Bogor, Jurnal Bogor
Salah satu jajanan favorit saya di waktu kecil adalah gulali harum manis. Pada waktu itu, ada dua jenis gulali harum manis yang dijajakan penjualnya secara berkeliling, yaitu gulali harum manis berbentuk seperti bulu domba yang diapit sejenik semprong berbentuk bundar dan disajikan layaknya burger.
Gulali harum manis satunya, berbentuk jel pekat yang bisa dibuat berbagai macam bentuk. Biasanya abang tukang jual gulali ini sering mangkal di depan sekolah dasar. Sebagai bocah, saya sering dimarahi almarhumah ibunda bila kedapatan membeli jajanan satu itu karena dinilai tidak higienis dan tidak bersih bila melihat, abang penjualnya membentuk gulali dengan tangan telanjang dan tanpa membersihkan tangan terlebih dahulu.
Dewasa ini, gulali harum manis lebih banyak dijual dengan bentuk bagaikan kapas warna warni. Penjualnya pun menggunakan sebuah alat khusus yang didisain sedemikian rupa, sehingga bahan baku berupa gula pasir yang telah diberi pewarna dapat berubah menjadi pintalan serat-serat halus bak kapas. Penyajiannya pun menggunakan satu batang lidi dengan melilitkan serat-serat gula itu sehingga berbentuk mirip seperti buntalan kapas.
Seorang penjual gulali harum manis yang saya jumpai ketika tengah melayani pembeli yang kebanyakan bocah kecil mengatakan, dirinya berjualan gulali harum manis dengan berkeliling masuk dan keluar kampung. “Saya tidak berkeliling ke perumahan, karena tidak pernah ada yang membeli,” ujar Asep, penjual gulali harum manis itu.
Gulali harum manis yang dijajakan Asep, terdiri dari dua pilihan warna, yaitu merah dan kuning. Kedua pilihan warna itu memiliki rasa yang sama, tanpa perbedaan. “Bahannya terbuat dari gula pasir yang diberi tepung pewarna yang biasa digunakan untuk membuat kue,” terangnya.
Dikatakan Asep, dalam sehari dibutuhkan dua kilogram gula pasir untuk membuat gulali harum manis. “Satu buahnya saya jual seharga Rp 1.000 untuk yang memakai batang bambu dan Rp 2.000 yang sudah saya bungkus di dalam plastik. Biasanya, anak-anak kecil lebih suka yang menggunakan batang bambu,” terangnya.
Dalam sehari, Asep mampu membawa uang sedikitnya Rp 25.000 untuk diputar lagi dalam usahanya. “Sebagian saya sisihkan untuk biaya kebutuhan sehari-hari dan kirim uang kepada orangtua di kampung,” ujar pemuda tanggung yang berasal dari Garut itu.
Asep sendiri merasa cukup puas dengan usaha yang ditekuninya saat ini. “Saya realistis saja. Untuk melanjutkan sekolah, tidak ada biaya. Untuk mendapatkan pekerjaan apalagi. Yang penting usaha saya ini halal, dan menyenangkan bagi pembeli terutama anak-anak kecil,” pungkasnya.
Rudi D. Sukmana
Minggu, 04 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar