Bogor, Jurnal Bogor
Malam hari setelah merampungkan pekerjaan rutin, saya menyempatkan diri singgah di tempat kediaman sahabat saya, Ki Batin di Gunung Batu. Seperti biasa, sosok satu itu menyambut dengan ramah dan mempersilakan saya untuk duduk. Tak berapa lama, sajian pun dihidangkan. Kali ini sajian itu tampak istimewa, karena berupa kue dalam kemasan pabrik.
Di tengah-tengah pembicaraan, saya menceritakan pengalaman ketika sedang melakukan liputan kuliner di salah satu warung makan di Jl. Malabar Ujung. Di tempat itu, seorang laki-laki berseragam menegur saya dengan keras karena tidak suka dirinya difoto. Padahal, saya merasa tidak memfoto lelaki itu secara khusus, hanya ingin mengambil suasana ramai warung makan yang citarasanya sudah dikenal banyak orang itu.
“Yang membuat saya sebal, Kang. Itu orang arogannya minta ampun. Sambil menunjukkan seragam yang dipakainya, seperti orang penting saja,” tutur saya. Ki Batin pun mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar cerita saya.
Tanpa memberikan tanggapan atau komentar, Ki Batin malah mengasongkan piring berisi kue-kue dalam kemasan, diantaranya Beng Beng dan Top kepada saya. “Sok A, milih Beng Beng atawa Top?” tanyanya seperti tak menghiraukan cerita saya tadi.
Saya lalu mengambil Top dan langsung saya buka kemasan bungkusnya. Wafer coklat itu pun lalu saya lahap. “Kunaon si Aa milih Top, laen Beng Beng, pan sami-sami wafer coklat?” tanyanya lagi. Sambil mulut sibuk mengunyah, saya katakan rasa Top lebih saya suka dibandingkan rasa Beng Beng.
“Eta oge sae, A,” balas Ki Batin. “Berarti Aa teh udah ngeliat pada isi bukan lagi pada tampilan atau kemasan,” tambahnya. Banyak orang, lanjut Ki Batin, yang masih melihat pada tampilan atau kemasan. “Beng Beng yang merah dan berukuran lebih besar atau Top yang berwarna gold dengan ukuran lebih kecil, masih jadi patokan bagi sebagian besar orang. Hal itu merupakan cerminan manusa dalam menilai sesuatu,” paparnya.
Ki Batin pun melanjutkan, segala sesuatu itu selalu memiliki kandungan asma, af’al, sifat, dan zat. “Begitu juga diri manusa. Masing-masing individu ada zat, sifat, af’al, dan asmanya,” jelasnya.
Diterangkan Ki Batin, asma merupakan tampilan terluar. “Seperti halnya wafer coklat ini. Sama-sama wafer coklat tapi berbeda asma atau nama. Ada yang namanya Beng Beng, ada yang namanya Top,” jelasnya.
Lalu af’alnya, imbuh Ki Batin, adalah ciri dari sesuatu. “Beng Beng af’alnya berwarna merah dan ukurannya lebih besar, sedangkan Top berwarna gold dengan ukuran lebih kecil. Sama seperti manusa, asmana berbeda-beda demikian juga bentuk rupanya,” tambahnya.
Manusia yang sudah dapat melihat dan menilai pada sifat, kata Ki Batin, merupakan tingkatan yang lebih tinggi daripada manusia yang masih melihat pada nama dan tampilan bentuk. “Sekarang ini, banyak sekali orang yang namanya sangat islami tapi kelakuannya jauh dari nama yang disandangnya. Banyak orang ganteng atau cantik, tapi sikap dan perilakunya tidak sesuai dengan keindahan rupanya. Banyak sekali, anaking,” ujar Ki Batin membuat saya termenung.
Padahal, tambah Ki Batin, semuanya berasal dari zat yang sama. “Mau dia bangsat, mau dia bajingan, mau dia ulama, semuanya itu berasa dari zat yang sama, zat yang satu. Siapa? Sang Zat Tunggal itu sendiri. Tapi kenapa semakin banyak manusa yang teu nggeuh ka palebah dieu? Makin banyak manusa yang silau dengan nama dan tampilan. Sok atuh direnungkeun deui, kasep,” pungkasnya.
Rudi D. Sukmana
Minggu, 04 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar