Pak Jaja
Bakso Sempur dan Es Campur Bertempur
Bogor, Jurnal Bogor
Bakso, bisa jadi merupakan jenis kuliner teratas yang digemari sampai saat ini. Sebagai jajanan, hampir di setiap sekolah, bakso selalu hadir. Belum lagi penjaja bakso yang sudah memiliki tempat sendiri, baik kios permanen maupun masih berupa tenda. Bahkan, hampir setiap hari, tak terhitung berapa kali abang tukang bakso melintas di depan rumah sambil mendorong gerobak atau memikul dagangan.
Di Sempur, pinggir sebelah timur lapangannya. Jaja membuka kios makanan dengan menu utama bakso. Saking terkenalnya, bakso Jaja bahkan dijuluki penggemar jajan sebagai Bakso Sempur Pak Jaja. Nama itu pula yang diusung Jaja, untuk usaha yang sudah dirintisnya sejak 28 tahun lalu itu. “Bisa jadi yang memberi nama itu bukan kami, melainkan pelanggan kami,” ujar Jaja kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Jaja yang asli Leuwiliang itu mengungkapkan, tempat jajannya dibuka setiap hari mulai pukul 9.00 sampai pukul 20.00. “Kami menyediakan lima meja berkapasitas 8 tempat duduk dan tiga meja berkapasitas 4 tempat duduk, untuk menjamu para pengunjung yang datang ke tempat kami,” terangnya.
Khusus untuk Minggu, imbuh Jaja, tempatnya dibuka lebih siang, sekitar pukul 10.00. “Pada hari itu, lapangan Sempur memang ramai dipenuhi warga Bogor yang berolahraga pagi, sehingga banyak penjual makanan berkumpul di lapangan ini. Hal itu yang membuat kami buka kios lebih siang,” lanjutnya.
Bakso Sempur Pak Jaja menyediakan sembilan menu pilihan untuk pengunjung, yaitu kwetiau kering, kwetiau kuah, mie kering, mie kuah, bihun kering, bihun kuah, campur kering, campur kuah, dan bakso saja. Menu utama sekaligus menu andalan itu, dijual Jaja dengan harga Rp 7.000 per mangkuk.
Untuk menu minuman, tempat itu menyediakan minuman botolan yang dijual mulai harga Rp 2.500 sampai Rp 3.000 dan minuman olahan yang ditawarkan mulai harga Rp 1.000 untuk satu gelas teh tawar, sampai Rp 4.000 untuk beberapa jenis menu minuman, seperti es campur, es kelapa muda, dan juice alpukat.
Dikatakan Jaja, kios makannya tidak menyediakan menu mie ayam. “Meski tempat lain menyediakan menu mie ayam di samping menu mie bakso, saya tidak menyediakan menu itu. Pengunjung pun singgah ke tempat kami untuk merasakan bakso yang kami sajikan,” ujarnya.
Bakso hasil racikan kios makan Bakso Sempur Pak Jaja memang memiliki citarasa tersendiri. Warna baksonya yang cenderung merah kehitaman, seolah mengatakan bakso itu dibuat tanpa bahan pengawet. “Dalam sehari, saya biasa membutuhkan 15 kilogram daging sapi segar,” ujar Jaja.
Penasaran dengan citarasa yang disajikan, seporsi bihun bakso kuah dan semangkuk es campur pun terhidang di atas meja. Aroma khas kaldu kuah bakso merebak terbawa kepulan uap yang muncul dari permukaan masakan yang masih panas itu. Sedangkan dari es campur, kepulan uap pun melayang tipis menawarkan kesejukan rasa dingin bagi tenggorokan yang telah terasa kering sepanjang hari panas nan terik di Kota Hujan ini.
Untuk menambah rasa, seperti kebiasaan yang sudah-sudah, kecap, cuka, saus sambal, dan sambal pun ditumpuk di atas permukaan bakso. Kemudian, dengan cepat porsi bakso itu pun diaduk supaya semua tambahan bercampur padu dengan kuah bakso. Tak lupa, mulut ini sibuk menghembuskan udara agar suhu kuah lebih bersahabat dengan lidah ini.
Rasa kuah bakso yang ditampilkan Bakso Sempur Pak Jaja cukup konvensional namun mampu menimbulkan kesegaran. Hanya saja, penyedapnya menurut saya terlalu berani diberikan. Meski demikian, bola-bola daging yang disebut bakso itu memiliki rasa yang istimewa. Kekenyalan dan keempukannya sangat pas dengan aroma merica dan rasa daging yang sangat kental.
Untuk beberapa waktu, mulut ini disibukkan dengan perjuangan melawan panas baik dari suhu maupun dari sambal. Sesaat setelah satu porsi bakso ludes tandas, mulut yang masih mengap-mengap kepedasan ini segera menyeruput es serut yang mulai mencair. Rasa dingin langsung mengguyur, membuat bibir ini sesaat seakan terasa kebal.
Es campur suguhan Bakso Sempur Pak Jaja menurut saya lebih istimewa dibandingkan baksonya itu sendiri. Karena selain rasa manisnya yang sangat pas dan tidak nyegrok di tenggorokan, potongan-potongan daging alpukat dan daging kelapa mudanya disajikan dengan tebal-tebal. Sangat segar, sangat mantap. Di dalam perut ini, Bakso Sempur dan Es Campur pun lalu bertempur.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Bakso, bisa jadi merupakan jenis kuliner teratas yang digemari sampai saat ini. Sebagai jajanan, hampir di setiap sekolah, bakso selalu hadir. Belum lagi penjaja bakso yang sudah memiliki tempat sendiri, baik kios permanen maupun masih berupa tenda. Bahkan, hampir setiap hari, tak terhitung berapa kali abang tukang bakso melintas di depan rumah sambil mendorong gerobak atau memikul dagangan.
Di Sempur, pinggir sebelah timur lapangannya. Jaja membuka kios makanan dengan menu utama bakso. Saking terkenalnya, bakso Jaja bahkan dijuluki penggemar jajan sebagai Bakso Sempur Pak Jaja. Nama itu pula yang diusung Jaja, untuk usaha yang sudah dirintisnya sejak 28 tahun lalu itu. “Bisa jadi yang memberi nama itu bukan kami, melainkan pelanggan kami,” ujar Jaja kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Jaja yang asli Leuwiliang itu mengungkapkan, tempat jajannya dibuka setiap hari mulai pukul 9.00 sampai pukul 20.00. “Kami menyediakan lima meja berkapasitas 8 tempat duduk dan tiga meja berkapasitas 4 tempat duduk, untuk menjamu para pengunjung yang datang ke tempat kami,” terangnya.
Khusus untuk Minggu, imbuh Jaja, tempatnya dibuka lebih siang, sekitar pukul 10.00. “Pada hari itu, lapangan Sempur memang ramai dipenuhi warga Bogor yang berolahraga pagi, sehingga banyak penjual makanan berkumpul di lapangan ini. Hal itu yang membuat kami buka kios lebih siang,” lanjutnya.
Bakso Sempur Pak Jaja menyediakan sembilan menu pilihan untuk pengunjung, yaitu kwetiau kering, kwetiau kuah, mie kering, mie kuah, bihun kering, bihun kuah, campur kering, campur kuah, dan bakso saja. Menu utama sekaligus menu andalan itu, dijual Jaja dengan harga Rp 7.000 per mangkuk.
Untuk menu minuman, tempat itu menyediakan minuman botolan yang dijual mulai harga Rp 2.500 sampai Rp 3.000 dan minuman olahan yang ditawarkan mulai harga Rp 1.000 untuk satu gelas teh tawar, sampai Rp 4.000 untuk beberapa jenis menu minuman, seperti es campur, es kelapa muda, dan juice alpukat.
Dikatakan Jaja, kios makannya tidak menyediakan menu mie ayam. “Meski tempat lain menyediakan menu mie ayam di samping menu mie bakso, saya tidak menyediakan menu itu. Pengunjung pun singgah ke tempat kami untuk merasakan bakso yang kami sajikan,” ujarnya.
Bakso hasil racikan kios makan Bakso Sempur Pak Jaja memang memiliki citarasa tersendiri. Warna baksonya yang cenderung merah kehitaman, seolah mengatakan bakso itu dibuat tanpa bahan pengawet. “Dalam sehari, saya biasa membutuhkan 15 kilogram daging sapi segar,” ujar Jaja.
Penasaran dengan citarasa yang disajikan, seporsi bihun bakso kuah dan semangkuk es campur pun terhidang di atas meja. Aroma khas kaldu kuah bakso merebak terbawa kepulan uap yang muncul dari permukaan masakan yang masih panas itu. Sedangkan dari es campur, kepulan uap pun melayang tipis menawarkan kesejukan rasa dingin bagi tenggorokan yang telah terasa kering sepanjang hari panas nan terik di Kota Hujan ini.
Untuk menambah rasa, seperti kebiasaan yang sudah-sudah, kecap, cuka, saus sambal, dan sambal pun ditumpuk di atas permukaan bakso. Kemudian, dengan cepat porsi bakso itu pun diaduk supaya semua tambahan bercampur padu dengan kuah bakso. Tak lupa, mulut ini sibuk menghembuskan udara agar suhu kuah lebih bersahabat dengan lidah ini.
Rasa kuah bakso yang ditampilkan Bakso Sempur Pak Jaja cukup konvensional namun mampu menimbulkan kesegaran. Hanya saja, penyedapnya menurut saya terlalu berani diberikan. Meski demikian, bola-bola daging yang disebut bakso itu memiliki rasa yang istimewa. Kekenyalan dan keempukannya sangat pas dengan aroma merica dan rasa daging yang sangat kental.
Untuk beberapa waktu, mulut ini disibukkan dengan perjuangan melawan panas baik dari suhu maupun dari sambal. Sesaat setelah satu porsi bakso ludes tandas, mulut yang masih mengap-mengap kepedasan ini segera menyeruput es serut yang mulai mencair. Rasa dingin langsung mengguyur, membuat bibir ini sesaat seakan terasa kebal.
Es campur suguhan Bakso Sempur Pak Jaja menurut saya lebih istimewa dibandingkan baksonya itu sendiri. Karena selain rasa manisnya yang sangat pas dan tidak nyegrok di tenggorokan, potongan-potongan daging alpukat dan daging kelapa mudanya disajikan dengan tebal-tebal. Sangat segar, sangat mantap. Di dalam perut ini, Bakso Sempur dan Es Campur pun lalu bertempur.
Rudi D. Sukmana
Bapao Telo, Usaha Kuliner Baru yang Menjanjikan
Bogor, Jurnal Bogor
Budi Cahyadi dan Dani Kartika, pasangan suami istri pengusaha kuliner yang tinggal di Bukit Cimanggu City memang sungguh kreatif. Sejak satu tahun lalu mereka merintis usaha kuliner yang cukup unik dengan rasa yang istimewa, yaitu Bapao Telo. “Sesuai dengan namanya, Bapao Telo terbuat dari bahan ubi jalar,” ujar Budi kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Budi, Bapao Telo merupakan resep yang sudah dipatenkan dan difranchisekan mereka bekerjasama dengan sanak famili di kampung halaman di daerah Malang. “Untuk bahan bakunya berupa tepung ubi jalar atau ubi Jepang, kami mendapat kiriman dari SPAT (Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu) di daerah Simping, Malang oleh famili kami,” terangnya seraya menambahkan, kiriman itu sudah berupa bapao frozen dengan aneka rasa.
Dalam seminggu, lanjut Budi, usaha yang dikelolanya beserta istri membutuhkan sedikitnya 2.000 bapao. “Yang mengelola usaha Bapao Telo dominan ditangani istri saya. Sedangkan saya mengelola jenis kuliner yang lain,” ungkapnya.
Bapao Telo yang dipasarkan pasangan itu, memiliki sembilan pilihan rasa yang menurut mereka sangat digandrungi warga Bogor. “Bapao Telo kami jual dalam dua pilihan, yaitu gurih dan manis,” ujar Budi. Ditambahkannya, untuk Bapao Telo gurih pilihan rasanya yaitu sapi, ayam dan kornet. Sedangkan, Bapao Telo manis memiliki pilihan rasa yang terdiri dari rasa keju, coklat, strawberry, nanas, dan kacang hijau.
Selain Bapao Telo, Dani Kartika istri Budi Cahyadi juga menerangkan, usahanya juga menjual penganan lain yang dibuat dari bahan telo, seperti kue bolu kukus, kue mangkuk, brownies kukus dan french fried atau kentang goreng. “Hingga saat ini, animo warga Bogor terhadap sajian khas kami cukup bagus,” jelas Dani.
Di samping menjual Bapao Telo secara satuan dengan harga Rp 4.000 per bapao, pasangan itu juga menjual dengan sistem paket, yaitu sekotak Bapao Telo yang dijual dengan harga Rp 14.000 berisi 9 bapao dan Rp 22.000 berisi 15 bapao. “Meski kami menyediakan tiga rasa dalam satu kotak paket, yaitu rasa keju, kacang hijau, dan rasa coklat, pembeli dapat memesan rasa yang diinginkannya,” ujar Dani.
Saat ini, lanjut Dani, usahanya sudah memiliki tiga cabang yang tersebar di tiga titik di Kota Bogor, yaitu di halaman rumah mereka di Bukit Cimanggu City, Jl. Siliwangi dekat jalan masuk menuju Radio Lesmana FM, dan tenda yang dibuka setiap hari Minggu di air mancur perumahan Taman Yasmin.
Dikatakan Budi, mereka sebenarnya membuka paket usaha bagi warga Bogor yang berminat untuk berusaha di bidang kuliner dan memasarkan Bapao Telo. “Kami menyediakan paket usaha kecil dan menengah, dengan fokus pengembangan untuk wilayah Bogor, Sukabumi, dan Cianjur,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
Budi Cahyadi dan Dani Kartika, pasangan suami istri pengusaha kuliner yang tinggal di Bukit Cimanggu City memang sungguh kreatif. Sejak satu tahun lalu mereka merintis usaha kuliner yang cukup unik dengan rasa yang istimewa, yaitu Bapao Telo. “Sesuai dengan namanya, Bapao Telo terbuat dari bahan ubi jalar,” ujar Budi kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Budi, Bapao Telo merupakan resep yang sudah dipatenkan dan difranchisekan mereka bekerjasama dengan sanak famili di kampung halaman di daerah Malang. “Untuk bahan bakunya berupa tepung ubi jalar atau ubi Jepang, kami mendapat kiriman dari SPAT (Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu) di daerah Simping, Malang oleh famili kami,” terangnya seraya menambahkan, kiriman itu sudah berupa bapao frozen dengan aneka rasa.
Dalam seminggu, lanjut Budi, usaha yang dikelolanya beserta istri membutuhkan sedikitnya 2.000 bapao. “Yang mengelola usaha Bapao Telo dominan ditangani istri saya. Sedangkan saya mengelola jenis kuliner yang lain,” ungkapnya.
Bapao Telo yang dipasarkan pasangan itu, memiliki sembilan pilihan rasa yang menurut mereka sangat digandrungi warga Bogor. “Bapao Telo kami jual dalam dua pilihan, yaitu gurih dan manis,” ujar Budi. Ditambahkannya, untuk Bapao Telo gurih pilihan rasanya yaitu sapi, ayam dan kornet. Sedangkan, Bapao Telo manis memiliki pilihan rasa yang terdiri dari rasa keju, coklat, strawberry, nanas, dan kacang hijau.
Selain Bapao Telo, Dani Kartika istri Budi Cahyadi juga menerangkan, usahanya juga menjual penganan lain yang dibuat dari bahan telo, seperti kue bolu kukus, kue mangkuk, brownies kukus dan french fried atau kentang goreng. “Hingga saat ini, animo warga Bogor terhadap sajian khas kami cukup bagus,” jelas Dani.
Di samping menjual Bapao Telo secara satuan dengan harga Rp 4.000 per bapao, pasangan itu juga menjual dengan sistem paket, yaitu sekotak Bapao Telo yang dijual dengan harga Rp 14.000 berisi 9 bapao dan Rp 22.000 berisi 15 bapao. “Meski kami menyediakan tiga rasa dalam satu kotak paket, yaitu rasa keju, kacang hijau, dan rasa coklat, pembeli dapat memesan rasa yang diinginkannya,” ujar Dani.
Saat ini, lanjut Dani, usahanya sudah memiliki tiga cabang yang tersebar di tiga titik di Kota Bogor, yaitu di halaman rumah mereka di Bukit Cimanggu City, Jl. Siliwangi dekat jalan masuk menuju Radio Lesmana FM, dan tenda yang dibuka setiap hari Minggu di air mancur perumahan Taman Yasmin.
Dikatakan Budi, mereka sebenarnya membuka paket usaha bagi warga Bogor yang berminat untuk berusaha di bidang kuliner dan memasarkan Bapao Telo. “Kami menyediakan paket usaha kecil dan menengah, dengan fokus pengembangan untuk wilayah Bogor, Sukabumi, dan Cianjur,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
Rumah Jajan
Nikmati Rasa Istimewa Sambil Beramal
Bogor, Jurnal Bogor
Saat menelusuri Jl. Pandu Raya, terlihat satu bangunan unik yang menarik perhatian. Bangunan berbentuk saung dan beralaskan kerikil itu, bernama Rumah Jajan. Pengelola Rumah Jajan Evi Kurniaari mengatakan, bangunan tersebut sudah berdiri sejak dua bulan lalu, tepatnya 11 Februari 2008. “Rumah Jajan merupakan tempat beraneka macam jenis makanan, dari mulai makanan berat, cemilan hingga minuman seperti coffee dan aneka juice,” ujar Evi kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Evi, Rumah Jajan memiliki konsep seperti pujasera (pusat jajanan serba ada), agar bisa menampung dan memberdayakan masyarakat yang memiliki kemampuan di bidang kuliner. “Saat ini, kami sudah menyediakan beberapa counter, diantaranya de’press, BAZZ Burger, Ocha Bento, Singkong Keju dan Fried Chicken 99,” ungkapnya.
Tempat makan yang digandrungi kalangan pelajar dan karyawan itu, lanjut Evi, merupakan salah satu program Yayasan Ta’awun Kemanusiaan yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM).
“Bangunan Rumah Jajan sengaja berbentuk saung agar mencerminkan suasana rumah yang sesungguhnya, dan tidak terkesan mahal sesuai namanya,” ujar Evi seraya menambahkan, Rumah Jajan membuka peluang franchise bagi kalangan yang berminat.
Selain menikmati makanan yang disediakan, lanjut Evi, pelanggan juga bisa menghabiskan waktu dengan membaca berbagai jenis buku. “Kami juga menyediakan fasilitas perpustakaan yang dinamakan Lebah Kecil, yang bukunya bersumber dari sumbangan para donatur melalui program Dulang Buku. Bukan itu saja, pelanggan juga bisa beramal karena 2,5 persen dari pembayaran disalurkan sebagai zakat kepada anak binaan yang berada di bawah naungan yayasan,” katanya.
Tempat makan yang menyediakan 25 jenis makanan dan minuman dengan kisaran harga Rp 2.000 sampai Rp 15.000 itu, setiap counternya memiliki menu andalan seperti, BAZZ Burger, Misterblek’s Coffe, ayam bakar de’press dan bakso gulung. “Walaupun harga yang ditawarkan cukup murah, namun memberikan citarasa istimewa,” ucap perempuan kelahiran Madiun, 11 Februari 1970 itu.
Sementara itu, pemilik counter de’press Elvira Agustin R mengatakan, proses pengolahan masakan counter yang dikelolanya, selalu mengutamakan kebersihan dan kualitas bahan baku. “Kami juga mengandalkan bumbu yang diwariskan turun temurun,” ujar Elvira.
Elvira menambahkan, sebelum dibakar atau digoreng, ayam hasil olahannya terlebih dahulu melalui proses presto supaya empuk dan lunak. “Sambalnya pun disajikan dalam dua jenis, yaitu sambal merah dan hijau yang berasal dari cabe rawit, tomat dan bawang,” papar wanita kelahiran Lhokseumawe, 23 Agustus 1969 itu.
Vira, sapaan akrab Elvira Agustin R juga mengatakan, setiap Sabtu dan Minggu, de’ press buka dari jam tujuh pagi karena di lingkungan sekitar banyak yang berolahraga atau sekedar jalan-jalan pagi. “Khusus menu weekend, kami menyediakan bubur ayam de’ press yang memiliki ciri khas pada bumbu yang digunakan, yakni dengan mencampur rempah-rempah asli Indonesia, sehingga memberikan pengalaman rasa yang unik bagi para pelanggan,” terangnya.
Sembari melanjutkan pembicaraan, tersaji seporsi ayam bakar dan ayam goreng yang diiringi sayur asem dan sayur lodeh. Tampilan yang memikat, memaksa mulut ini untuk mencicipinya. Manisnya olesan kecap dan asinnya margarin merasuki daging ayam yang gurih itu. Belum lagi, mantapnya kuah santan sayur lodeh menambah padupadan rasa si daging ayam.
Belum puas mulut ini mengecap kenikmatan, sepiring gado-gado siram muncul di permukaan meja. Bumbunya yang terlihat menggoda dan sayuran segar di dalamnya menggerakkan tangan ini untuk menghantarkannya ke seluruh penjuru indra pengecap. Kelembutan telur rebus dan empuknya kentang melengkapi kelezatan yang terlahir dari setiap suapan.
Meski mulut ini masih sibuk mengunyah irisan-irisan sayuran, rasanya nikmat bila ditemani segelas Misterblek’s rasa Cappucino. Nyatanya, cappucino yang disajikan tak kalah dengan produk dari kedai kopi berbintang. Kepekatan rasa yang ditimbulkan semakin memanjakan kerongkongan ini.
Nasia Freemeta I
Bogor, Jurnal Bogor
Saat menelusuri Jl. Pandu Raya, terlihat satu bangunan unik yang menarik perhatian. Bangunan berbentuk saung dan beralaskan kerikil itu, bernama Rumah Jajan. Pengelola Rumah Jajan Evi Kurniaari mengatakan, bangunan tersebut sudah berdiri sejak dua bulan lalu, tepatnya 11 Februari 2008. “Rumah Jajan merupakan tempat beraneka macam jenis makanan, dari mulai makanan berat, cemilan hingga minuman seperti coffee dan aneka juice,” ujar Evi kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Evi, Rumah Jajan memiliki konsep seperti pujasera (pusat jajanan serba ada), agar bisa menampung dan memberdayakan masyarakat yang memiliki kemampuan di bidang kuliner. “Saat ini, kami sudah menyediakan beberapa counter, diantaranya de’press, BAZZ Burger, Ocha Bento, Singkong Keju dan Fried Chicken 99,” ungkapnya.
Tempat makan yang digandrungi kalangan pelajar dan karyawan itu, lanjut Evi, merupakan salah satu program Yayasan Ta’awun Kemanusiaan yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM).
“Bangunan Rumah Jajan sengaja berbentuk saung agar mencerminkan suasana rumah yang sesungguhnya, dan tidak terkesan mahal sesuai namanya,” ujar Evi seraya menambahkan, Rumah Jajan membuka peluang franchise bagi kalangan yang berminat.
Selain menikmati makanan yang disediakan, lanjut Evi, pelanggan juga bisa menghabiskan waktu dengan membaca berbagai jenis buku. “Kami juga menyediakan fasilitas perpustakaan yang dinamakan Lebah Kecil, yang bukunya bersumber dari sumbangan para donatur melalui program Dulang Buku. Bukan itu saja, pelanggan juga bisa beramal karena 2,5 persen dari pembayaran disalurkan sebagai zakat kepada anak binaan yang berada di bawah naungan yayasan,” katanya.
Tempat makan yang menyediakan 25 jenis makanan dan minuman dengan kisaran harga Rp 2.000 sampai Rp 15.000 itu, setiap counternya memiliki menu andalan seperti, BAZZ Burger, Misterblek’s Coffe, ayam bakar de’press dan bakso gulung. “Walaupun harga yang ditawarkan cukup murah, namun memberikan citarasa istimewa,” ucap perempuan kelahiran Madiun, 11 Februari 1970 itu.
Sementara itu, pemilik counter de’press Elvira Agustin R mengatakan, proses pengolahan masakan counter yang dikelolanya, selalu mengutamakan kebersihan dan kualitas bahan baku. “Kami juga mengandalkan bumbu yang diwariskan turun temurun,” ujar Elvira.
Elvira menambahkan, sebelum dibakar atau digoreng, ayam hasil olahannya terlebih dahulu melalui proses presto supaya empuk dan lunak. “Sambalnya pun disajikan dalam dua jenis, yaitu sambal merah dan hijau yang berasal dari cabe rawit, tomat dan bawang,” papar wanita kelahiran Lhokseumawe, 23 Agustus 1969 itu.
Vira, sapaan akrab Elvira Agustin R juga mengatakan, setiap Sabtu dan Minggu, de’ press buka dari jam tujuh pagi karena di lingkungan sekitar banyak yang berolahraga atau sekedar jalan-jalan pagi. “Khusus menu weekend, kami menyediakan bubur ayam de’ press yang memiliki ciri khas pada bumbu yang digunakan, yakni dengan mencampur rempah-rempah asli Indonesia, sehingga memberikan pengalaman rasa yang unik bagi para pelanggan,” terangnya.
Sembari melanjutkan pembicaraan, tersaji seporsi ayam bakar dan ayam goreng yang diiringi sayur asem dan sayur lodeh. Tampilan yang memikat, memaksa mulut ini untuk mencicipinya. Manisnya olesan kecap dan asinnya margarin merasuki daging ayam yang gurih itu. Belum lagi, mantapnya kuah santan sayur lodeh menambah padupadan rasa si daging ayam.
Belum puas mulut ini mengecap kenikmatan, sepiring gado-gado siram muncul di permukaan meja. Bumbunya yang terlihat menggoda dan sayuran segar di dalamnya menggerakkan tangan ini untuk menghantarkannya ke seluruh penjuru indra pengecap. Kelembutan telur rebus dan empuknya kentang melengkapi kelezatan yang terlahir dari setiap suapan.
Meski mulut ini masih sibuk mengunyah irisan-irisan sayuran, rasanya nikmat bila ditemani segelas Misterblek’s rasa Cappucino. Nyatanya, cappucino yang disajikan tak kalah dengan produk dari kedai kopi berbintang. Kepekatan rasa yang ditimbulkan semakin memanjakan kerongkongan ini.
Nasia Freemeta I
Pisang Uli, Pisang Sagala Rasa
Bogor, Jurnal Bogor
Pisang dilihat dari cara mengkonsumsinya dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, yaitu banana dan plantain. Banana adalah pisang yang lebih sering dikonsumsi dalam bentuk segar setelah buah pisang matang, seperti pisang ambon, pisang raja, pisang susu, dan pisang lampung. Sedangkan plantain adalah pisang yang dikonsumsi setelah diolah terlebih dahulu, seperti pisang kepok, pisang tanduk, pisang siam, dan pisang uli.
Pisang uli merupakan salah satu jenis pisang raja yang sangat cocok diolah menjadi berbagai sajian menu. Dikukus, digoreng, dipanggang, atau dibuat kolak, pisang uli mampu mempertahankan rasa manis pisang yang sangat disuka. Bahkan, mayoritas tukang gorengan memakai jenis pisang ini untuk dijajakan, karena harganya pun sangat terjangkau. Pisang uli pun tetap nikmat bila hanya dimakan begitu saja.
Salah satu inovasi kuliner yang sudah umum dijumpai dari racikan buah pisang adalah pisang keju. Berbahan buah pisang uli matang yang dipanggang, pisang pun disajikan dengan menambahkan potongan atau parutan keju cheddar. Citarasa manis buah pisang berpadu dengan citarasa gurih keju, memang menawarkan suguhan rasa yang berbeda dengan rasa bahan awal menu itu.
Solikhin, seorang penjual pisang keju doger atau dorong gerobak mengatakan, ia sudah menjajakan jenis kuliner satu itu yang biasa disajikan di kafe-kafe secara berkeliling sejak dua tahun lalu. “Saya memakai buah pisang uli untuk menyajikan olahan menu pisang yang saya jual,” ujar Solikhin kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Ditambahkannya, buah pisang uli dipilih karena sangat cocok untuk dipanggang. “Saya sudah mencoba dengan jenis pisang lain, tapi yang cocok dengan lidah kebanyakan orang Indonesia cuma pisang uli. Karena dipadu dengan rasa lain, seperti coklat dan keju,” terangnya.
Dikatakan Solikhin, ia menawarkan menu pisang panggang yang disajikan dengan beberapa pilihan, seperti butiran coklat mesis dan parutan keju. “Untuk pelajar, saya menjual Rp 2.000 seporsi, sedangkan untuk umum saya pasang harga Rp 3.000 seporsinya,” ungkapnya.
Sehari-harinya, Solikhin biasa mangkal di depan SMPN 1 Bogor Jl. Ir. H. Juanda. “Tiap hari saya mulai berjualan pukul 9.00. Kalau belum habis dibeli pelajar, saya berkeliling sampai menjelang Maghrib,” tuturnya. Dalam sehari, Solikhin membutuhkan dua tandan pisang uli yang dapat membuat lebih dari 50 porsi. “Hasilnya mampu membiayai kebutuhan saya sehari-hari dan dapat saya kirim ke kampung,” ujar bapak dua anak yang berasal dari Garut itu.
Rudi D. Sukmana
Pisang dilihat dari cara mengkonsumsinya dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, yaitu banana dan plantain. Banana adalah pisang yang lebih sering dikonsumsi dalam bentuk segar setelah buah pisang matang, seperti pisang ambon, pisang raja, pisang susu, dan pisang lampung. Sedangkan plantain adalah pisang yang dikonsumsi setelah diolah terlebih dahulu, seperti pisang kepok, pisang tanduk, pisang siam, dan pisang uli.
Pisang uli merupakan salah satu jenis pisang raja yang sangat cocok diolah menjadi berbagai sajian menu. Dikukus, digoreng, dipanggang, atau dibuat kolak, pisang uli mampu mempertahankan rasa manis pisang yang sangat disuka. Bahkan, mayoritas tukang gorengan memakai jenis pisang ini untuk dijajakan, karena harganya pun sangat terjangkau. Pisang uli pun tetap nikmat bila hanya dimakan begitu saja.
Salah satu inovasi kuliner yang sudah umum dijumpai dari racikan buah pisang adalah pisang keju. Berbahan buah pisang uli matang yang dipanggang, pisang pun disajikan dengan menambahkan potongan atau parutan keju cheddar. Citarasa manis buah pisang berpadu dengan citarasa gurih keju, memang menawarkan suguhan rasa yang berbeda dengan rasa bahan awal menu itu.
Solikhin, seorang penjual pisang keju doger atau dorong gerobak mengatakan, ia sudah menjajakan jenis kuliner satu itu yang biasa disajikan di kafe-kafe secara berkeliling sejak dua tahun lalu. “Saya memakai buah pisang uli untuk menyajikan olahan menu pisang yang saya jual,” ujar Solikhin kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Ditambahkannya, buah pisang uli dipilih karena sangat cocok untuk dipanggang. “Saya sudah mencoba dengan jenis pisang lain, tapi yang cocok dengan lidah kebanyakan orang Indonesia cuma pisang uli. Karena dipadu dengan rasa lain, seperti coklat dan keju,” terangnya.
Dikatakan Solikhin, ia menawarkan menu pisang panggang yang disajikan dengan beberapa pilihan, seperti butiran coklat mesis dan parutan keju. “Untuk pelajar, saya menjual Rp 2.000 seporsi, sedangkan untuk umum saya pasang harga Rp 3.000 seporsinya,” ungkapnya.
Sehari-harinya, Solikhin biasa mangkal di depan SMPN 1 Bogor Jl. Ir. H. Juanda. “Tiap hari saya mulai berjualan pukul 9.00. Kalau belum habis dibeli pelajar, saya berkeliling sampai menjelang Maghrib,” tuturnya. Dalam sehari, Solikhin membutuhkan dua tandan pisang uli yang dapat membuat lebih dari 50 porsi. “Hasilnya mampu membiayai kebutuhan saya sehari-hari dan dapat saya kirim ke kampung,” ujar bapak dua anak yang berasal dari Garut itu.
Rudi D. Sukmana
Rumah Makan Saung Kuring 2
12 Tahun Bercitarasa Istimewa
Bogor, Jurnal Bogor
Tak banyak rumah makan di Kota Bogor yang mampu mempertahankan eksistensinya dan tetap digandrungi para pehobi kuliner hingga lebih dari satu dasawarsa. Salah satu tempat makan yang termasuk dalam kelompok itu adalah Rumah Makan Saung Kuring, yang telah dibuka sejak 1 Desember 1996 lalu.
Rumah makan yang berlokasi di Jl. Sholeh Iskandar No.9 Bogor itu, selain mengandalkan pelayanan yang prima, juga selalu menjaga stabilitas citarasa dan kreativitas menu sebagai poin penting dalam mempertahankan pelanggan setianya.
Dikatakan pemilik Rumah Makan Saung Kuring Mulyadi, tempat makan itu sangat memprioritaskan pelayanan kepada pelanggan atau siapapun yang berkunjung. “Kami percaya, image yang baik merupakan salah satu daya tarik untuk mendatangkan pelanggan,” ungkapnya kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Mulyadi menuturkan, ketika ada keluhan mengenai makanan yang dipesan, Saung Kuring langsung menangani dan memberikan diskon atau menggratiskan makanan tersebut. Hal itu justru menjadi aset bagi usaha yang dijalankannya, bukan sebagai beban.
”Kami memberikan pelayanan khusus bagi rombongan yang datang untuk merayakan ulangtahun dengan menyajikan mie goreng dan es campur secara cuma-cuma bagi yang berulangtahun,” ujar pria berzodiak Sagitarius itu.
Suasana dan disain interior Saung Kuring, diyakini Mulyadi, dapat menimbulkan rasa kangen di hati pelanggan untuk berkunjung kembali. ”Alunan musik tradisional dan gemericik air, serta lesehan di atas kolam menciptakan kenyamanan tersendiri yang membuat pelanggan betah menghabiskan waktunya di sini,” papar ayah dari Tiffany itu.
Meski kerusakan jalan dan pembangunan underpass Jl. Sholeh Iskandar mengakibatkan penurunan jumlah kendaraan yang melintas, diungkapkan Mulyadi, rumah makan yang memiliki 45 karyawan itu tidak mendapat dampak yang signifikan. ”Hingga saat ini, tidak terjadi pengurangan jumlah pengunjung di tempat kami,” terangnya.
Mulyadi juga mengatakan, faktor kebersihan merupakan prioritas utama Rumah Makan Saung Kuring. “Kami menyediakan kemoceng di setiap sudut ruangan, dan menjadikan semua pramusaji sekaligus sebagai cleaning service. Sebab kebersihan merupakan salah satu faktor penting bagi kami,” jelas pria kelahiran Bogor, 18 Desember 1962 itu.
Suami dari Sesiliawati itu juga mengungkapkan, saat akhir pekan Rumah Makan Saung Kuring menyuguhkan fasilitas live music dari berbagai band lokal berkualitas. ”Selain itu, tempat kami juga dilengkapi playground, mushola dan delapan paviliun bagi pelanggan yang mengutamakan privacy,” katanya seraya menambahkan rumah makan yang dikelolanya memiliki kapasitas 450 tempat duduk.
Rumah makan Sunda yang menyediakan sekitar seratus menu pilihan dengan kisaran harga mulai dari Rp 3.000 sampai Rp 63.000 itu, dapat mendatangkan pelanggan hingga seribu orang di akhir pekan dan setengahnya di hari biasa. ”Mayoritas pelanggan berasal dari wilayah Jabodetabek, dan kebanyakan dari mereka menyenangi masakan gurame bakar atau goreng dan sop buntut yang ditemani es mangga muda,” ucap pria yang memiliki hobi travelling itu.
Di tengah-tengah perbincangan, akhirnya apa yang dinantikan pun terwujud juga, ketika satu hidangan tersaji di atas meja. Satu menu gurame bakar yang disajikan dengan penampilan cantik itu, mampu menerbitkan air liur ini. Ternyata, tak hanya aromanya, citarasa yang disuguhkan pun sangat istimewa.
Daging gurame bakar yang lembut itu, begitu mudah terlepas dari tulangnya. Menjadikan suap demi suap gurame bakar itu mampir ke dalam mulut dengan lahap dan langsung dilumat gigi ini dengan penuh semangat. Bumbu yang telah meresap ke dalam daging ikan, menciptakan satu kenikmatan yang tak terlupakan.
Setelah seporsi gurame bakar ludes tandas, udang goreng tepung langsung meluncur ke mulut yang masih penasaran ini. Pada saat gigitan pertama, krekes tepung udangnya terdengar renyah. Kelembutan udang langsung mencuat ke penjuru alat ecap ini, lalu melumer dalam lumatan. Benar-benar pengalaman rasa yang unik. So crispy.
Setelah rasa kaget yang timbul akibat tendangan rasa dua jenis masakan itu, kesegaran es mangga muda pun mengguyur tenggorokan yang sempat meradang meminta kesejukan. Sari dari buah mangga itu, mampu mengikis dahaga di tengah-tengah udara malam yang cukup gerah pada saat itu. Tidak hanya itu saja, irisan mangga muda yang melengkapi kepekatan rasa masam buah itu, mampu membangkitkan sensasi citra kesejukan tersendiri.
Rudi DS/Nasia FI
Bogor, Jurnal Bogor
Tak banyak rumah makan di Kota Bogor yang mampu mempertahankan eksistensinya dan tetap digandrungi para pehobi kuliner hingga lebih dari satu dasawarsa. Salah satu tempat makan yang termasuk dalam kelompok itu adalah Rumah Makan Saung Kuring, yang telah dibuka sejak 1 Desember 1996 lalu.
Rumah makan yang berlokasi di Jl. Sholeh Iskandar No.9 Bogor itu, selain mengandalkan pelayanan yang prima, juga selalu menjaga stabilitas citarasa dan kreativitas menu sebagai poin penting dalam mempertahankan pelanggan setianya.
Dikatakan pemilik Rumah Makan Saung Kuring Mulyadi, tempat makan itu sangat memprioritaskan pelayanan kepada pelanggan atau siapapun yang berkunjung. “Kami percaya, image yang baik merupakan salah satu daya tarik untuk mendatangkan pelanggan,” ungkapnya kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Mulyadi menuturkan, ketika ada keluhan mengenai makanan yang dipesan, Saung Kuring langsung menangani dan memberikan diskon atau menggratiskan makanan tersebut. Hal itu justru menjadi aset bagi usaha yang dijalankannya, bukan sebagai beban.
