Bogor, Jurnal Bogor
Warga Bogor yang sering melewati Jembatan Merah, pasti sudah tidak asing lagi dengan penjaja es susu kacang yang biasa mangkal di depan Toko Dunia. Penjual es susu kacang itu, Basuki Wibowo menamakan usahanya yang sudah digeluti sejak tiga tahun lalu dengan nama Es Susu Kacang Sari Murni.
Menurut Basuki, setiap harinya 4 kilogram kacang kedelai dibutuhkannya sebagai bahan utama untuk membuat susu kacang. “Sebelumnya, saya berjualan mie ayam, tapi sekarang sudah merasa pas berjualan susu kacang ini,” ujar Basuki kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Basuki menuturkan, awalnya ia hanya membutuhkan satu kilogram kacang kedelai untuk membuat susu kacang. Setelah dua tahun berjualan, ia mampu menghabiskan 6 kilogram kacang kedelai setiap harinya. “Namun semenjak kenaikan harga kacang kedelai, saya hanya mampu maksimal 4 kilogram saja,” ungkapnya.
Kecuali Minggu, setiap harinya Basuki berjualan susu kacang mulai pukul 17.30. “Saya berjualan sampai habisnya saja, yang penting tidak lebih dari jam 11.30,” ujarnya seraya menambahkan, satu gelas susu kacang dijualnya dengan harga Rp 1.500.
Selain susu kacang, Basuki juga menjual bandrek dan es susu aneka rasa, seperti susu rasa melon, durian, nangka, strawberry, dan anggur, dengan harga Rp 2.000. “Saya juga menyediakan susu ovaltine atau milo yang dijual Rp 2.500 per gelas,” jelasnya.
Lelaki yang hobi memasak itu mengatakan, dengan empat kilogram kacang kedelai, mampu membuat dua termos besar susu kacang. “Yang namanya jualan, kadang ramai, kadang sepi. Kalau ramai, saya bisa membawa pulang Rp 250.000,” ujar ayah tiga anak itu.
Basuki juga mengatakan, sejak pergantian tahun omzet penjualannya stagnan, bahkan cenderung menurun. “Semakin hari, pembeli semakin berkurang. Mungkin faktor kesulitan ekonomi masyarakat yang membuat dagangan saya beberapa bulan terakhir ini sepi,” keluhnya.
Udara dingin Kota Bogor di malam hari, mampu terusir dengan segelas kehangatan yang menyegarkan dari susu kacang hasil olahan Basuki. Selain menyajikan kehangatan dan kesegaran, sudah tentu juga menyehatkan. Rasa susu kacangnya sendiri? Silakan coba, dijamin puas.
Rudi D. Sukmana
Selasa, 01 April 2008
Martabak Manis, Martabak Kue, dan Terang Bulan
Bogor, Jurnal Bogor
Sebagai jenis makanan khas dari Negeri India, di Indonesia, ada dua jenis martabak yang sudah sangat dikenal, yaitu martabak telor dan martabak manis. Beberapa daerah di Jawa Timur, lebih mengenal martabak manis dengan nama Martabak Kue atau Terang Bulan. Konon, disebut terang bulan, karena bentuknya bulat seperti bulan purnama dan hanya dijual pada malam hari.
Di India sendiri, sebenarnya jenis makanan yang disebut martabak itu, dibuat dari adonan tepung terigu yang dibentuk sebesar telur ayam, dibanting, dilebarkan di atas marmer, setelah membentuk ukuran berdiameter 40 centimeter diisi telur atau kentang lalu digoreng. Penyajiannya dihidangkan dengan kare kambing atau gulai, mirip seperti roti jala. Makanan itu dikenal dengan nama Moortaba.
Sedangkan martabak manis, baik bentuk, isi, dan rasanya sama sekali tidak ditemukan di India. Makanan yang rasanya manis itu lebih dikatagorikan pada jenis roti atau kue manis yang mirip seperti cake atau pasta. Martabak manis sebenarnya sangat cocok dihidangkan sebagai sarapan pagi dan teman minum teh atau kopi, namun seperti halnya martabak telor, umumnya martabak manis dibeli penggemarnya di malam hari.
Berdasarkan hikayat, martabak manis diciptakan Abdullah bin Hasan Almalibary, seorang pemuda asal India yang hidup pada 1930 di Lebaksiu Tegal, Jawa Tengah. Karena Abdullah seorang pedagang martabak telur yang cukup dikenal di daerahnya, kue itu pun dinamakan martabak kue atau martabak manis. Dengan rasa yang mampu membuat orang yang menyantapnya menggandrungi jenis makanan itu, akhirnya martabak manis pun go public. Hingga kini, hampir setiap sudut jalan kita menemukan penjaja kuliner satu ini.
Saat ini, beragam modifikasi martabak manis dapat kita nikmati. Beberapa yang popular adalah Martabak Bangka dan Martabak Bandung. Selain itu, kita juga dapat mencicipi variasi martabak yang berbeda, seperti martabak unyil dan martabak tipker atau tipis kering.
Martabak Bandung, sebagai salah satu martabak manis yang rasanya banyak digandrungi, memiliki penampilan tebal dan mengandung banyak lemak yang berasal dari margarin. Martabak Bandung pun mudah dimodifikasi rasanya dengan beragam variasi, seperti rasa pisang, rasa durian, maupun rasa strawberry.
Salah satu penjual martabak manis yang memiliki citarasa istimewa, bisa ditemukan di Jl. Veteran. Kiosnya biasa mangkal di tanjakan Sarijan dekat pertigaan Gunung Batu dengan nama Martabak Top Bandung. Usaha yang dimiliki Kosim Rohmat itu sudah beroperasi sejak 1995, dengan menu favorit martabak manis komplit. Menu itu merupakan menu martabak manis yang ditaburi mesis, keju parut, dan kacang sangrai cingcang. Rasanya, mm.. silakan coba.
Rudi D. Sukmana
Sebagai jenis makanan khas dari Negeri India, di Indonesia, ada dua jenis martabak yang sudah sangat dikenal, yaitu martabak telor dan martabak manis. Beberapa daerah di Jawa Timur, lebih mengenal martabak manis dengan nama Martabak Kue atau Terang Bulan. Konon, disebut terang bulan, karena bentuknya bulat seperti bulan purnama dan hanya dijual pada malam hari.
Di India sendiri, sebenarnya jenis makanan yang disebut martabak itu, dibuat dari adonan tepung terigu yang dibentuk sebesar telur ayam, dibanting, dilebarkan di atas marmer, setelah membentuk ukuran berdiameter 40 centimeter diisi telur atau kentang lalu digoreng. Penyajiannya dihidangkan dengan kare kambing atau gulai, mirip seperti roti jala. Makanan itu dikenal dengan nama Moortaba.
Sedangkan martabak manis, baik bentuk, isi, dan rasanya sama sekali tidak ditemukan di India. Makanan yang rasanya manis itu lebih dikatagorikan pada jenis roti atau kue manis yang mirip seperti cake atau pasta. Martabak manis sebenarnya sangat cocok dihidangkan sebagai sarapan pagi dan teman minum teh atau kopi, namun seperti halnya martabak telor, umumnya martabak manis dibeli penggemarnya di malam hari.
Berdasarkan hikayat, martabak manis diciptakan Abdullah bin Hasan Almalibary, seorang pemuda asal India yang hidup pada 1930 di Lebaksiu Tegal, Jawa Tengah. Karena Abdullah seorang pedagang martabak telur yang cukup dikenal di daerahnya, kue itu pun dinamakan martabak kue atau martabak manis. Dengan rasa yang mampu membuat orang yang menyantapnya menggandrungi jenis makanan itu, akhirnya martabak manis pun go public. Hingga kini, hampir setiap sudut jalan kita menemukan penjaja kuliner satu ini.
Saat ini, beragam modifikasi martabak manis dapat kita nikmati. Beberapa yang popular adalah Martabak Bangka dan Martabak Bandung. Selain itu, kita juga dapat mencicipi variasi martabak yang berbeda, seperti martabak unyil dan martabak tipker atau tipis kering.
Martabak Bandung, sebagai salah satu martabak manis yang rasanya banyak digandrungi, memiliki penampilan tebal dan mengandung banyak lemak yang berasal dari margarin. Martabak Bandung pun mudah dimodifikasi rasanya dengan beragam variasi, seperti rasa pisang, rasa durian, maupun rasa strawberry.
Salah satu penjual martabak manis yang memiliki citarasa istimewa, bisa ditemukan di Jl. Veteran. Kiosnya biasa mangkal di tanjakan Sarijan dekat pertigaan Gunung Batu dengan nama Martabak Top Bandung. Usaha yang dimiliki Kosim Rohmat itu sudah beroperasi sejak 1995, dengan menu favorit martabak manis komplit. Menu itu merupakan menu martabak manis yang ditaburi mesis, keju parut, dan kacang sangrai cingcang. Rasanya, mm.. silakan coba.
Rudi D. Sukmana
Cafe Purnawarman
Diskusi Keilmuan Berteman Sajian Istimewa
Bogor, Jurnal Bogor
Di dalam gedung dua lantai Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (LPP) Purnawarman yang terletak di Jl. Jenderal Sudirman No.35 Bogor, terdapat satu ruangan kafetaria yang bersebelahan dengan ruangan warung internet di lantai dasar, nama ruangan itu Café Purnawarman.
Menurut Anisya Kania, penanggung jawab kafe, warnet, dan aula LPP Purnawarman, Café Purnawarman resmi dibuka sejak Agustus 2007. “Ruangan kafe ini memiliki kapasitas 40 tempat duduk, dan ada teras yang menampilkan pemandangan lembah Sempur di belakang,” ujar Anisya kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Meski teras belakang yang belum diberi atap canopy itu jarang digunakan pada siang hari atau waktu hujan, dikatakan Anisya, bila sore hari kondisinya hangat dan cerah, banyak pengunjung kafe yang ingin menikmati pemandangan lembah Sempur. “Sambil bermandikan cahaya senja mentari dan ditemani menu-menu istimewa kafe kami, pengunjung selalu betah berdiskusi di teras belakang itu,” katanya.
Jam operasional Café Purnawarman, lanjut Anisya, dibuka setiap hari kecuali Minggu, mulai pukul 9.00 sampai pukul 21.00. Menu-menu yang disediakan, terdiri dari 50 jenis makanan dan 25 jenis minuman. “Untuk makanan, kami menyediakan menu nasi goreng, mie dan bihun goreng, kwetiau, oriental food, burger, serta roti dan pisang bakar,” paparnya.
Sedangkan menu minuman yang disediakan di kafe itu, terdiri dari aneka juice, aneka soft drink, dan aneka milk shake. “Harga yang kami tawarkan mulai Rp 6.000 sampai Rp 10.000 untuk menu-menu makanan, dan Rp 5.000 sampai Rp 8.000 untuk menu-menu minuman,” jelas Anisya.
Dikatakannya, pengunjung yang kebanyakan kalangan pelajar dan pengajar LPP Purnawarman itu, sangat mengandrungi menu nasi goreng special dan mie goreng ayam yang harganya Rp 8.500 dan Rp 7.000. “Pengunjung juga menyukai rasa juice alpukat dan milk shake chocolate yang kami sajikan,” tukas Anisya seraya menambahkan, untuk juice alpukat dijual seharga Rp 5.000, sedangkan milk shake chocolate harganya Rp 8.000 per porsi.
Café Purnawarman sendiri, dituturkan Anisya, sering digunakan untuk menggelar presentasi dari berbagai kelompok Multi Level Marketing. “Kafe kami selain tempat untuk makan, juga sebagai tempat pertemuan kecil antara 10 sampai 15 orang, seperti acara-acara kedinasan,” jelasnya.
Dengan jumlah karyawan yang terlibat langsung sebanyak 5 orang yang terdiri dari 3 orang juru masak, 1 waitress merangkap kasir, dan 1 orang di bagian umum, dikatakan Anisya, Café Purnawarman menyediakan tempat bersuasana tenang dan jauh dari hingar bingar kafe pada umumnya.
Keunggulan kafe itu, lanjutnya, didisain khusus untuk pengunjung yang menginginkan tempat belajar, diskusi dan sumber informasi yang nyaman sambil ditemani dengan menu-menu bercitarasa spesial. “Kafe kami ini terbuka bagi semua kalangan baik pelajar dan pengajar LPP Purnawarman, maupun umum,” ungkap Anisya.
Tertarik dengan salah satu menu yang disediakan, akhirnya Roti Bakar Pisang Coklat Keju seharga Rp 6.000 dan Juice Sirsak seharga Rp 5.000 pun dipesan. Tanpa menunggu terlalu lama, pesanan itu pun tersaji di hadapan. Tampilannya sendiri cukup sederhana dan umum, roti yang berasal dari roti tawar biasa, disajikan dengan taburan mises dan parutan keju serta susu kental manis. Di dalam setangkup roti tawar bakar itu, diselipkan satu buah pisang bakar dari jenis pisang oli.
Sajian juice sirsak pun ditampilkan dengan sederhana, tidak menggunakan pernak-pernik untuk menambah mewah penampilannya. Untuk rasanya, cukup konvensional. Roti Bakar Pisang Coklat Keju, disajikan tanpa kejutan-kejutan rasa. Demikian pula dengan juice sirsaknya.
Meski demikian, menu makanan dan minuman itu sangat setia sebagai teman diskusi atau teman ngobrol. Perbincangan menjadi lebih asyik dan menarik dengan suapan-suapan roti bakar pisang coklat keju dan seruputan juice sirsak. Sehingga, tanpa terasa sajian hidangan itu pun ludes tak bersisa padahal pembicaraan tengah seru-serunya membahas tentang dunia pendidikan.
Mengunjungi Café Purnawarman, membuat teringat pada ucapan Ki Batin yang mengatakan, kafe sebagai tempat makan tak ubahnya seperti warung kopi. Di kafe atau warung kopi, jelata biasa mengobrol, membicarakan segala topik yang sedang hangat, sehangat hidangan-hidangan menu yang disajikan.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Di dalam gedung dua lantai Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (LPP) Purnawarman yang terletak di Jl. Jenderal Sudirman No.35 Bogor, terdapat satu ruangan kafetaria yang bersebelahan dengan ruangan warung internet di lantai dasar, nama ruangan itu Café Purnawarman.
Menurut Anisya Kania, penanggung jawab kafe, warnet, dan aula LPP Purnawarman, Café Purnawarman resmi dibuka sejak Agustus 2007. “Ruangan kafe ini memiliki kapasitas 40 tempat duduk, dan ada teras yang menampilkan pemandangan lembah Sempur di belakang,” ujar Anisya kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Meski teras belakang yang belum diberi atap canopy itu jarang digunakan pada siang hari atau waktu hujan, dikatakan Anisya, bila sore hari kondisinya hangat dan cerah, banyak pengunjung kafe yang ingin menikmati pemandangan lembah Sempur. “Sambil bermandikan cahaya senja mentari dan ditemani menu-menu istimewa kafe kami, pengunjung selalu betah berdiskusi di teras belakang itu,” katanya.
Jam operasional Café Purnawarman, lanjut Anisya, dibuka setiap hari kecuali Minggu, mulai pukul 9.00 sampai pukul 21.00. Menu-menu yang disediakan, terdiri dari 50 jenis makanan dan 25 jenis minuman. “Untuk makanan, kami menyediakan menu nasi goreng, mie dan bihun goreng, kwetiau, oriental food, burger, serta roti dan pisang bakar,” paparnya.
Sedangkan menu minuman yang disediakan di kafe itu, terdiri dari aneka juice, aneka soft drink, dan aneka milk shake. “Harga yang kami tawarkan mulai Rp 6.000 sampai Rp 10.000 untuk menu-menu makanan, dan Rp 5.000 sampai Rp 8.000 untuk menu-menu minuman,” jelas Anisya.
Dikatakannya, pengunjung yang kebanyakan kalangan pelajar dan pengajar LPP Purnawarman itu, sangat mengandrungi menu nasi goreng special dan mie goreng ayam yang harganya Rp 8.500 dan Rp 7.000. “Pengunjung juga menyukai rasa juice alpukat dan milk shake chocolate yang kami sajikan,” tukas Anisya seraya menambahkan, untuk juice alpukat dijual seharga Rp 5.000, sedangkan milk shake chocolate harganya Rp 8.000 per porsi.
Café Purnawarman sendiri, dituturkan Anisya, sering digunakan untuk menggelar presentasi dari berbagai kelompok Multi Level Marketing. “Kafe kami selain tempat untuk makan, juga sebagai tempat pertemuan kecil antara 10 sampai 15 orang, seperti acara-acara kedinasan,” jelasnya.
Dengan jumlah karyawan yang terlibat langsung sebanyak 5 orang yang terdiri dari 3 orang juru masak, 1 waitress merangkap kasir, dan 1 orang di bagian umum, dikatakan Anisya, Café Purnawarman menyediakan tempat bersuasana tenang dan jauh dari hingar bingar kafe pada umumnya.
Keunggulan kafe itu, lanjutnya, didisain khusus untuk pengunjung yang menginginkan tempat belajar, diskusi dan sumber informasi yang nyaman sambil ditemani dengan menu-menu bercitarasa spesial. “Kafe kami ini terbuka bagi semua kalangan baik pelajar dan pengajar LPP Purnawarman, maupun umum,” ungkap Anisya.
Tertarik dengan salah satu menu yang disediakan, akhirnya Roti Bakar Pisang Coklat Keju seharga Rp 6.000 dan Juice Sirsak seharga Rp 5.000 pun dipesan. Tanpa menunggu terlalu lama, pesanan itu pun tersaji di hadapan. Tampilannya sendiri cukup sederhana dan umum, roti yang berasal dari roti tawar biasa, disajikan dengan taburan mises dan parutan keju serta susu kental manis. Di dalam setangkup roti tawar bakar itu, diselipkan satu buah pisang bakar dari jenis pisang oli.
Sajian juice sirsak pun ditampilkan dengan sederhana, tidak menggunakan pernak-pernik untuk menambah mewah penampilannya. Untuk rasanya, cukup konvensional. Roti Bakar Pisang Coklat Keju, disajikan tanpa kejutan-kejutan rasa. Demikian pula dengan juice sirsaknya.
Meski demikian, menu makanan dan minuman itu sangat setia sebagai teman diskusi atau teman ngobrol. Perbincangan menjadi lebih asyik dan menarik dengan suapan-suapan roti bakar pisang coklat keju dan seruputan juice sirsak. Sehingga, tanpa terasa sajian hidangan itu pun ludes tak bersisa padahal pembicaraan tengah seru-serunya membahas tentang dunia pendidikan.
Mengunjungi Café Purnawarman, membuat teringat pada ucapan Ki Batin yang mengatakan, kafe sebagai tempat makan tak ubahnya seperti warung kopi. Di kafe atau warung kopi, jelata biasa mengobrol, membicarakan segala topik yang sedang hangat, sehangat hidangan-hidangan menu yang disajikan.
Rudi D. Sukmana
Ngambeu Sate Cicurug, Ngelay Kapalay
Bogor, Jurnal Bogor
Kunci memasuki rasa jati sajian sate terletak pada racikan bumbunya. Masing-masing daerah di Indonesia memiliki bumbu-bumbu khas untuk menghidangkan menu sate, seperti Sate Madura yang berasal dari Pulau Garam Madura, Sate Padang tentunya dari Sumatera Barat, Sate Tegal sudah pasti berasal dari Tegal, dan Sate Betawi yang banyak dijual di Jakarta.
Umumnya, sate berbahan daging ayam atau daging kambing. Sate yang menggunakan daging sapi atau daging kuda pun cukup digemari di daerah Jawa Tengah, seperti Sate Kudus di Kota Kudus dan Sate Jaran di Yogyakarta. Bagi yang tidak diharamkan, sate daging babi pun banyak dijual di Kota Bogor, terutama di Jl. Suryakencana.
Satu menu sate yang cukup popular di Kota Bogor dan sekitarnya, adalah Sate Cicurug. Menu itu asalnya dari daerah Cicurug, sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Sukabumi yang hampir berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor.
Bila kita menuju Kota Sukabumi dari Kota Bogor, tentu kita akan melewati Cicurug setelah Caringin, Lido, dan Cigombong. Biasanya, kita akan melihat banyak para penjaja sate itu sepanjang kiri dan kanan jalan.
Di Kota Bogor, tidak begitu banyak penjaja Sate Cicurug. Mungkin, karena jenis makanan yang satu ini kalah pamor dengan makanan asli Bogor, seperti soto kuning dan toge goring. Bahkan, penjual Sate Padang dan Sate Madura jumlahnya lebih banyak dibandingkan penjual Sate Cicurug. Hal itu justru malah membuat Sate Cicurug dicari oleh penggemar sate.
Salah satu penjual Sate Cicurug dapat ditemukan di Jl. Mayjen Ishak Djuarsa atau yang lebih dikenal dengan nama Jl. Raya Gunung Batu. Berlokasi sekitar 20 meter dari Pasar Purbasari, penjual sate itu menggelar dagangannya mulai pukul 17.00 sampai 22.00.
Pemilik usaha itu, Ujang Sukandi yang akrab disapa Uje mengatakan, sudah tiga tahun berjualan di Jl. Raya Gunung Batu. “Tempat ini merupakan cabang dari Sate Cicurug yang berlokasi di Pintu Ledeng Ciomas,” ujar Uje kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Uje, dalam sehari ia menyediakan tiga ekor kambing untuk disajikan kepada penggemar Sate Cicurug. Dengan 10 tusuk per porsinya, sate kambing itu dijual Rp. 10.000. “Pembeli bisa memilih bumbu kecap atau bumbu kacang untuk sajiannya,” ujarnya.
Kebanyakan pembeli, memilih bumbu kacang untuk sajian satenya. Bumbu kacang Sate Cicurug memang memiliki rasa yang khas, hampir mirip dengan bumbu kacang Sate Betawi. “Ciri khas bumbu kacang Sate Cicurug, kacangnya tidak sehalus bumbu kacang Sate Padang maupun Sate Madura,” ujar Uje yang tengah asyik membakar sate.
Asap pun merebak tebal, menyebarkan aroma daging kambing bakar yang sudah dibasuh dengan racikan bumbu spesial. Mencium aroma asapnya saja, air liur ini seketika terbit membayangkan kelezatan tusuk demi tusuk sate kambing khas Cicurug. Sate Cicurug memang beda.
Rudi D. Sukmana
Kunci memasuki rasa jati sajian sate terletak pada racikan bumbunya. Masing-masing daerah di Indonesia memiliki bumbu-bumbu khas untuk menghidangkan menu sate, seperti Sate Madura yang berasal dari Pulau Garam Madura, Sate Padang tentunya dari Sumatera Barat, Sate Tegal sudah pasti berasal dari Tegal, dan Sate Betawi yang banyak dijual di Jakarta.
Umumnya, sate berbahan daging ayam atau daging kambing. Sate yang menggunakan daging sapi atau daging kuda pun cukup digemari di daerah Jawa Tengah, seperti Sate Kudus di Kota Kudus dan Sate Jaran di Yogyakarta. Bagi yang tidak diharamkan, sate daging babi pun banyak dijual di Kota Bogor, terutama di Jl. Suryakencana.
Satu menu sate yang cukup popular di Kota Bogor dan sekitarnya, adalah Sate Cicurug. Menu itu asalnya dari daerah Cicurug, sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Sukabumi yang hampir berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor.
Bila kita menuju Kota Sukabumi dari Kota Bogor, tentu kita akan melewati Cicurug setelah Caringin, Lido, dan Cigombong. Biasanya, kita akan melihat banyak para penjaja sate itu sepanjang kiri dan kanan jalan.
Di Kota Bogor, tidak begitu banyak penjaja Sate Cicurug. Mungkin, karena jenis makanan yang satu ini kalah pamor dengan makanan asli Bogor, seperti soto kuning dan toge goring. Bahkan, penjual Sate Padang dan Sate Madura jumlahnya lebih banyak dibandingkan penjual Sate Cicurug. Hal itu justru malah membuat Sate Cicurug dicari oleh penggemar sate.
Salah satu penjual Sate Cicurug dapat ditemukan di Jl. Mayjen Ishak Djuarsa atau yang lebih dikenal dengan nama Jl. Raya Gunung Batu. Berlokasi sekitar 20 meter dari Pasar Purbasari, penjual sate itu menggelar dagangannya mulai pukul 17.00 sampai 22.00.
Pemilik usaha itu, Ujang Sukandi yang akrab disapa Uje mengatakan, sudah tiga tahun berjualan di Jl. Raya Gunung Batu. “Tempat ini merupakan cabang dari Sate Cicurug yang berlokasi di Pintu Ledeng Ciomas,” ujar Uje kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Uje, dalam sehari ia menyediakan tiga ekor kambing untuk disajikan kepada penggemar Sate Cicurug. Dengan 10 tusuk per porsinya, sate kambing itu dijual Rp. 10.000. “Pembeli bisa memilih bumbu kecap atau bumbu kacang untuk sajiannya,” ujarnya.
Kebanyakan pembeli, memilih bumbu kacang untuk sajian satenya. Bumbu kacang Sate Cicurug memang memiliki rasa yang khas, hampir mirip dengan bumbu kacang Sate Betawi. “Ciri khas bumbu kacang Sate Cicurug, kacangnya tidak sehalus bumbu kacang Sate Padang maupun Sate Madura,” ujar Uje yang tengah asyik membakar sate.
Asap pun merebak tebal, menyebarkan aroma daging kambing bakar yang sudah dibasuh dengan racikan bumbu spesial. Mencium aroma asapnya saja, air liur ini seketika terbit membayangkan kelezatan tusuk demi tusuk sate kambing khas Cicurug. Sate Cicurug memang beda.
Rudi D. Sukmana
Rumah Bena Café & Resto
“Nasi Pepesnya Luar Biasa, Madam”
Bogor, Jurnal Bogor
Memenuhi undangan perayaan ulang tahun pertama Rumah Bena pada Sabtu (24/2) lalu, seperti menghadiri kemeriahan pesta kalangan elit. Betapa tidak, banyak para pejabat, mantan pejabat, dan kalangan pengusaha yang datang menyemarakkan acara itu, seperti Walikota Bogor H. Diani Budiarto, dan pengurus IWAPI Kota Bogor. “Pak Diani datang sebagai seorang sahabat lama. Dulu saya pernah belajar bareng dengan beliau,” ujar Nana Harahap, pemilik Rumah Bena Café & Resto kepada Jurnal Bogor, di tengah-tengah acara pesta.
Dengan menempati bagian depan halaman rumah kediaman pribadi, Rumah Bena bersolek untuk menyambut para undangan khusus. Meski lokasinya yang terletak di Jl. A. Yani I No.1 tidak tepat berada di pinggir jalan raya, mampu membuat lalulintas di Jl. Raya A. Yani terhambat karena banyak mobil-mobil mewah yang parkir di pinggir jalan.
Menurut Nana, yang juga anggota IWAPI Kota Bogor itu, rasa haru dan bangga sangat meliputi dirinya karena dapat menjalankan usaha kulinernya hingga satu tahun. “Rumah Bena masih sangat baru. Namun, syukur alhamdulillah sudah mulai memiliki pelanggan setia yang bisa membuat usaha kami mampu bertahan, tumbuh, dan berkembang,” ungkapnya.
Wanita pengusaha yang lahir di Sumatera Barat 29 November 1959 itu, pada ulang pertama usaha tempat makannya menambah nama Rumah Bena dengan kata-kata Café & Resto. “Dengan nama Rumah Bena, lanjutnya, masih banyak orang yang belum kenal. “Banyak yang mengira tempat kami membuka usaha butik,” kata Nana.
Rumah Bena sendiri, dikatakan Nana, merupakan singkatan dari nama H. Bebi Harahap, suaminya dengan nama dirinya. “Bena itu singkatan dari Bebi dan Nana. Kami ingin berusaha berdua dan berharap tetap menjadi orang yang berguna di masa tua,” ungkap ibu lima anak yang sudah memiliki sembilan cucu itu.
Dukungan keluarga, imbuh Nana, merupakan semangat terbesar yang memotivasi dirinya terus menjalankan usaha restokafe itu. Pesta yang digelar pun, merupakan salah satu bentuk dukungan dari Angky Handiyani dan Teguh Wibawa serta Inne dan Cerry KS, selain dukungan dari suami, anak-anak, dan kerabat lain.
Kafe resto yang dibuka setiap hari mulai jam 10.00 sampai jam 22.00, selalu menggelar live musik setiap harinya. “Setiap Kamis, tempat makan kami libur. Saya lebih memfokuskan pada kegiatan ibadah di hari itu,” jelas Nana yang selalu mengadakan pengajian di rumahnya setiap Kamis malam.
“Saat ini, Rumah Bena masih menyediakan 24 menu pilihan dengan harga mulai Rp. 5.000 sampai Rp. 35.000. Yang termahal, menu Rib Barbeque, karena dibuat dari daging sapi impor pilihan,” ujar Nana seraya mengungkapkan rencananya untuk menambah menu lagi dalam waktu dekat.
Acara pesta yang menampilkan house band milik Bena Enterprise, salah satu unit usaha yang dimiliki H. Bebi Harahap dan Nana Harahap itu, mampu membuat para tamu terhibur dengan tembang-tembang yang dibawakan dengan merdu oleh H. Diani Budiarto.
Makanan pun tersaji secara prasmanan, mulai nasi putih, ayam goreng, sampai roti jala dan kari kambing. Istimewanya, salah satu menu andalan khas Rumah Bena, yaitu Nasi Pepes turut dihidangkan dalam sajian prasmanan itu.
Penasaran dengan citarasa Nasi Pepes yang sudah sering didengar, Jurnal Bogor pun mencicipi menu spesial itu. Luar biasa, ternyata nasi pepes memiliki rasa yang sesuai dengan reputasinya. Rasa yang hadir dari nasi pepes sendiri, mirip seperti arem-arem, makanan khas Jowo seperti buras di kalangan masyarakat Sunda.
Yang membedakan, nasi pepes memiliki struktur kepekatan yang tidak seperti arem-arem. Sebelum disendok, penampilan nasi pepes lebih mirip bakcang. Namun setelah disendok, nasi yang terlihat pekat itu seketika ambyar.
Nasi pepes disajikan dengan penampilan dibungkus daun pisang, setelah dibuka, daun kemangi yang layu akibat proses pemasakannya, menghias bagian luar nasi pepes. Didalamnya, diletakkan potongan daging ayam yang sangat empuk dan potongan telur asin yang sangat gurih. Bagi yang tidak suka pedas, hati-hati memakan nasi pepes, karena ada kejutan-kejutan rasa pedas yang berasal dari cabe rawit utuh di sela-sela nasi.
Menyantap Nasi Pepes ala Rumah Bena Café & Resto mampu membuat diri ketagihan. Entah berapa bungkus Nasi Pepes, yang pada hari biasa dijual Rp. 10.000 per bungkus, telah bersemayam di dalam perut. Untungnya, saat itu tengah merayakan pesta.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Memenuhi undangan perayaan ulang tahun pertama Rumah Bena pada Sabtu (24/2) lalu, seperti menghadiri kemeriahan pesta kalangan elit. Betapa tidak, banyak para pejabat, mantan pejabat, dan kalangan pengusaha yang datang menyemarakkan acara itu, seperti Walikota Bogor H. Diani Budiarto, dan pengurus IWAPI Kota Bogor. “Pak Diani datang sebagai seorang sahabat lama. Dulu saya pernah belajar bareng dengan beliau,” ujar Nana Harahap, pemilik Rumah Bena Café & Resto kepada Jurnal Bogor, di tengah-tengah acara pesta.
Dengan menempati bagian depan halaman rumah kediaman pribadi, Rumah Bena bersolek untuk menyambut para undangan khusus. Meski lokasinya yang terletak di Jl. A. Yani I No.1 tidak tepat berada di pinggir jalan raya, mampu membuat lalulintas di Jl. Raya A. Yani terhambat karena banyak mobil-mobil mewah yang parkir di pinggir jalan.
Menurut Nana, yang juga anggota IWAPI Kota Bogor itu, rasa haru dan bangga sangat meliputi dirinya karena dapat menjalankan usaha kulinernya hingga satu tahun. “Rumah Bena masih sangat baru. Namun, syukur alhamdulillah sudah mulai memiliki pelanggan setia yang bisa membuat usaha kami mampu bertahan, tumbuh, dan berkembang,” ungkapnya.
Wanita pengusaha yang lahir di Sumatera Barat 29 November 1959 itu, pada ulang pertama usaha tempat makannya menambah nama Rumah Bena dengan kata-kata Café & Resto. “Dengan nama Rumah Bena, lanjutnya, masih banyak orang yang belum kenal. “Banyak yang mengira tempat kami membuka usaha butik,” kata Nana.
Rumah Bena sendiri, dikatakan Nana, merupakan singkatan dari nama H. Bebi Harahap, suaminya dengan nama dirinya. “Bena itu singkatan dari Bebi dan Nana. Kami ingin berusaha berdua dan berharap tetap menjadi orang yang berguna di masa tua,” ungkap ibu lima anak yang sudah memiliki sembilan cucu itu.
Dukungan keluarga, imbuh Nana, merupakan semangat terbesar yang memotivasi dirinya terus menjalankan usaha restokafe itu. Pesta yang digelar pun, merupakan salah satu bentuk dukungan dari Angky Handiyani dan Teguh Wibawa serta Inne dan Cerry KS, selain dukungan dari suami, anak-anak, dan kerabat lain.
Kafe resto yang dibuka setiap hari mulai jam 10.00 sampai jam 22.00, selalu menggelar live musik setiap harinya. “Setiap Kamis, tempat makan kami libur. Saya lebih memfokuskan pada kegiatan ibadah di hari itu,” jelas Nana yang selalu mengadakan pengajian di rumahnya setiap Kamis malam.
“Saat ini, Rumah Bena masih menyediakan 24 menu pilihan dengan harga mulai Rp. 5.000 sampai Rp. 35.000. Yang termahal, menu Rib Barbeque, karena dibuat dari daging sapi impor pilihan,” ujar Nana seraya mengungkapkan rencananya untuk menambah menu lagi dalam waktu dekat.
Acara pesta yang menampilkan house band milik Bena Enterprise, salah satu unit usaha yang dimiliki H. Bebi Harahap dan Nana Harahap itu, mampu membuat para tamu terhibur dengan tembang-tembang yang dibawakan dengan merdu oleh H. Diani Budiarto.
Makanan pun tersaji secara prasmanan, mulai nasi putih, ayam goreng, sampai roti jala dan kari kambing. Istimewanya, salah satu menu andalan khas Rumah Bena, yaitu Nasi Pepes turut dihidangkan dalam sajian prasmanan itu.
Penasaran dengan citarasa Nasi Pepes yang sudah sering didengar, Jurnal Bogor pun mencicipi menu spesial itu. Luar biasa, ternyata nasi pepes memiliki rasa yang sesuai dengan reputasinya. Rasa yang hadir dari nasi pepes sendiri, mirip seperti arem-arem, makanan khas Jowo seperti buras di kalangan masyarakat Sunda.
Yang membedakan, nasi pepes memiliki struktur kepekatan yang tidak seperti arem-arem. Sebelum disendok, penampilan nasi pepes lebih mirip bakcang. Namun setelah disendok, nasi yang terlihat pekat itu seketika ambyar.
Nasi pepes disajikan dengan penampilan dibungkus daun pisang, setelah dibuka, daun kemangi yang layu akibat proses pemasakannya, menghias bagian luar nasi pepes. Didalamnya, diletakkan potongan daging ayam yang sangat empuk dan potongan telur asin yang sangat gurih. Bagi yang tidak suka pedas, hati-hati memakan nasi pepes, karena ada kejutan-kejutan rasa pedas yang berasal dari cabe rawit utuh di sela-sela nasi.
Menyantap Nasi Pepes ala Rumah Bena Café & Resto mampu membuat diri ketagihan. Entah berapa bungkus Nasi Pepes, yang pada hari biasa dijual Rp. 10.000 per bungkus, telah bersemayam di dalam perut. Untungnya, saat itu tengah merayakan pesta.
Rudi D. Sukmana
Makan Ketupat Seratus Persen Halal?
Bogor, Jurnal Bogor
Pada satu kesempatan setelah hari lebaran, Ki Batin mengajak saya mengunjungi sesepuh yang menjadi panutannya. Terdorong untuk mengetahui lebih luas tentang Sang Rasa Jati, akhirnya kami berdua berangkat menuju daerah Empang Muara menuju kediaman Abah Rahman, sang sesepuh.
Setelah menyusuri gang-gang sempit dengan rumah-rumah kecil yang berhimpitan, akhirnya kami pun sampai di tempat kediaman Abah Rahman yang sangat sederhana. Sambutan Abah kepada kami berdua, bagaikan sambutan seorang ayah kepada anak-anaknya yang sudah lama tidak pernah berjumpa. Penuh dengan kasih sayang.
Di tempat Abah Rahman, ternyata sudah berkumpul para tamu lain. Setelah berkenalan dan bersilaturahmi, saya pun mengetahui para tamu itu adalah Satria, Pasha, Horas, dan Mang Dede. Mereka duduk lesehan mengelilingi sang Abah yang duduk di atas sofa. Meski Abah Rahman mempersilakan para tamunya untuk sama-sama duduk di sofa, demi kenyamanan dan kebersamaan, kami berdua pun duduk lesehan di lantai.
Dalam kunjungan itu, begitu banyak wejangan Abah Rahman yang disampaikan kepada kami. Namun yang sangat diingat, yaitu tentang makanan dan minuman yang dikatakan 100 persen halal. Menurut Abah Rahman, sekarang ini sangat sulit mendapati makanan dan minuman yang benar-benar halal seratus persen. “Kebanyakan manusia saat ini hanya terpaku pada bentuk lahir dari apa yang dimakan dan diminumnya saja, tidak lagi memaknai hakikat halal itu sendiri,” ujar Abah Rahman.
Dikatakan Abah Rahman, semua makanan akan menjadi halal atau bahkan sebaliknya, dapat menjadi haram, bila melihat pada faktor situasi yang terjadi. “Dapatkah dikatakan ketupat yang kita makan halal, bila kita memakannya secara berlebihan? Atau dapatkah dikatakan masakan opor ayam yang kita makan halal, bila tetangga terdekat kita masih kelaparan?” tanyanya sangat mendalam.
Lebih lanjut, Abah Rahman menyampaikan pertanyaan renungan, bisakah dikatakan halal, apabila manusia memakan seporsi masakan lebaran tanpa berlebihan, bila makanan itu didapat dengan cara yang merugikan, misalnya dibeli dari uang hasil korupsi?
Manusia makan dan minum, lanjut Abah Rahman, hakikatnya adalah untuk menyehatkan diri. Diri sehat yang dimaksud bukan saja tubuh atau raga, melainkan juga jiwa. Bila “Sesuap nasi dan seteguk air sehari yang didapat dari hasil keringat sendiri dan tidak merugikan orang lain, merupakan rezeki halal seratus persen yang berasal dari Gusti nu Welas Asih. Tapi, kebanyakan manusia tidak bisa memaknainya,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
Pada satu kesempatan setelah hari lebaran, Ki Batin mengajak saya mengunjungi sesepuh yang menjadi panutannya. Terdorong untuk mengetahui lebih luas tentang Sang Rasa Jati, akhirnya kami berdua berangkat menuju daerah Empang Muara menuju kediaman Abah Rahman, sang sesepuh.
Setelah menyusuri gang-gang sempit dengan rumah-rumah kecil yang berhimpitan, akhirnya kami pun sampai di tempat kediaman Abah Rahman yang sangat sederhana. Sambutan Abah kepada kami berdua, bagaikan sambutan seorang ayah kepada anak-anaknya yang sudah lama tidak pernah berjumpa. Penuh dengan kasih sayang.
Di tempat Abah Rahman, ternyata sudah berkumpul para tamu lain. Setelah berkenalan dan bersilaturahmi, saya pun mengetahui para tamu itu adalah Satria, Pasha, Horas, dan Mang Dede. Mereka duduk lesehan mengelilingi sang Abah yang duduk di atas sofa. Meski Abah Rahman mempersilakan para tamunya untuk sama-sama duduk di sofa, demi kenyamanan dan kebersamaan, kami berdua pun duduk lesehan di lantai.
Dalam kunjungan itu, begitu banyak wejangan Abah Rahman yang disampaikan kepada kami. Namun yang sangat diingat, yaitu tentang makanan dan minuman yang dikatakan 100 persen halal. Menurut Abah Rahman, sekarang ini sangat sulit mendapati makanan dan minuman yang benar-benar halal seratus persen. “Kebanyakan manusia saat ini hanya terpaku pada bentuk lahir dari apa yang dimakan dan diminumnya saja, tidak lagi memaknai hakikat halal itu sendiri,” ujar Abah Rahman.
Dikatakan Abah Rahman, semua makanan akan menjadi halal atau bahkan sebaliknya, dapat menjadi haram, bila melihat pada faktor situasi yang terjadi. “Dapatkah dikatakan ketupat yang kita makan halal, bila kita memakannya secara berlebihan? Atau dapatkah dikatakan masakan opor ayam yang kita makan halal, bila tetangga terdekat kita masih kelaparan?” tanyanya sangat mendalam.
Lebih lanjut, Abah Rahman menyampaikan pertanyaan renungan, bisakah dikatakan halal, apabila manusia memakan seporsi masakan lebaran tanpa berlebihan, bila makanan itu didapat dengan cara yang merugikan, misalnya dibeli dari uang hasil korupsi?
Manusia makan dan minum, lanjut Abah Rahman, hakikatnya adalah untuk menyehatkan diri. Diri sehat yang dimaksud bukan saja tubuh atau raga, melainkan juga jiwa. Bila “Sesuap nasi dan seteguk air sehari yang didapat dari hasil keringat sendiri dan tidak merugikan orang lain, merupakan rezeki halal seratus persen yang berasal dari Gusti nu Welas Asih. Tapi, kebanyakan manusia tidak bisa memaknainya,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
Chineese Food Aguan
Sensasi Fuyunghai dengan Rasa Aduhai
Bogor, Jurnal Bogor
Chinese Food Aguan yang berlokasi di Kompleks IPB Baranangsiang IV Blok A No.26, sebenarnya merupakan rumah tinggal yang dirombak depannya menjadi tempat makan. Sesuai dengan nama yang diusungnya, resto itu menyediakan menu-menu makanan khas oriental dengan jam operasional mulai pukul 10.00 sampai pukul 22.00 setiap hari. “Kami juga menyediakan jasa layanan pesan antar untuk rumahan dan kantoran, dengan jarak terjauh sampai ke daerah Bantar Kemang,” ujar Wibowo Mariyanto, pemilik rumah makan Chinese Food Aguan kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Wibowo yang akrab disapa Aguan itu, usaha rumah makan sudah dirintisnya sejak 1997. “Semula lokasi rumah makan saya terletak di Jl. Bina Marga, tetap dengan menu-menu oriental. Pindah ke lokasi sekarang sejak lima tahun lalu,” ungkap Aguan seraya menambahkan, usaha rumah makannya itu merupakan usaha keluarga yang diteruskannya dari orangtua.
Tempat bersantap yang disediakan, penampilannya cukup representatif dan bersih. Tersedia enam buah meja yang terbuat dari kayu berwarna coklat dan masing-masing terdiri dari empat buah kursi. “Kapasitas maksimal di tempat kami, sekitar 25 sampai 30 tamu yang mampu kami tampung di sini,” terang Aguan.
Menu-menu masakan yang disediakan resto itu, dikatakan Aguan, mencapai 100 jenis masakan. Semua masakan, adalah masakan-masakan ala oriental yang umum dan sudah mempunyai penggemar di kalangan warga Bogor, seperti nasi capcai udang, nasi fuyunghai, nasi cumi cah kalian, kangkung hot plate, sapo tahu cumi, kwetiau siram sea food, sampai gurame cah tauco. “Kami memasang harga mulai Rp. 2.500 untuk satu piring nasi putih, sampai Rp. 50.000 sebagai harga termahal untuk menu-menu masakan berbahan ikan gurame,” paparnya.
Sedangkan untuk menu minuman, Aguan mengatakan, hanya menyediakan minuman-minuman botol, the dan air jeruk, serta variasi juice, seperti juice alpukat, juice guava, dan juice strawberry. “Untuk menu minuman termahal, yaitu juice, kami jual dengan harga Rp. 7.000,” ujarnya.
Lumpia udang, dikatakan Aguan, merupakan menu favorit yang digandrungi kebanyakan pengunjung tempat makan itu. Sedangkan juice strawberry, lanjutnya, sebagai menu minuman yang paling banyak dipesan pengunjung rumah makannya. “Lumpia udang kami jual dengan harga Rp. 25.000 per porsi,” terangnya.
Rindu akan sensasi citarasa sebuah menu khas oriental, Jurnal Bogor pun memesan satu porsi nasi fuyunghai udang yang dibandrol dengan harga Rp. 17.500, lengkap dengan segelas teh tawar panas sebagai bonusnya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, sajian menu itu pun terhidang di atas meja. Porsi fuyunghai udang ditampilkan sangat menggugah selera. Warna sausnya yang merah menyala, dengan aroma telur dan daun bawangnya yang merebak menguasai indra penciuman.
Fuyunghai ala Chinese Food Aguan ternyata memiliki kelembutan yang sangat khas. Paduan tepung beras dan tepung sagu yang dikocok dengan tiga butir telur ayam serta potongan-potongan kol, wortel, dan daun bawang, menghadirkan satu rasa yang teramat dikenal oleh lidah. Ini memang fuyunghai, karena potongan udang dan dagingnya padu dengan racikan bumbu. Asin garam dan pedas merica, sangat pas dan padu menggoyang lidah.
Saus spesial fuyunghainya yang menutupi seluruh fuyunghai berbentuk bundar itu, juga memiliki rasa yang tidak terlalu pedas. Rasa asam berbalur sedikit rasa manis tomat mampu berbaur dengan potongan fuyunghai dan butir-butir kacang polong. Menu nasi fuyunghai ala Chinese Food Aguan, memang menghadirkan satu citarasa standar masakan oriental. Citarasa yang dulu ketika masih kecil pernah dirasakan di salah satu restoran Chinese Food terkenal di Jakarta, mampu dirasakan kembali oleh lidah ini. Suatu sensasi rasa fuyunghai yang sangat aduhai.
Sayangnya, pesanan teh tawar panas disajikan hangat, sehingga ketika porsi fuyunghai dan nasi ludes tandas, teh tawar itu sudah terasa agak dingin. Meski demikian, kesegaran teh tawarnya masih dapat dirasakan. Teh yang rupanya dari jenis teh dengan aroma cingcau hijau, cukup lumayan.
Chinese Food Aguan, sebagai satu tempat yang sudah dikunjungi tim petualang Rasa Jati Jurnal Bogor cukup layak untuk direkomendasikan sebagai tempat makan yang menyediakan menu masakan oriental yang bercitarasa cukup istimewa. Untuk rasa menu-menu lain, silakan mencoba sendiri.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Chinese Food Aguan yang berlokasi di Kompleks IPB Baranangsiang IV Blok A No.26, sebenarnya merupakan rumah tinggal yang dirombak depannya menjadi tempat makan. Sesuai dengan nama yang diusungnya, resto itu menyediakan menu-menu makanan khas oriental dengan jam operasional mulai pukul 10.00 sampai pukul 22.00 setiap hari. “Kami juga menyediakan jasa layanan pesan antar untuk rumahan dan kantoran, dengan jarak terjauh sampai ke daerah Bantar Kemang,” ujar Wibowo Mariyanto, pemilik rumah makan Chinese Food Aguan kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Wibowo yang akrab disapa Aguan itu, usaha rumah makan sudah dirintisnya sejak 1997. “Semula lokasi rumah makan saya terletak di Jl. Bina Marga, tetap dengan menu-menu oriental. Pindah ke lokasi sekarang sejak lima tahun lalu,” ungkap Aguan seraya menambahkan, usaha rumah makannya itu merupakan usaha keluarga yang diteruskannya dari orangtua.
Tempat bersantap yang disediakan, penampilannya cukup representatif dan bersih. Tersedia enam buah meja yang terbuat dari kayu berwarna coklat dan masing-masing terdiri dari empat buah kursi. “Kapasitas maksimal di tempat kami, sekitar 25 sampai 30 tamu yang mampu kami tampung di sini,” terang Aguan.
Menu-menu masakan yang disediakan resto itu, dikatakan Aguan, mencapai 100 jenis masakan. Semua masakan, adalah masakan-masakan ala oriental yang umum dan sudah mempunyai penggemar di kalangan warga Bogor, seperti nasi capcai udang, nasi fuyunghai, nasi cumi cah kalian, kangkung hot plate, sapo tahu cumi, kwetiau siram sea food, sampai gurame cah tauco. “Kami memasang harga mulai Rp. 2.500 untuk satu piring nasi putih, sampai Rp. 50.000 sebagai harga termahal untuk menu-menu masakan berbahan ikan gurame,” paparnya.
Sedangkan untuk menu minuman, Aguan mengatakan, hanya menyediakan minuman-minuman botol, the dan air jeruk, serta variasi juice, seperti juice alpukat, juice guava, dan juice strawberry. “Untuk menu minuman termahal, yaitu juice, kami jual dengan harga Rp. 7.000,” ujarnya.
Lumpia udang, dikatakan Aguan, merupakan menu favorit yang digandrungi kebanyakan pengunjung tempat makan itu. Sedangkan juice strawberry, lanjutnya, sebagai menu minuman yang paling banyak dipesan pengunjung rumah makannya. “Lumpia udang kami jual dengan harga Rp. 25.000 per porsi,” terangnya.
Rindu akan sensasi citarasa sebuah menu khas oriental, Jurnal Bogor pun memesan satu porsi nasi fuyunghai udang yang dibandrol dengan harga Rp. 17.500, lengkap dengan segelas teh tawar panas sebagai bonusnya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, sajian menu itu pun terhidang di atas meja. Porsi fuyunghai udang ditampilkan sangat menggugah selera. Warna sausnya yang merah menyala, dengan aroma telur dan daun bawangnya yang merebak menguasai indra penciuman.
Fuyunghai ala Chinese Food Aguan ternyata memiliki kelembutan yang sangat khas. Paduan tepung beras dan tepung sagu yang dikocok dengan tiga butir telur ayam serta potongan-potongan kol, wortel, dan daun bawang, menghadirkan satu rasa yang teramat dikenal oleh lidah. Ini memang fuyunghai, karena potongan udang dan dagingnya padu dengan racikan bumbu. Asin garam dan pedas merica, sangat pas dan padu menggoyang lidah.
Saus spesial fuyunghainya yang menutupi seluruh fuyunghai berbentuk bundar itu, juga memiliki rasa yang tidak terlalu pedas. Rasa asam berbalur sedikit rasa manis tomat mampu berbaur dengan potongan fuyunghai dan butir-butir kacang polong. Menu nasi fuyunghai ala Chinese Food Aguan, memang menghadirkan satu citarasa standar masakan oriental. Citarasa yang dulu ketika masih kecil pernah dirasakan di salah satu restoran Chinese Food terkenal di Jakarta, mampu dirasakan kembali oleh lidah ini. Suatu sensasi rasa fuyunghai yang sangat aduhai.
Sayangnya, pesanan teh tawar panas disajikan hangat, sehingga ketika porsi fuyunghai dan nasi ludes tandas, teh tawar itu sudah terasa agak dingin. Meski demikian, kesegaran teh tawarnya masih dapat dirasakan. Teh yang rupanya dari jenis teh dengan aroma cingcau hijau, cukup lumayan.
Chinese Food Aguan, sebagai satu tempat yang sudah dikunjungi tim petualang Rasa Jati Jurnal Bogor cukup layak untuk direkomendasikan sebagai tempat makan yang menyediakan menu masakan oriental yang bercitarasa cukup istimewa. Untuk rasa menu-menu lain, silakan mencoba sendiri.
Rudi D. Sukmana
Lebih Baik Tawar dibanding Hambar
Bogor, Jurnal Bogor
Sahabat saya Ki Batin mengatakan, rasa tawar berbeda dengan rasa hambar. Rasa tawar dikatakannya lebih baik dibandingkan rasa hambar. “Rasa tawar itu seperti air tawar dan roti tawar, memiliki rasa tersendiri,” ujarnya sambil mengoles mentega di sebelah muka roti tawar yang tersaji di hadapan.
Rasa tawar dikatakan Ki Batin, merupakan rasa yang dapat masuk ke semua rasa bila dipadukan. Roti tawar, sebagai contoh, cocok dipadu dengan rasa apapun. “Roti tawar dipadu dengan gula, hasilnya rasa manis. Demikian pula bila roti tawar dipadu dengan saus sambal, hasilnya adalah rasa pedas,” terangnya.
Ki Batin menambahkan, lidah manusia sendiri memiliki empat alat ecap rasa sebagai rasa dasar. Lidah tiap manusia, menurutnya, dapat merasakan manis yang didapat dari alat ecap lidah bagian depan, rasa pahit yang dirasakan lidah bagian belakang, rasa manis dan rasa asam yang didapat dari alat ecap lidah bagian kiri dan kanan. “Lalu bagaimana dengan rasa pedas? Bagaimana pula dengan rasa tawar dan rasa hambar?” lanjutnya.
Rasa hambar sendiri, dikatakan Ki Batin, sebagai kondisi rasa yang tidak sampai pada rasa yang diinginkan. Segelas teh yang diberi gula pasir, akan dikatakan hambar bila rasa manisnya tidak terasa. Semangkuk sayur asam pun dikatakan hambar bila dinilai kurang asin, atau kurang asam. “Kondisi hambar, adalah rasa yang berada dalam kejenuhan diri,” ujarnya.
Ki Batin melanjutkan, kejenuhan diri biasanya muncul karena pudarnya cinta. Sebagai rasa, cinta merupakan rasa teragung. “Rasa cinta yang berasal dari ruh mampu menguasai rasa jiwa dan rasa raga,” jelasnya. “Bila manusia memakan sesuap nasi, raga akan merasa kenyang dan jiwa akan merasa nikmat. Dan ruh pun hadir mengasihi jiwa dan raga,” ujarnya.
Jika ruh cinta sudah menguasai jiwa dan raga, dikatakan Ki Batin, rasa hambar tidak akan pernah muncul lagi. “Meski tanpa garam atau tanpa asam, semangkuk sayur asam akan membuat raga kenyang dan jiwa nikmat, bila dibuat oleh seseorang yang tercinta. Itulah agungnya rasa cinta,” jelasnya.
Dalam hidup pun, dikatakan Ki Batin, acapkali manusia mengalami rasa hambar. Pahitnya kehidupan, pedasnya kehidupan, kecut atau manisnya kehidupan menjadi lebih baik daripada hambarnya kehidupan. “Maka berbahagialah manusia yang masih merasakan pahitnya hidup, pedasnya hidup dan kecutnya hidup, bila belum merasakan manisnya hidup. Dengan ruh cinta, hidup jadi lebih berwarna dan bermakna,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
Sahabat saya Ki Batin mengatakan, rasa tawar berbeda dengan rasa hambar. Rasa tawar dikatakannya lebih baik dibandingkan rasa hambar. “Rasa tawar itu seperti air tawar dan roti tawar, memiliki rasa tersendiri,” ujarnya sambil mengoles mentega di sebelah muka roti tawar yang tersaji di hadapan.
Rasa tawar dikatakan Ki Batin, merupakan rasa yang dapat masuk ke semua rasa bila dipadukan. Roti tawar, sebagai contoh, cocok dipadu dengan rasa apapun. “Roti tawar dipadu dengan gula, hasilnya rasa manis. Demikian pula bila roti tawar dipadu dengan saus sambal, hasilnya adalah rasa pedas,” terangnya.
Ki Batin menambahkan, lidah manusia sendiri memiliki empat alat ecap rasa sebagai rasa dasar. Lidah tiap manusia, menurutnya, dapat merasakan manis yang didapat dari alat ecap lidah bagian depan, rasa pahit yang dirasakan lidah bagian belakang, rasa manis dan rasa asam yang didapat dari alat ecap lidah bagian kiri dan kanan. “Lalu bagaimana dengan rasa pedas? Bagaimana pula dengan rasa tawar dan rasa hambar?” lanjutnya.
Rasa hambar sendiri, dikatakan Ki Batin, sebagai kondisi rasa yang tidak sampai pada rasa yang diinginkan. Segelas teh yang diberi gula pasir, akan dikatakan hambar bila rasa manisnya tidak terasa. Semangkuk sayur asam pun dikatakan hambar bila dinilai kurang asin, atau kurang asam. “Kondisi hambar, adalah rasa yang berada dalam kejenuhan diri,” ujarnya.
Ki Batin melanjutkan, kejenuhan diri biasanya muncul karena pudarnya cinta. Sebagai rasa, cinta merupakan rasa teragung. “Rasa cinta yang berasal dari ruh mampu menguasai rasa jiwa dan rasa raga,” jelasnya. “Bila manusia memakan sesuap nasi, raga akan merasa kenyang dan jiwa akan merasa nikmat. Dan ruh pun hadir mengasihi jiwa dan raga,” ujarnya.
Jika ruh cinta sudah menguasai jiwa dan raga, dikatakan Ki Batin, rasa hambar tidak akan pernah muncul lagi. “Meski tanpa garam atau tanpa asam, semangkuk sayur asam akan membuat raga kenyang dan jiwa nikmat, bila dibuat oleh seseorang yang tercinta. Itulah agungnya rasa cinta,” jelasnya.
Dalam hidup pun, dikatakan Ki Batin, acapkali manusia mengalami rasa hambar. Pahitnya kehidupan, pedasnya kehidupan, kecut atau manisnya kehidupan menjadi lebih baik daripada hambarnya kehidupan. “Maka berbahagialah manusia yang masih merasakan pahitnya hidup, pedasnya hidup dan kecutnya hidup, bila belum merasakan manisnya hidup. Dengan ruh cinta, hidup jadi lebih berwarna dan bermakna,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
BT Cafe
Kelembutan Ala Pisang Bakar Empat Rasa
Bogor, Jurnal Bogor
Menurut para pengunjungnya, BT Café merupakan singkatan dari Bang Trisno Café, nama dari pemilik tempat itu. Sedangkan menurut Sutrisno, pemilik BT Café, nama BT Café dikatakan sebagai singkatan dari Berita Tegalgundil. “Pada 2002, tempat ini lebih dikenal sebagai tempat berkumpul para penggemar Radio Berita Tegalgundil atau Radio BT. Sehingga saya menamakannya BT Café yang kebetulan mirip dengan nama saya,” ujar Sutrisno kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Sutrisno, tempat usahanya merupakan cakupan dari Paguyuban Saung Tegalgundil. “Kami bergotongroyong mendirikan saung ini untuk menjadi tempat makan,” terangnya. Selain usaha kafenya, lanjut Sutrisno, ada 12 pedagang lain yang sama-sama menggelar dagangannya di saung yang mirip aula itu, seperti mie ayam, nasi goreng, mie rebus, batagor, sate kambing, dan martabak.
Tempat bersantapnya sendiri tampak sederhana, berupa bangunan non permanen dengan atap terbuat dari daun kelapa yang berkesan etnik. Apalagi ditambah dengan ornament dinding yang ditutupi dengan bilah-bilah bambu yang berwarna coklat. Meja kayu sederhana dan bangku plastik yang tersedia di tempat itu pun hanya menampung maksimal 10 orang pengunjung.
Saat Jurnal Bogor mendatangi tempat itu, waktu menunjukkan pukul 14.30. Tertarik dengan baliho pisang bakar empat rasa, akhirnya satu porsi menu itu pun dipesan. Pisangnya sendiri berasal dari jenis pisang oli yang berwarna kuning dan berukuran lumayan besar. “Kami memang memilih pisang oli berukuran besar, semata-mata untuk kepuasan pembeli. Selain rasanya yang enak, harganya pun lebih murah dibandingkan pisang bakar di tempat lain,” ujar Sutrisno.
BT Café yang buka setiap hari mulai jam 10.00 sampai 01.00, menurut Sutrisno, pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri sering menerima pesanan jagung bakar dari protokol Istana Bogor. “Menurut Pak Endang, salah seorang protokol Istana Bogor, pesanan jagung bakar itu untuk Ibu Mega yang memang menyukai makanan tradisional,” ungkapnya seraya menambahkan, minimal dua kali dalam seminggu mantan Presiden RI itu memesan untuk dibuatkan jagung bakar ala BT Café.
Menu jagung yang disediakan BT Café, terdiri dari tiga jenis sajian yaitu jagung bakar empat rasa yang memiliki rasa pedas, manis, asam, dan asin seharga Rp. 3.000, jagung bakar saus pedas manis seharga Rp. 3.000, dan asinan jagung bakar yang dihargai Rp. 4.000. “Resep cara membuat menu itu, saya dapatkan dengan penuh perjuangan,” ungkap Sutrisno yang mengaku mendapatkan resepnya secara bertahap di daerah Lembang Bandung.
BT Café yang dikelola oleh Sutrisno dan istrinya itu, juga menyediakan menu makanan lain seperti pisang bakar empat rasa yang dipesan Jurnal Bogor, pisang goreng BT, colenak keju, mie instant telor, spaghetti Bolognese, cheese burger, dan roti bakar. Untuk roti bakar disajikan dengan berbagai pilihan rasa, seperti roti bakar keju, coklat keju, strawberry coklat keju, kacang coklat keju, dan roti bakar pisang coklat keju.
Masing-masing dijual dengan harga yang berbeda, mulai Rp. 3.000 sampai harga Rp. 7.500 untuk menu spaghetti Bolognese. “Harga yang kami tawarkan dari menu-menu yang disediakan di BT Café, ditanggung sangat bersaing dan lebih murah dibandingkan kafe lain yang menawarkan menu yang sama,” ujar Sutrisno berpromosi.
Untuk menu minuman, tempat itu menyediakan minuman panas dan dingin, seperti air jeruk, bandrek Betawi, coffe latte, ginseng coffee, Milo cheese, cappuccino, dan soda happy. “Menu minuman kami bandrol dengan harga mulai Rp. 2.000 untuk teh manis dan lemon tea sampai harga Rp. 5.000 untuk soda happy,” papar Sutrisno.
Menu makanan favorit pengunjung BT Café, menurut Sutrisno, adalah jagung bakar dan pisang bakar empat rasa. Sedangkan menu minuman favorit yang digandrungi pengunjung adalah Milo cheese seharga Rp. 4.000. Tertarik dengan promosi Sutrisno, minuman favorit ala BT Café pun dipesan juga.
Di tengah perbincangan, pisang bakar empat rasa dan Milo cheese pun tersaji di hadapan, lengkap dengan teh tawar panas favorit. Pisang bakar empat rasa seharga Rp. 5.000 memiliki penampilan mewah. Keju parutnya menjulang tinggi menutupi pisang bakar. Milo cheese, seperti halnya pisang bakar juga diberi keju parut yang menutupi bagian atas gelas hingga ke atas. Kesan yang diperoleh dari penampilan kedua menu pesanan itu sangat mewah.
Pisang bakar empat rasa, ternyata memiliki citarasa cukup istimewa. Pisang bakarnya sangat lembut dan berkesan setengah matang, sehingga rasa pisangnya masih dominan. Parutan kejunya yang berwarna putih menghadirkan rasa gurih yang padu dengan rasa manis yang didapat dari pisang, susu kental manis, dan butiran coklat mesis. Tiga rasa manis berbeda yang padu dengan satu rasa gurih.
Milo cheese disajikan dingin dengan bongkahan kecil batu es. Rasa coklat Milo yang dicampur dengan susu kental manis dan parutan keju, cukup mampu menghadirkan kesegaran tersendiri. Cukup kreatif dan berpotensi sebagai salah satu minuman yang memiliki ciri khas. Tak heran, bila BT Café pada jam-jam tertentu, terutama menjelang Maghrib, sangat ramai dipadati pengunjung.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Menurut para pengunjungnya, BT Café merupakan singkatan dari Bang Trisno Café, nama dari pemilik tempat itu. Sedangkan menurut Sutrisno, pemilik BT Café, nama BT Café dikatakan sebagai singkatan dari Berita Tegalgundil. “Pada 2002, tempat ini lebih dikenal sebagai tempat berkumpul para penggemar Radio Berita Tegalgundil atau Radio BT. Sehingga saya menamakannya BT Café yang kebetulan mirip dengan nama saya,” ujar Sutrisno kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Sutrisno, tempat usahanya merupakan cakupan dari Paguyuban Saung Tegalgundil. “Kami bergotongroyong mendirikan saung ini untuk menjadi tempat makan,” terangnya. Selain usaha kafenya, lanjut Sutrisno, ada 12 pedagang lain yang sama-sama menggelar dagangannya di saung yang mirip aula itu, seperti mie ayam, nasi goreng, mie rebus, batagor, sate kambing, dan martabak.
Tempat bersantapnya sendiri tampak sederhana, berupa bangunan non permanen dengan atap terbuat dari daun kelapa yang berkesan etnik. Apalagi ditambah dengan ornament dinding yang ditutupi dengan bilah-bilah bambu yang berwarna coklat. Meja kayu sederhana dan bangku plastik yang tersedia di tempat itu pun hanya menampung maksimal 10 orang pengunjung.
Saat Jurnal Bogor mendatangi tempat itu, waktu menunjukkan pukul 14.30. Tertarik dengan baliho pisang bakar empat rasa, akhirnya satu porsi menu itu pun dipesan. Pisangnya sendiri berasal dari jenis pisang oli yang berwarna kuning dan berukuran lumayan besar. “Kami memang memilih pisang oli berukuran besar, semata-mata untuk kepuasan pembeli. Selain rasanya yang enak, harganya pun lebih murah dibandingkan pisang bakar di tempat lain,” ujar Sutrisno.
BT Café yang buka setiap hari mulai jam 10.00 sampai 01.00, menurut Sutrisno, pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri sering menerima pesanan jagung bakar dari protokol Istana Bogor. “Menurut Pak Endang, salah seorang protokol Istana Bogor, pesanan jagung bakar itu untuk Ibu Mega yang memang menyukai makanan tradisional,” ungkapnya seraya menambahkan, minimal dua kali dalam seminggu mantan Presiden RI itu memesan untuk dibuatkan jagung bakar ala BT Café.
Menu jagung yang disediakan BT Café, terdiri dari tiga jenis sajian yaitu jagung bakar empat rasa yang memiliki rasa pedas, manis, asam, dan asin seharga Rp. 3.000, jagung bakar saus pedas manis seharga Rp. 3.000, dan asinan jagung bakar yang dihargai Rp. 4.000. “Resep cara membuat menu itu, saya dapatkan dengan penuh perjuangan,” ungkap Sutrisno yang mengaku mendapatkan resepnya secara bertahap di daerah Lembang Bandung.
BT Café yang dikelola oleh Sutrisno dan istrinya itu, juga menyediakan menu makanan lain seperti pisang bakar empat rasa yang dipesan Jurnal Bogor, pisang goreng BT, colenak keju, mie instant telor, spaghetti Bolognese, cheese burger, dan roti bakar. Untuk roti bakar disajikan dengan berbagai pilihan rasa, seperti roti bakar keju, coklat keju, strawberry coklat keju, kacang coklat keju, dan roti bakar pisang coklat keju.
Masing-masing dijual dengan harga yang berbeda, mulai Rp. 3.000 sampai harga Rp. 7.500 untuk menu spaghetti Bolognese. “Harga yang kami tawarkan dari menu-menu yang disediakan di BT Café, ditanggung sangat bersaing dan lebih murah dibandingkan kafe lain yang menawarkan menu yang sama,” ujar Sutrisno berpromosi.
Untuk menu minuman, tempat itu menyediakan minuman panas dan dingin, seperti air jeruk, bandrek Betawi, coffe latte, ginseng coffee, Milo cheese, cappuccino, dan soda happy. “Menu minuman kami bandrol dengan harga mulai Rp. 2.000 untuk teh manis dan lemon tea sampai harga Rp. 5.000 untuk soda happy,” papar Sutrisno.
Menu makanan favorit pengunjung BT Café, menurut Sutrisno, adalah jagung bakar dan pisang bakar empat rasa. Sedangkan menu minuman favorit yang digandrungi pengunjung adalah Milo cheese seharga Rp. 4.000. Tertarik dengan promosi Sutrisno, minuman favorit ala BT Café pun dipesan juga.
Di tengah perbincangan, pisang bakar empat rasa dan Milo cheese pun tersaji di hadapan, lengkap dengan teh tawar panas favorit. Pisang bakar empat rasa seharga Rp. 5.000 memiliki penampilan mewah. Keju parutnya menjulang tinggi menutupi pisang bakar. Milo cheese, seperti halnya pisang bakar juga diberi keju parut yang menutupi bagian atas gelas hingga ke atas. Kesan yang diperoleh dari penampilan kedua menu pesanan itu sangat mewah.
Pisang bakar empat rasa, ternyata memiliki citarasa cukup istimewa. Pisang bakarnya sangat lembut dan berkesan setengah matang, sehingga rasa pisangnya masih dominan. Parutan kejunya yang berwarna putih menghadirkan rasa gurih yang padu dengan rasa manis yang didapat dari pisang, susu kental manis, dan butiran coklat mesis. Tiga rasa manis berbeda yang padu dengan satu rasa gurih.
Milo cheese disajikan dingin dengan bongkahan kecil batu es. Rasa coklat Milo yang dicampur dengan susu kental manis dan parutan keju, cukup mampu menghadirkan kesegaran tersendiri. Cukup kreatif dan berpotensi sebagai salah satu minuman yang memiliki ciri khas. Tak heran, bila BT Café pada jam-jam tertentu, terutama menjelang Maghrib, sangat ramai dipadati pengunjung.
Rudi D. Sukmana
Ngarujak Kadondong di Siang Bolong
Bogor, Jurnal Bogor
Rujak merupakan salah satu menu tradisional anak negeri yang bahan-bahannya terdiri dari buah-buahan yang biasanya berupa buah yang masih mengkal, sayuran, maupun umbi-umbian. Ciri khas rujak adalah, selalu menyertakan racikan sambal sebagai teman setia hidangan itu. Rujak sendiri memiliki banyak nama, salah satu namanya adalah asinan.
Salah satu jenis rujak yang memiliki banyak penggemar, yaitu rujak buah yang terdiri dari beragam buah-buahan, seperti papaya, mangga, kedondong, dan nanas. Jenis buah-buahan seperti mangga muda dan kedondong, konon sangat disukai karena memiliki rasa masam yang mampu mengusir sakit kepala di siang hari yang terik.
Meski hanya dengan sambal yang terbuat dari garam dan cabai, kedondong maupun mangga muda yang dicocol, benar-benar menggigit selera. Mata yang menyantapnya akan mengrenyit merasakan keasaman yang meraja di relung lidah, belum lagi rasa pedas yang timbul dari sambal yang menempel pada buah itu.
Ki Batin selalu tersenyum bila melihat penggemar rujak sedang menikmati hidangan kesukaan mereka itu. Dikatakannya, suka tidak suka, mau tidak mau, manusia membutuhkan pengalaman yang mampu membuat dirinya mengrenyitkan dahi. Dan itu diperoleh dari pengalaman rasa asam. “Hanya rasa kecut asam yang membuat dahi otomatis berkerut. Rasa lain justru sebaliknya,” ujar Ki Batin.
Asam sebagai rasa, lanjut Ki Batin, digolongkan manusia pada pijakan rasa negatif, sama seperti pahit. Sedangkan manis dan asin umumnya dikatagorikan sebagai rasa positif. “Padahal hakikatnya, tidak ada rasa negatif dan rasa yang positif,” ujarnya. Kecutnya asam, menjadikan diri mengerti apa makna sesungguhnya pahit, asin, dan manis. “Buah kedondong atau buah mangga muda memiliki rasa manis yang terbalur rasa kecut. Rasa asin adalah penawarnya, lalu, di mana pahitnya?” lanjut Ki Batin.
Dalam hidup pun, dikatakan Ki Batin, kita sering mengalami manis yang terbalur kecutnya kehidupan. Hanya saja, manusia selalu menyerah untuk mencari sang rasa manis pada hidup yang terasa kecut dan pahit. “Sangat sedikit yang dapat memaknai, sesungguhnya bila sudah sampai pada asinnya, pahit dan kecut pun akan menjadi manis,” ujarnya penuh misteri.
Ngarujak kedondong bersama rekan sekerja pada siang bolong yang panas pun menjadi suasana yang menyenangkan, karena sesaat diri bisa menggugah rasa. Di tengah senda gurau, tanpa disadari diri tengah menuju pada hakikat manisnya rasa asam dan asin.
Rudi D. Sukmana
Rujak merupakan salah satu menu tradisional anak negeri yang bahan-bahannya terdiri dari buah-buahan yang biasanya berupa buah yang masih mengkal, sayuran, maupun umbi-umbian. Ciri khas rujak adalah, selalu menyertakan racikan sambal sebagai teman setia hidangan itu. Rujak sendiri memiliki banyak nama, salah satu namanya adalah asinan.
Salah satu jenis rujak yang memiliki banyak penggemar, yaitu rujak buah yang terdiri dari beragam buah-buahan, seperti papaya, mangga, kedondong, dan nanas. Jenis buah-buahan seperti mangga muda dan kedondong, konon sangat disukai karena memiliki rasa masam yang mampu mengusir sakit kepala di siang hari yang terik.
Meski hanya dengan sambal yang terbuat dari garam dan cabai, kedondong maupun mangga muda yang dicocol, benar-benar menggigit selera. Mata yang menyantapnya akan mengrenyit merasakan keasaman yang meraja di relung lidah, belum lagi rasa pedas yang timbul dari sambal yang menempel pada buah itu.
Ki Batin selalu tersenyum bila melihat penggemar rujak sedang menikmati hidangan kesukaan mereka itu. Dikatakannya, suka tidak suka, mau tidak mau, manusia membutuhkan pengalaman yang mampu membuat dirinya mengrenyitkan dahi. Dan itu diperoleh dari pengalaman rasa asam. “Hanya rasa kecut asam yang membuat dahi otomatis berkerut. Rasa lain justru sebaliknya,” ujar Ki Batin.
Asam sebagai rasa, lanjut Ki Batin, digolongkan manusia pada pijakan rasa negatif, sama seperti pahit. Sedangkan manis dan asin umumnya dikatagorikan sebagai rasa positif. “Padahal hakikatnya, tidak ada rasa negatif dan rasa yang positif,” ujarnya. Kecutnya asam, menjadikan diri mengerti apa makna sesungguhnya pahit, asin, dan manis. “Buah kedondong atau buah mangga muda memiliki rasa manis yang terbalur rasa kecut. Rasa asin adalah penawarnya, lalu, di mana pahitnya?” lanjut Ki Batin.
Dalam hidup pun, dikatakan Ki Batin, kita sering mengalami manis yang terbalur kecutnya kehidupan. Hanya saja, manusia selalu menyerah untuk mencari sang rasa manis pada hidup yang terasa kecut dan pahit. “Sangat sedikit yang dapat memaknai, sesungguhnya bila sudah sampai pada asinnya, pahit dan kecut pun akan menjadi manis,” ujarnya penuh misteri.
Ngarujak kedondong bersama rekan sekerja pada siang bolong yang panas pun menjadi suasana yang menyenangkan, karena sesaat diri bisa menggugah rasa. Di tengah senda gurau, tanpa disadari diri tengah menuju pada hakikat manisnya rasa asam dan asin.
Rudi D. Sukmana
Lalapan, Santapan Pahit Penggugah Rasa
Bogor, Jurnal Bogor
Lalapan merupakan makanan tradisi Jawa Barat, terutama urang Sunda. Masyarakat Sunda sangat menyukai lalap-lalapan, apalagi bila dimakan bersama sambal terasi, ayam goreng, tempe goreng atau tahu goreng. Banyak jenis sayur untuk lalapan yang bisa disantap mentah, juga tidak sedikit yang terlebih dahulu harus direbus atau dikukus.
Lalapan sendiri sebenarnya juga mirip seperti salad dalam sajian menu ala Barat. Bedanya terletak pada jenis sayuran yang digunakan untuk lalapan dan teman pengiringnya. Jika pada masyarakat Jawa Barat teman seiring sejalan lalapan adalah sambal terasi, maka bagi masyarakat Barat, teman seiring sejalan lalapan mereka adalah mayones.
Dalam perjalanan berpetualang kuliner mencari Sang Rasa Jati di seantero Bogor, saya pernah disuguhi hidangan lalapan oleh sahabat saya Ki Batin. Sajian makanan yang begitu sederhana, hanya terdiri dari nasi putih, sambal terasi dan lalapan, serta sedikit ikan asin goreng dari jenis ikan peda. Lalapan yang dihidangkan pun hanya terdiri dari tiga jenis dedaunan, seperti daun kedondongan, daun kemangi, dan daun pepaya.
Namun soal rasa, sangat jauh dari sederhana. Sangat kaya dan sangat berat. Bahkan, bulir-bulir keringat sampai bercucuran. Ki Batin mengatakan, sebagai suku yang menggemari rasa pahit dan pedas untuk santapannya, urang Sunda hakikatnya merupakan kelompok masyarakat yang tahan cobaan hidup. “Namun saat ini, semakin banyak urang Sunda yang tak tahan pada ujian hidup,” ujar Ki Batin.
Dikatakannya, ada perbedaan yang jelas antara cobaan dan ujian dalam kehidupan. “Sama seperti murid sekolah, kadang mendapat ulangan, kadang harus menempuh ujian,” papar Ki Batin. Cobaan dalam kehidupan, lanjutnya, hakikatnya untuk mengetahui sampai di mana batas diri, sedangkan ujian kehidupan, semata-mata sebagai proses bagi diri untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi dari kualitas dan kadar keimanannya.
Contoh yang sederhana, imbuhnya, tercermin pada santapan yang sederhana itu. Bagaimana diri menyikapi santapan pahit dan pedas pada sajian lalapan, supaya hidup lebih kaya lagi, bukan semata-mata kaya dalam materi. “Kadang kita harus makan yang namanya rasa pahit dan rasa pedas dalam hidup kita, supaya kita bisa memaknainya,” tukas Ki Batin.
“Sama seperti lalapan, pahit dan pedas kehidupan semata-mata merupakan hasil pilihan kita sendiri,” terang Ki Batin sebelum menyeruput teh tawar panasnya. Bila dalam hidup yang tersaji hanya lalapan dan sambal, lanjutnya, diri harus pintar-pintar memilih apa yang akan dan mampu dipahami, sehingga dapat menggugah diri pada Sang Rasa Jati.
Rudi D. Sukmana
Lalapan merupakan makanan tradisi Jawa Barat, terutama urang Sunda. Masyarakat Sunda sangat menyukai lalap-lalapan, apalagi bila dimakan bersama sambal terasi, ayam goreng, tempe goreng atau tahu goreng. Banyak jenis sayur untuk lalapan yang bisa disantap mentah, juga tidak sedikit yang terlebih dahulu harus direbus atau dikukus.
Lalapan sendiri sebenarnya juga mirip seperti salad dalam sajian menu ala Barat. Bedanya terletak pada jenis sayuran yang digunakan untuk lalapan dan teman pengiringnya. Jika pada masyarakat Jawa Barat teman seiring sejalan lalapan adalah sambal terasi, maka bagi masyarakat Barat, teman seiring sejalan lalapan mereka adalah mayones.
Dalam perjalanan berpetualang kuliner mencari Sang Rasa Jati di seantero Bogor, saya pernah disuguhi hidangan lalapan oleh sahabat saya Ki Batin. Sajian makanan yang begitu sederhana, hanya terdiri dari nasi putih, sambal terasi dan lalapan, serta sedikit ikan asin goreng dari jenis ikan peda. Lalapan yang dihidangkan pun hanya terdiri dari tiga jenis dedaunan, seperti daun kedondongan, daun kemangi, dan daun pepaya.
Namun soal rasa, sangat jauh dari sederhana. Sangat kaya dan sangat berat. Bahkan, bulir-bulir keringat sampai bercucuran. Ki Batin mengatakan, sebagai suku yang menggemari rasa pahit dan pedas untuk santapannya, urang Sunda hakikatnya merupakan kelompok masyarakat yang tahan cobaan hidup. “Namun saat ini, semakin banyak urang Sunda yang tak tahan pada ujian hidup,” ujar Ki Batin.
Dikatakannya, ada perbedaan yang jelas antara cobaan dan ujian dalam kehidupan. “Sama seperti murid sekolah, kadang mendapat ulangan, kadang harus menempuh ujian,” papar Ki Batin. Cobaan dalam kehidupan, lanjutnya, hakikatnya untuk mengetahui sampai di mana batas diri, sedangkan ujian kehidupan, semata-mata sebagai proses bagi diri untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi dari kualitas dan kadar keimanannya.
Contoh yang sederhana, imbuhnya, tercermin pada santapan yang sederhana itu. Bagaimana diri menyikapi santapan pahit dan pedas pada sajian lalapan, supaya hidup lebih kaya lagi, bukan semata-mata kaya dalam materi. “Kadang kita harus makan yang namanya rasa pahit dan rasa pedas dalam hidup kita, supaya kita bisa memaknainya,” tukas Ki Batin.
“Sama seperti lalapan, pahit dan pedas kehidupan semata-mata merupakan hasil pilihan kita sendiri,” terang Ki Batin sebelum menyeruput teh tawar panasnya. Bila dalam hidup yang tersaji hanya lalapan dan sambal, lanjutnya, diri harus pintar-pintar memilih apa yang akan dan mampu dipahami, sehingga dapat menggugah diri pada Sang Rasa Jati.
Rudi D. Sukmana
Ayam Bakar Panas Taman Kencana
Menu Sederhana Bercitarasa Istimewa
Bogor, Jurnal Bogor
Beroperasi sejak 2002, Ayam Bakar Panas Taman Kencana saat ini semakin digemari para penikmat sajian ayam bakar yang mendambakan citarasa istimewa dengan harga yang terjangkau. Tak heran, pengunjung yang mendatangi tempat itu kebanyakan merupakan para pelajar dan karyawan yang datang berombongan untuk bersantap siang bersama.
Tempat bersantapnya sendiri sangat sederhana, berupa bangunan non permanen dengan atap terbuat dari terpal plastik. Meja kayu sederhana dan bangku plastik yang tersedia pun hanya menampung maksimal 20 orang pengunjung. Namun, tempat makan itu tidak pernah terlihat kosong, apalagi pada waktu jam makan siang. Pengunjung rela antri untuk mendapatkan bangku di tempat yang sempit itu.
Saat Jurnal Bogor mendatangi tempat itu, waktu menunjukkan pukul 14.30. Karena sudah lewat dari jam makan siang, ada sisa bangku yang segera bisa diduduki. Aroma asap dari pembakaran ayam merebak kemana-mana, membuat selera makan bangkit ingin untuk segera mencicipi rasa ayam bakar itu.
Menurut salah seorang karyawan Ayam Bakar Panas Joni Bakri, lokasi tempat usaha yang berada di Taman Kencana itu merupakan pilihan dari pemilik Ayam Bakar Panas Ridwan Sidik, karena letak Taman Kencana yang cukup strategis. “Sejak dulu, Taman Kencana sudah dikenal sebagai tempat untuk melepas lelah dan mencari hidangan kuliner. Hal itu yang ditangkap oleh pemilik usaha ini,” ungkap Joni kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Joni, usaha makan yang ikut dikelolanya itu sudah memiliki satu cabang yang berlokasi di Jl. Suryakencana No.268 Gang Aut. Kondisi pengunjung tempat makan di cabang itu, lanjutnya, juga sama seperti yang ada di Taman Kencana, selalu ramai. “Kami juga menyediakan jasa terima pesanan dan mengantarkannya,” terangnya.
Dengan jumlah karyawan empat orang yang menjadi krew di Taman Kencana, dikatakan Joni, tempatnya itu dibuka setiap hari mulai pukul 8.00 sampai 20.00. “Setiap hari, kami menyediakan lebih dari 200 porsi untuk para pengunjung,” ungkapnya seraya menambahkan, satu ekor ayam dapat membuat empat porsi sajian ayam bakar.
Menu tempat itu sendiri hanya menyediakan ayam bakar yang dibagi dalam dua pilihan, yaitu potongan dada atau potongan paha. Keunggulan dari sajian yang dihidangkan, tambah Joni, terletak pada rasa sambal yang diracik. “Banyak pengunjung yang menggemari rasa sambal buatan tempat kami,” tukasnya.
Untuk menu minuman, tempat itu pun hanya menyediakan minuman teh dan air jeruk yang dapat dipesan dengan penyajian panas atau disajikan dingin dengan es batu. “Satu porsi ayam bakar harganya Rp 8.500, sedangkan es teh manis Rp. 2.000 dan es jeruk Rp. 1.500,” papar Joni seraya menambahkan, pengunjung dapat memesan minuman botol dari beberapa kios di sebelah tempat makannya.
Di tengah perbincangan, potongan dada ayam bakar sesuai pesanan yang masih panas pun terhidang di hadapan lengkap dengan nasi putih, potongan ketimun dan kol yang segar serta seonggok sambal berwarna merah menyala. Tak lupa, segelas air teh tawar panas yang masih mengepulkan asap pun mengiringi sajiannya. Aroma khas ayam bakar seketika menyeruak menghantam indra penciuman. Sangat menantang selera.
Joni pun segera mempersilakan untuk menikmati hidangan yang tersaji. Meski tampilan menu istimewa tempat itu sangat sederhana, namun sangat mampu menerbitkan air liur di ujung mulut. Potongan ayam bakar yang berwarna coklat kehitam-hitaman tampak berkilauan karena proses pembakarannya menggunakan racikan minyak khusus untuk menambah rasa. Kilat-kilat cahaya yang terpancar dari ayam bakar itu sangat menyolok mata yang mendelik tanpa kedip menatapnya.
Santapan seperti itu, paling nikmat bila tidak menggunakan sendok maupun garpu. Dengan gaya tradisional alias memanfaatkan sendok buatan Sang Pencipta pun, sesuwir demi sesuwir daging ayam berbalut nasi dan sambal disantap. Daging ayamnya sangat empuk, menandakan proses pengungkepannya cukup memakan waktu. Hal itu tentu saja membuat racikan bumbu-bumbunya meresap, bahkan hingga ke dalam tulang.
Meski lidah ini mengatakan citarasa sambal yang disajikan masih kurang seuhah, secara utuh sambal itu sangat padu dengan nasi, lalapan, dan daging ayam bakar. Cukup membuat lidah ini bergoyang, apalagi ditambah dengan sebungkus plastik kerupuk kulit yang sangat garing dan renyah yang sudah tersedia di atas meja.
Menyantap sajian menu unggulan dan satu-satunya di Ayam Bakar Panas Taman Kencana memang cukup istimewa. Pantas saja, tempat itu selalu penuh dengan pengunjung yang terus berdatangan silih berganti. Benar-benar sajian menu yang mampu melepas rasa lelah dan mendatangkan semangat baru untuk mulai beraktivitas kembali.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Beroperasi sejak 2002, Ayam Bakar Panas Taman Kencana saat ini semakin digemari para penikmat sajian ayam bakar yang mendambakan citarasa istimewa dengan harga yang terjangkau. Tak heran, pengunjung yang mendatangi tempat itu kebanyakan merupakan para pelajar dan karyawan yang datang berombongan untuk bersantap siang bersama.
Tempat bersantapnya sendiri sangat sederhana, berupa bangunan non permanen dengan atap terbuat dari terpal plastik. Meja kayu sederhana dan bangku plastik yang tersedia pun hanya menampung maksimal 20 orang pengunjung. Namun, tempat makan itu tidak pernah terlihat kosong, apalagi pada waktu jam makan siang. Pengunjung rela antri untuk mendapatkan bangku di tempat yang sempit itu.
Saat Jurnal Bogor mendatangi tempat itu, waktu menunjukkan pukul 14.30. Karena sudah lewat dari jam makan siang, ada sisa bangku yang segera bisa diduduki. Aroma asap dari pembakaran ayam merebak kemana-mana, membuat selera makan bangkit ingin untuk segera mencicipi rasa ayam bakar itu.
Menurut salah seorang karyawan Ayam Bakar Panas Joni Bakri, lokasi tempat usaha yang berada di Taman Kencana itu merupakan pilihan dari pemilik Ayam Bakar Panas Ridwan Sidik, karena letak Taman Kencana yang cukup strategis. “Sejak dulu, Taman Kencana sudah dikenal sebagai tempat untuk melepas lelah dan mencari hidangan kuliner. Hal itu yang ditangkap oleh pemilik usaha ini,” ungkap Joni kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Joni, usaha makan yang ikut dikelolanya itu sudah memiliki satu cabang yang berlokasi di Jl. Suryakencana No.268 Gang Aut. Kondisi pengunjung tempat makan di cabang itu, lanjutnya, juga sama seperti yang ada di Taman Kencana, selalu ramai. “Kami juga menyediakan jasa terima pesanan dan mengantarkannya,” terangnya.
Dengan jumlah karyawan empat orang yang menjadi krew di Taman Kencana, dikatakan Joni, tempatnya itu dibuka setiap hari mulai pukul 8.00 sampai 20.00. “Setiap hari, kami menyediakan lebih dari 200 porsi untuk para pengunjung,” ungkapnya seraya menambahkan, satu ekor ayam dapat membuat empat porsi sajian ayam bakar.
Menu tempat itu sendiri hanya menyediakan ayam bakar yang dibagi dalam dua pilihan, yaitu potongan dada atau potongan paha. Keunggulan dari sajian yang dihidangkan, tambah Joni, terletak pada rasa sambal yang diracik. “Banyak pengunjung yang menggemari rasa sambal buatan tempat kami,” tukasnya.
Untuk menu minuman, tempat itu pun hanya menyediakan minuman teh dan air jeruk yang dapat dipesan dengan penyajian panas atau disajikan dingin dengan es batu. “Satu porsi ayam bakar harganya Rp 8.500, sedangkan es teh manis Rp. 2.000 dan es jeruk Rp. 1.500,” papar Joni seraya menambahkan, pengunjung dapat memesan minuman botol dari beberapa kios di sebelah tempat makannya.
Di tengah perbincangan, potongan dada ayam bakar sesuai pesanan yang masih panas pun terhidang di hadapan lengkap dengan nasi putih, potongan ketimun dan kol yang segar serta seonggok sambal berwarna merah menyala. Tak lupa, segelas air teh tawar panas yang masih mengepulkan asap pun mengiringi sajiannya. Aroma khas ayam bakar seketika menyeruak menghantam indra penciuman. Sangat menantang selera.
Joni pun segera mempersilakan untuk menikmati hidangan yang tersaji. Meski tampilan menu istimewa tempat itu sangat sederhana, namun sangat mampu menerbitkan air liur di ujung mulut. Potongan ayam bakar yang berwarna coklat kehitam-hitaman tampak berkilauan karena proses pembakarannya menggunakan racikan minyak khusus untuk menambah rasa. Kilat-kilat cahaya yang terpancar dari ayam bakar itu sangat menyolok mata yang mendelik tanpa kedip menatapnya.
Santapan seperti itu, paling nikmat bila tidak menggunakan sendok maupun garpu. Dengan gaya tradisional alias memanfaatkan sendok buatan Sang Pencipta pun, sesuwir demi sesuwir daging ayam berbalut nasi dan sambal disantap. Daging ayamnya sangat empuk, menandakan proses pengungkepannya cukup memakan waktu. Hal itu tentu saja membuat racikan bumbu-bumbunya meresap, bahkan hingga ke dalam tulang.
Meski lidah ini mengatakan citarasa sambal yang disajikan masih kurang seuhah, secara utuh sambal itu sangat padu dengan nasi, lalapan, dan daging ayam bakar. Cukup membuat lidah ini bergoyang, apalagi ditambah dengan sebungkus plastik kerupuk kulit yang sangat garing dan renyah yang sudah tersedia di atas meja.
Menyantap sajian menu unggulan dan satu-satunya di Ayam Bakar Panas Taman Kencana memang cukup istimewa. Pantas saja, tempat itu selalu penuh dengan pengunjung yang terus berdatangan silih berganti. Benar-benar sajian menu yang mampu melepas rasa lelah dan mendatangkan semangat baru untuk mulai beraktivitas kembali.
Rudi D. Sukmana
Secangkir Kopi untuk Rasa Semangat
Bogor, Jurnal Bogor
Secangkir kopi membuat anda lebih semangat, begitulah sepenggal kalimat pada kemasan plastik sebuah produk kopi terkemuka. Secangkir kopi sendiri memiliki banyak kontroversi, banyak yang pro juga tidak sedikit yang kontra tentang manfaat dan kerugiannya.
Tak dipungkiri, penggemar kopi di Indonesia mayoritas adalah kaum adam. Segelas atau secangkir kopi merupakan sahabat akrab dengan sebatang rokok. Sepertinya menikmati secangkir kopi belumlah lengkap tanpa menghisap rajahan tembakau itu.
Seorang sahabat, sebutlah namanya Ki Batin yang menghidangkan secangkir kopi bertanya kepada saya, bagaimana rasa kopi yang disajikannya? Saya katakan kopi itu rasanya manis. “Anda berbohong kepada saya. Karena anda sendiri belum meminum kopi itu,” ujarnya santai lalu tersenyum.
Dikatakannya, banyak orang yang terjebak dengan rasa yang ada pada dirinya sendiri. Rasa yang didapat dari pengalaman hidupnya. Sebuah pisang berwarna kuning pun, bila ditanyakan bagaimana rasanya, orang akan dengan cepat menjawab rasa pisang berwarna kuning itu manis. Padahal, bisa jadi buah pisang yang dimaksud masih keras dengan rasa sepat. “Begitulah kebanyakan manusia sekarang ini, hidup dalam jebakan praduga dirinya sendiri, tanpa melalui proses pemaknaan hakikat,” terangnya.
Setelah mempersilakan untuk menyeruput kopi yang ternyata rasanya tidak terlalu manis itu, Ki Batin pun meneruskan pembicaraan. Secangkir kopi merupakan gambaran tentang kehidupan. Bagaimana gilingan biji kopi yang pahit setelah dicampur dengan butiran gula pasir yang manis dan secangkir air panas yang tawar, dapat menjadi satu hidangan padu yang banyak disuka. “Semua unsur dalam hidup haruslah baur, harus padu. Yang pahit, yang tawar, yang sepat, atau apapun haruslah terasa manis,” jelasnya.
Dilanjutkannya, hidup janganlah dibuat pahit, jangan pula dibuat terlalu manis. Nikmatnya hidup justru berada pada keseimbangan yang pas. Bagaimana bisa mengatakan jadi orang kaya enak, bila selalu ingin kaya? Dan bagaimana bisa mengatakan jadi orang miskin tidak enak, bila takut menjadi miskin? Oleh karena kaya menjadi ada disebabkan miskin, rasa manis menjadi ada sebab adanya rasa pahit, semuanya saling bergantung dan saling membutuhkan.
Dan secangkir kopi menjadi nikmat, bila rasa manis bergantung pada rasa pahit. Secangkir kopi pun akan menjadi nikmat, bila air panas berangsur menjadi air dingin. Secangkir kopi tetaplah menjadi secangkir kopi, yang mampu membangkitkan semangat baru bagi orang yang meminumnya.
Rudi D. Sukmana
Secangkir kopi membuat anda lebih semangat, begitulah sepenggal kalimat pada kemasan plastik sebuah produk kopi terkemuka. Secangkir kopi sendiri memiliki banyak kontroversi, banyak yang pro juga tidak sedikit yang kontra tentang manfaat dan kerugiannya.
Tak dipungkiri, penggemar kopi di Indonesia mayoritas adalah kaum adam. Segelas atau secangkir kopi merupakan sahabat akrab dengan sebatang rokok. Sepertinya menikmati secangkir kopi belumlah lengkap tanpa menghisap rajahan tembakau itu.
Seorang sahabat, sebutlah namanya Ki Batin yang menghidangkan secangkir kopi bertanya kepada saya, bagaimana rasa kopi yang disajikannya? Saya katakan kopi itu rasanya manis. “Anda berbohong kepada saya. Karena anda sendiri belum meminum kopi itu,” ujarnya santai lalu tersenyum.
Dikatakannya, banyak orang yang terjebak dengan rasa yang ada pada dirinya sendiri. Rasa yang didapat dari pengalaman hidupnya. Sebuah pisang berwarna kuning pun, bila ditanyakan bagaimana rasanya, orang akan dengan cepat menjawab rasa pisang berwarna kuning itu manis. Padahal, bisa jadi buah pisang yang dimaksud masih keras dengan rasa sepat. “Begitulah kebanyakan manusia sekarang ini, hidup dalam jebakan praduga dirinya sendiri, tanpa melalui proses pemaknaan hakikat,” terangnya.
Setelah mempersilakan untuk menyeruput kopi yang ternyata rasanya tidak terlalu manis itu, Ki Batin pun meneruskan pembicaraan. Secangkir kopi merupakan gambaran tentang kehidupan. Bagaimana gilingan biji kopi yang pahit setelah dicampur dengan butiran gula pasir yang manis dan secangkir air panas yang tawar, dapat menjadi satu hidangan padu yang banyak disuka. “Semua unsur dalam hidup haruslah baur, harus padu. Yang pahit, yang tawar, yang sepat, atau apapun haruslah terasa manis,” jelasnya.
Dilanjutkannya, hidup janganlah dibuat pahit, jangan pula dibuat terlalu manis. Nikmatnya hidup justru berada pada keseimbangan yang pas. Bagaimana bisa mengatakan jadi orang kaya enak, bila selalu ingin kaya? Dan bagaimana bisa mengatakan jadi orang miskin tidak enak, bila takut menjadi miskin? Oleh karena kaya menjadi ada disebabkan miskin, rasa manis menjadi ada sebab adanya rasa pahit, semuanya saling bergantung dan saling membutuhkan.
Dan secangkir kopi menjadi nikmat, bila rasa manis bergantung pada rasa pahit. Secangkir kopi pun akan menjadi nikmat, bila air panas berangsur menjadi air dingin. Secangkir kopi tetaplah menjadi secangkir kopi, yang mampu membangkitkan semangat baru bagi orang yang meminumnya.
Rudi D. Sukmana
Roti Unyil Venus
Kecil, Imut-imut, Enak dan Murah
Bogor, Jurnal Bogor
Berlokasi di komplek pertokoan yang bersebelahan dengan Ekalokasari Plaza, Roti Unyil Venus merupakan salah satu ikon kuliner Kota Hujan yang sudah dikenal di mana-mana. Sebelumnya, Roti Unyil Venus menempati sebuah toko di Jl. Siliwangi. “Baru pada 2007 kami pindah ke komplek ruko di Jl. Pajajaran ini,” ujar Miko, salah satu pengelola Roti Unyil Venus kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Miko, Roti Unyil Venus sudah membuka usahanya sejak 1992. “Pada waktu itu, roti unyil merupakan sebuah produk kuliner terbaru yang langsung digemari konsumen hingga saat ini,” tukasnya seraya menambahkan, Roti Unyil Venus disuka karena rasanya yang enak dengan harga yang sangat terjangkau.
Roti Unyil Venus sendiri, menurut Miko, telah lebih dari sepuluh bulan menempati lokasi baru di Jl Pajajaran, bersebelahan dengan Ekalokasari Plaza. Area toko Roti Unyil Venus di lokasi yang baru, tidak lebih luas dibanding toko lamanya. “Alasan kami pindah untuk meminimalisir kemacetan jalan. Di sini, jalannya relatif lebih lancar,” ujar Miko seraya menambahkan, investasi yang dikeluarkan untuk pindah lokasi, dan renovasi tempat itu lebih dari Rp 500 juta.