”Kami memberikan pelayanan khusus bagi rombongan yang datang untuk merayakan ulangtahun dengan menyajikan mie goreng dan es campur secara cuma-cuma bagi yang berulangtahun,” ujar pria berzodiak Sagitarius itu.
Suasana dan disain interior Saung Kuring, diyakini Mulyadi, dapat menimbulkan rasa kangen di hati pelanggan untuk berkunjung kembali. ”Alunan musik tradisional dan gemericik air, serta lesehan di atas kolam menciptakan kenyamanan tersendiri yang membuat pelanggan betah menghabiskan waktunya di sini,” papar ayah dari Tiffany itu.
Meski kerusakan jalan dan pembangunan underpass Jl. Sholeh Iskandar mengakibatkan penurunan jumlah kendaraan yang melintas, diungkapkan Mulyadi, rumah makan yang memiliki 45 karyawan itu tidak mendapat dampak yang signifikan. ”Hingga saat ini, tidak terjadi pengurangan jumlah pengunjung di tempat kami,” terangnya.
Mulyadi juga mengatakan, faktor kebersihan merupakan prioritas utama Rumah Makan Saung Kuring. “Kami menyediakan kemoceng di setiap sudut ruangan, dan menjadikan semua pramusaji sekaligus sebagai cleaning service. Sebab kebersihan merupakan salah satu faktor penting bagi kami,” jelas pria kelahiran Bogor, 18 Desember 1962 itu.
Suami dari Sesiliawati itu juga mengungkapkan, saat akhir pekan Rumah Makan Saung Kuring menyuguhkan fasilitas live music dari berbagai band lokal berkualitas. ”Selain itu, tempat kami juga dilengkapi playground, mushola dan delapan paviliun bagi pelanggan yang mengutamakan privacy,” katanya seraya menambahkan rumah makan yang dikelolanya memiliki kapasitas 450 tempat duduk.
Rumah makan Sunda yang menyediakan sekitar seratus menu pilihan dengan kisaran harga mulai dari Rp 3.000 sampai Rp 63.000 itu, dapat mendatangkan pelanggan hingga seribu orang di akhir pekan dan setengahnya di hari biasa. ”Mayoritas pelanggan berasal dari wilayah Jabodetabek, dan kebanyakan dari mereka menyenangi masakan gurame bakar atau goreng dan sop buntut yang ditemani es mangga muda,” ucap pria yang memiliki hobi travelling itu.
Di tengah-tengah perbincangan, akhirnya apa yang dinantikan pun terwujud juga, ketika satu hidangan tersaji di atas meja. Satu menu gurame bakar yang disajikan dengan penampilan cantik itu, mampu menerbitkan air liur ini. Ternyata, tak hanya aromanya, citarasa yang disuguhkan pun sangat istimewa.
Daging gurame bakar yang lembut itu, begitu mudah terlepas dari tulangnya. Menjadikan suap demi suap gurame bakar itu mampir ke dalam mulut dengan lahap dan langsung dilumat gigi ini dengan penuh semangat. Bumbu yang telah meresap ke dalam daging ikan, menciptakan satu kenikmatan yang tak terlupakan.
Setelah seporsi gurame bakar ludes tandas, udang goreng tepung langsung meluncur ke mulut yang masih penasaran ini. Pada saat gigitan pertama, krekes tepung udangnya terdengar renyah. Kelembutan udang langsung mencuat ke penjuru alat ecap ini, lalu melumer dalam lumatan. Benar-benar pengalaman rasa yang unik. So crispy.
Setelah rasa kaget yang timbul akibat tendangan rasa dua jenis masakan itu, kesegaran es mangga muda pun mengguyur tenggorokan yang sempat meradang meminta kesejukan. Sari dari buah mangga itu, mampu mengikis dahaga di tengah-tengah udara malam yang cukup gerah pada saat itu. Tidak hanya itu saja, irisan mangga muda yang melengkapi kepekatan rasa masam buah itu, mampu membangkitkan sensasi citra kesejukan tersendiri.
Rudi DS/Nasia FI
La Nadie Cafe
Minum, Makan, dan Baca
Bogor, Jurnal Bogor
Perjalanan kali ini terhenti di Jl. Pajajaran No.63 Bogor. Di lokasi tersebut, sebuah tempat makan yang memiliki fasilitas taman bacaan dan toko buku dibuka untuk warga Bogor yang ingin menikmati sensasi rasa unik dan istimewa. Penggabungan konsep drink, eat, and read ternyata mendapatkan tempat di hati masyarakat terutama kalangan karyawan, pelajar, dan mahasiswa.
”Pada awalnya La Nadie berdiri sebagai fasilitas dari salon mobil Auto’tic, sebab perawatan mobil cukup memakan waktu. Akan tetapi, dalam perkembangannya banyak pelanggan yang datang khusus untuk menikmati makanan dan minuman di La Nadie,” ungkap Yenny L.S. Sikar, owner La Nadie Cafe kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Lily, sapaan akrab Yenny L.S. Sikar, kafe yang berdiri sejak 1 September 2005 itu, mulai mengembangkan usahanya dengan membuka toko buku Elex Comic Centre ( ECC ) pada Februari 2008 lalu. ”Kami mulai menjalin kerjasama dengan Gramedia Group di bidang penjualan,” ujarnya seraya menambahkan nama La Nadie diambil dari nama putri ketiganya, yaitu Nadies.
Diakui Lily, sejak dibuka ECC pelanggan La Nadie meningkat secara signifikan, sehingga secara bersamaan saling mendukung satu sama lain. ”Mayoritas pelanggan La Nadie berasal dari kawula muda, sebab selain makan dan minum, mereka juga bisa membeli serta menyewa buku,” papar wanita berzodiak Gemini itu.
Saat ini, kafe yang memiliki kapasitas 30 tempat duduk itu sudah mengkoleksi sekitar 3.000 buku dari berbagai jenis bacaan. ”Tarif penyewaan baca di tempat hanya Rp 2.000 untuk semua judul, namun jika dibawa pulang harus menjadi member terlebih dahulu dan menyimpan deposit ditambah sepuluh persen dari harga buku,” jelasnya.
Istri dari Sjahrun Sikar itu mengungkapkan, biaya administrasi menjadi member hanya Rp 10.000 untuk selamanya. ”Jika menjadi member, pelanggan berhak mendapatkan discount sepuluh persen untuk setiap transaksi di La Nadie dan cabang ECC di manapun. Selain itu, bila ECC mengadakan event, discount yang diberikan bisa jauh lebih besar,” ucap Ibu yang memiliki hobi membaca buku sosial-ekonomi itu.
Menurut Lily, harga makanan dan minuman yang ditawarkan sangat terjangkau, yakni Rp 2.000 hingga Rp 13.000. ”Menu yang disediakan sekitar 40 jenis makanan dan minuman yang sebagian besar dari Western Food,” kata perempuan yang membawahi sembilan karyawan itu.
Di akhir pekan, lanjut Lily, pelanggan La Nadie bisa mencapai sekitar 500 orang dan setengahnya di hari biasa. ”Mereka sangat menggemari hotdog ala La Nadie dan Croisant Chicken Puff. Sedangkan minuman yang paling difavoritkan adalah Michino Bland yang berasal dari campuran Oreo, gula dan susu yang diblender kasar,” terangnya.
Tak perlu menunggu lama, sepiring hotdog dan croisant chicken puff hadir di hadapan. Hotdog yang dihias saus sambal, mayonnaise dan potongan keju itu, semakin membakar mulut ini untuk segera menggoyang lidah. Rotinya yang empuk nan krekes, asinnya sosis dan freshnya sayuran kian asik saat menyantapnya.
Puas merasakan sensasi hotdognya, rasanya kurang afdol jika tak mencicipi croisant chicken puff yang sudah tersaji hangat. Ayam cincang dan telurnya, lumer di antara indra pengecap saat mengoyaknya dalam mulut.
Kesegaran Orange Squash dan Milkshake Strawberry terlihat dari tampilan luarnya yang begitu menggoda. Sirup orange dan soda yang dicampur dalam satu gelas itu membuat lidah ini terlonjak kaget akan rasanya yang asem-manis dan sedikit menyengat. Setelah menyeruput orange squash, masih mengantri satu gelas lagi yaitu milkshake strawberry.
Olahan buah merah yang asem dan kelembutan ice creamnya meninggalkan kesan yang masih melekat di lidah.
Nasia Freemeta I
Bogor, Jurnal Bogor
Perjalanan kali ini terhenti di Jl. Pajajaran No.63 Bogor. Di lokasi tersebut, sebuah tempat makan yang memiliki fasilitas taman bacaan dan toko buku dibuka untuk warga Bogor yang ingin menikmati sensasi rasa unik dan istimewa. Penggabungan konsep drink, eat, and read ternyata mendapatkan tempat di hati masyarakat terutama kalangan karyawan, pelajar, dan mahasiswa.
”Pada awalnya La Nadie berdiri sebagai fasilitas dari salon mobil Auto’tic, sebab perawatan mobil cukup memakan waktu. Akan tetapi, dalam perkembangannya banyak pelanggan yang datang khusus untuk menikmati makanan dan minuman di La Nadie,” ungkap Yenny L.S. Sikar, owner La Nadie Cafe kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Lily, sapaan akrab Yenny L.S. Sikar, kafe yang berdiri sejak 1 September 2005 itu, mulai mengembangkan usahanya dengan membuka toko buku Elex Comic Centre ( ECC ) pada Februari 2008 lalu. ”Kami mulai menjalin kerjasama dengan Gramedia Group di bidang penjualan,” ujarnya seraya menambahkan nama La Nadie diambil dari nama putri ketiganya, yaitu Nadies.
Diakui Lily, sejak dibuka ECC pelanggan La Nadie meningkat secara signifikan, sehingga secara bersamaan saling mendukung satu sama lain. ”Mayoritas pelanggan La Nadie berasal dari kawula muda, sebab selain makan dan minum, mereka juga bisa membeli serta menyewa buku,” papar wanita berzodiak Gemini itu.
Saat ini, kafe yang memiliki kapasitas 30 tempat duduk itu sudah mengkoleksi sekitar 3.000 buku dari berbagai jenis bacaan. ”Tarif penyewaan baca di tempat hanya Rp 2.000 untuk semua judul, namun jika dibawa pulang harus menjadi member terlebih dahulu dan menyimpan deposit ditambah sepuluh persen dari harga buku,” jelasnya.
Istri dari Sjahrun Sikar itu mengungkapkan, biaya administrasi menjadi member hanya Rp 10.000 untuk selamanya. ”Jika menjadi member, pelanggan berhak mendapatkan discount sepuluh persen untuk setiap transaksi di La Nadie dan cabang ECC di manapun. Selain itu, bila ECC mengadakan event, discount yang diberikan bisa jauh lebih besar,” ucap Ibu yang memiliki hobi membaca buku sosial-ekonomi itu.
Menurut Lily, harga makanan dan minuman yang ditawarkan sangat terjangkau, yakni Rp 2.000 hingga Rp 13.000. ”Menu yang disediakan sekitar 40 jenis makanan dan minuman yang sebagian besar dari Western Food,” kata perempuan yang membawahi sembilan karyawan itu.
Di akhir pekan, lanjut Lily, pelanggan La Nadie bisa mencapai sekitar 500 orang dan setengahnya di hari biasa. ”Mereka sangat menggemari hotdog ala La Nadie dan Croisant Chicken Puff. Sedangkan minuman yang paling difavoritkan adalah Michino Bland yang berasal dari campuran Oreo, gula dan susu yang diblender kasar,” terangnya.
Tak perlu menunggu lama, sepiring hotdog dan croisant chicken puff hadir di hadapan. Hotdog yang dihias saus sambal, mayonnaise dan potongan keju itu, semakin membakar mulut ini untuk segera menggoyang lidah. Rotinya yang empuk nan krekes, asinnya sosis dan freshnya sayuran kian asik saat menyantapnya.
Puas merasakan sensasi hotdognya, rasanya kurang afdol jika tak mencicipi croisant chicken puff yang sudah tersaji hangat. Ayam cincang dan telurnya, lumer di antara indra pengecap saat mengoyaknya dalam mulut.
Kesegaran Orange Squash dan Milkshake Strawberry terlihat dari tampilan luarnya yang begitu menggoda. Sirup orange dan soda yang dicampur dalam satu gelas itu membuat lidah ini terlonjak kaget akan rasanya yang asem-manis dan sedikit menyengat. Setelah menyeruput orange squash, masih mengantri satu gelas lagi yaitu milkshake strawberry.
Olahan buah merah yang asem dan kelembutan ice creamnya meninggalkan kesan yang masih melekat di lidah.
Nasia Freemeta I
Langganan:
Postingan (Atom)