Kekuatan buzz marketing, diakui Miko sangat terbukti dalam menjaring konsumen yang lolos akibat kepindahan itu. “Empat bulan pertama setelah pindah, omset masih relatif sepi,” paparnya. Untungnya, para pelanggan setia segera mengetahui lokasi baru Roti Unyil Venus. Saat ini, menurut Miko, untuk membuat rotinya saja dibutuhkan lebih dari 250 kilogram tepung terigu per hari. Belum lagi bahan baku lainnya, seperti mentega, gula pasir, dan telur ayam.
Dikatakannya, menu roti yang dijual, terdiri dari 30 jenis dengan harga seribu rupiah per piece. “Rata-rata pengunjung membeli antara Rp. 15 ribu sampai Rp. 20 ribu sekali belanja,” ungkap Miko. Jenis roti yang paling digemari pembeli adalah roti jagung, roti coklat keju, roti daging asap sapi, dan roti coklat biasa.
Selain menyediakan makanan khas produksi sendiri, tempat itu juga menjajakan penganan-pengangan lain berupa jajanan pasar, baik kue-kue basah maupun kue-kue kering, seperti lemper, kue lapis, kue soes, kue talam, sampai ke telur asin untuk katagori kue-kue basah, dan cheese stick, nastangel, dan putih salju untuk katagori kue-kue kering. “Semua penganan kue-kue tambahan merupakan produksi dari beberapa kolega yang menitipkan barang dagangannya di tempat kami,” terang Miko.
Miko juga mengatakan, hingga saat ini konsep yang diusung tempat usahanya tetap akan dipertahankan. Karena produknya sendiri sangat cocok menjadi buah tangan atau oleh-oleh dari Kota Bogor, tempatnya tidak akan dirubah menjadi tempat makan berbentuk resto atau kafe. “Pembeli yang datang ke sini cukup membeli penganan yang diinginkan, dibungkus, dan dibawa pulan untuk oleh-oleh,” ujarnya.
Bahkan ke depan nanti, menurut Miko, usaha yang beromset lebih dari Rp 100 juta per bulan ini, tetap konsisten dengan format yang telah ada. Walaupun lebih dari 60 persen pelanggannya bukan warga Bogor, ia tidak berniat untuk membuka cabang. “Kami tetap mempertahankan Roti Unyil Venus sebagai ikon kami. “Roti unyil yang dibeli benar-benar fresh from the open, dan kami tidak ada niat untuk buka cabang,” ungkapnya.
Sisi unik roti unyil, merupakan keunggulan dari produk itu sendiri. Bentuk rotinya yang kecil, yang hanya mampu memenuhi satu suapan saja bagi mulut orang dewasa, ternyata disuka banyak pembeli. Selain jenisnya yang beragam, bentuk yang ditampilkan pun sangat mengundang selera untuk segera mencicipinya. “Kami memang sengaja membuat produk kami berkesan kecil, imut-imut, enak, beragam, dan murah,” ujar Miko.
Tertarik dengan penggambaran citarasa sepotong kecil Roti Unyil Venus, Jurnal Bogor lalu membeli sepuluh ragam roti itu sebagai oleh-oleh yang tentunya akan habis dalam perjalanan. Roti dengan variasi rasa dan bentuk itu pun terbungkus dalam kotak kardus bermerk. Setelah membayar sesuai order, dengan ringan kaki pun melangkah meninggalkan tempat itu.
Diperjalanan, satu per satu varian Roti Unyil Venus pun dicicipi. Rasanya sendiri, menurut lidah ini tidak segereget rasa Roti Unyil Venus yang dulu pernah saya rasakan. Roti Unyil Venus yang saat itu ada di tangan saya, kurang kelembutannya, padahal masih ada hawa panas fresh from the oven yang dirasakan tangan ini.
Meski rasa manis dan gurihnya terasa, tetapi sangat umum. Sangat sulit mencari sensasi rasa seperti yang dulu pernah dirasakan saat menikmati Roti Unyil Venus. Mungkin, karena saat ini sudah begitu banyak follower yang menawarkan citarasa yang lebih mumpuni dibandingkan sang pertama itu?
Meski demikian, nama besar Roti Unyil Venus cukup mampu menjual sensasi tersendiri. Roti itu memang sudah menjadi ikon Kota Hujan yang dicari para penggemar setianya. Pembeli akan dengan bangga menunjukkan oleh-oleh Roti Unyil Venus kepada orang yang menerimanya. “Oleh-oleh yang kubawa dari Kota Hujan Roti Unyil Venus, gitu lho!”
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Berlokasi di komplek pertokoan yang bersebelahan dengan Ekalokasari Plaza, Roti Unyil Venus merupakan salah satu ikon kuliner Kota Hujan yang sudah dikenal di mana-mana. Sebelumnya, Roti Unyil Venus menempati sebuah toko di Jl. Siliwangi. “Baru pada 2007 kami pindah ke komplek ruko di Jl. Pajajaran ini,” ujar Miko, salah satu pengelola Roti Unyil Venus kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Miko, Roti Unyil Venus sudah membuka usahanya sejak 1992. “Pada waktu itu, roti unyil merupakan sebuah produk kuliner terbaru yang langsung digemari konsumen hingga saat ini,” tukasnya seraya menambahkan, Roti Unyil Venus disuka karena rasanya yang enak dengan harga yang sangat terjangkau.
Roti Unyil Venus sendiri, menurut Miko, telah lebih dari sepuluh bulan menempati lokasi baru di Jl Pajajaran, bersebelahan dengan Ekalokasari Plaza. Area toko Roti Unyil Venus di lokasi yang baru, tidak lebih luas dibanding toko lamanya. “Alasan kami pindah untuk meminimalisir kemacetan jalan. Di sini, jalannya relatif lebih lancar,” ujar Miko seraya menambahkan, investasi yang dikeluarkan untuk pindah lokasi, dan renovasi tempat itu lebih dari Rp 500 juta.
Kekuatan buzz marketing, diakui Miko sangat terbukti dalam menjaring konsumen yang lolos akibat kepindahan itu. “Empat bulan pertama setelah pindah, omset masih relatif sepi,” paparnya. Untungnya, para pelanggan setia segera mengetahui lokasi baru Roti Unyil Venus. Saat ini, menurut Miko, untuk membuat rotinya saja dibutuhkan lebih dari 250 kilogram tepung terigu per hari. Belum lagi bahan baku lainnya, seperti mentega, gula pasir, dan telur ayam.
Dikatakannya, menu roti yang dijual, terdiri dari 30 jenis dengan harga seribu rupiah per piece. “Rata-rata pengunjung membeli antara Rp. 15 ribu sampai Rp. 20 ribu sekali belanja,” ungkap Miko. Jenis roti yang paling digemari pembeli adalah roti jagung, roti coklat keju, roti daging asap sapi, dan roti coklat biasa.
Selain menyediakan makanan khas produksi sendiri, tempat itu juga menjajakan penganan-pengangan lain berupa jajanan pasar, baik kue-kue basah maupun kue-kue kering, seperti lemper, kue lapis, kue soes, kue talam, sampai ke telur asin untuk katagori kue-kue basah, dan cheese stick, nastangel, dan putih salju untuk katagori kue-kue kering. “Semua penganan kue-kue tambahan merupakan produksi dari beberapa kolega yang menitipkan barang dagangannya di tempat kami,” terang Miko.
Miko juga mengatakan, hingga saat ini konsep yang diusung tempat usahanya tetap akan dipertahankan. Karena produknya sendiri sangat cocok menjadi buah tangan atau oleh-oleh dari Kota Bogor, tempatnya tidak akan dirubah menjadi tempat makan berbentuk resto atau kafe. “Pembeli yang datang ke sini cukup membeli penganan yang diinginkan, dibungkus, dan dibawa pulan untuk oleh-oleh,” ujarnya.
Bahkan ke depan nanti, menurut Miko, usaha yang beromset lebih dari Rp 100 juta per bulan ini, tetap konsisten dengan format yang telah ada. Walaupun lebih dari 60 persen pelanggannya bukan warga Bogor, ia tidak berniat untuk membuka cabang. “Kami tetap mempertahankan Roti Unyil Venus sebagai ikon kami. “Roti unyil yang dibeli benar-benar fresh from the open, dan kami tidak ada niat untuk buka cabang,” ungkapnya.
Sisi unik roti unyil, merupakan keunggulan dari produk itu sendiri. Bentuk rotinya yang kecil, yang hanya mampu memenuhi satu suapan saja bagi mulut orang dewasa, ternyata disuka banyak pembeli. Selain jenisnya yang beragam, bentuk yang ditampilkan pun sangat mengundang selera untuk segera mencicipinya. “Kami memang sengaja membuat produk kami berkesan kecil, imut-imut, enak, beragam, dan murah,” ujar Miko.
Tertarik dengan penggambaran citarasa sepotong kecil Roti Unyil Venus, Jurnal Bogor lalu membeli sepuluh ragam roti itu sebagai oleh-oleh yang tentunya akan habis dalam perjalanan. Roti dengan variasi rasa dan bentuk itu pun terbungkus dalam kotak kardus bermerk. Setelah membayar sesuai order, dengan ringan kaki pun melangkah meninggalkan tempat itu.
Diperjalanan, satu per satu varian Roti Unyil Venus pun dicicipi. Rasanya sendiri, menurut lidah ini tidak segereget rasa Roti Unyil Venus yang dulu pernah saya rasakan. Roti Unyil Venus yang saat itu ada di tangan saya, kurang kelembutannya, padahal masih ada hawa panas fresh from the oven yang dirasakan tangan ini.
Meski rasa manis dan gurihnya terasa, tetapi sangat umum. Sangat sulit mencari sensasi rasa seperti yang dulu pernah dirasakan saat menikmati Roti Unyil Venus. Mungkin, karena saat ini sudah begitu banyak follower yang menawarkan citarasa yang lebih mumpuni dibandingkan sang pertama itu?
Meski demikian, nama besar Roti Unyil Venus cukup mampu menjual sensasi tersendiri. Roti itu memang sudah menjadi ikon Kota Hujan yang dicari para penggemar setianya. Pembeli akan dengan bangga menunjukkan oleh-oleh Roti Unyil Venus kepada orang yang menerimanya. “Oleh-oleh yang kubawa dari Kota Hujan Roti Unyil Venus, gitu lho!”
Rudi D. Sukmana
Colenak Pak Tohir, Tanpa Dicocol Tetap Enak
Bogor, Jurnal Bogor
Sebagai salah satu penganan yang berasal dari Bandung, colenak mempunyai penggemar sendiri di Kota Bogor. Colenak sebagai singkatan nama penganan yang berarti dicocol enak (bahasa Sunda), merupakan makanan yang dibuat dari peuyeum (tape singkong) yang dibakar kemudian disajikan dengan saus yang terbuat dari parutan kelapa dan gula merah.
Makanan khas Bandung itu masih bertahan, meski saat ini agak jarang yang menjualnya. Salah satu penjual colenak yang mampu bertahan di Kota Bogor dapat ditemui di ujung Jl. Roda, dekat pertigaan Gang Aut. Lokasi tempat jualannya sendiri menempel pada tembok.
Menurut Muhammad Tohir, penjual colenak, ia sudah menjual colenak di tempat itu sejak 1980. “Saya mungkin termasuk generasi pertama yang menjual colenak di Kota Bogor,” ujar Tohir kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Tohir, dekade 1980, colenak pernah mengalami masa jayanya sehingga banyak orang yang menjual penganan itu. “Sekarang ini, penjual lain sudah tidak ada lagi. Mungkin ganti usaha,” tukasnya.
Sebagai penjual colenak terlama di Kota Bogor, Tohir mengatakan, hingga saat ini rasa dari penganan yang dijajakannya tetap dipertahankan seperti awal colenak menjadi primadona. “Banyak yang memodifikasi colenak dengan beragam rasa, misalnya dengan keju. Tapi rasa sejati colenaknya jadi hilang,” terangnya.
Colenak yang asli, dikatakan Tohir, dibuat dari peuyeum dan pisang oli yang dipanggang hingga agak kehitaman. Setelah itu, peuyeum dan pisang panggang itu disajikan di atas piring dan diberi kelapa muda, kemudian dituangi air santan, air gula merah, dan hunti. “Dulu orang menyantapnya dengan tusuk sate sambil dicocol, makanya namanya colenak. Kini, pembeli lebih menyukai sendok,” paparnya.
Selain colenak, Tohir juga menyajikan sorabi khas Bandung. Sorabi berwarna hijau itu, dikatakannya, memiliki penggemar yang sama dengan penggemar colenak. Colenak dan sorabi yang terbuat dari tepung beras itu, dalam sehari terjual 100 porsi. “Banyak yang datang ke tempat saya untuk membeli kedua jenis penganan manis ini,” ucapnya.
Dengan memasang harga per porsi Rp. 4.000 untuk colenak dan sorabinya, Tohir mengatakan, saat ini sangat sulit untuk mendapatkan bahan baku masakan yang mampu mendatangkan keuntungan maksimal. “Saya sudah tiga tahun tidak menaikkan harga jualan saya. Yang penting keuntungannya cukup buat makan sehari saja, sudah cukup buat saya,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
Sebagai salah satu penganan yang berasal dari Bandung, colenak mempunyai penggemar sendiri di Kota Bogor. Colenak sebagai singkatan nama penganan yang berarti dicocol enak (bahasa Sunda), merupakan makanan yang dibuat dari peuyeum (tape singkong) yang dibakar kemudian disajikan dengan saus yang terbuat dari parutan kelapa dan gula merah.
Makanan khas Bandung itu masih bertahan, meski saat ini agak jarang yang menjualnya. Salah satu penjual colenak yang mampu bertahan di Kota Bogor dapat ditemui di ujung Jl. Roda, dekat pertigaan Gang Aut. Lokasi tempat jualannya sendiri menempel pada tembok.
Menurut Muhammad Tohir, penjual colenak, ia sudah menjual colenak di tempat itu sejak 1980. “Saya mungkin termasuk generasi pertama yang menjual colenak di Kota Bogor,” ujar Tohir kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Tohir, dekade 1980, colenak pernah mengalami masa jayanya sehingga banyak orang yang menjual penganan itu. “Sekarang ini, penjual lain sudah tidak ada lagi. Mungkin ganti usaha,” tukasnya.
Sebagai penjual colenak terlama di Kota Bogor, Tohir mengatakan, hingga saat ini rasa dari penganan yang dijajakannya tetap dipertahankan seperti awal colenak menjadi primadona. “Banyak yang memodifikasi colenak dengan beragam rasa, misalnya dengan keju. Tapi rasa sejati colenaknya jadi hilang,” terangnya.
Colenak yang asli, dikatakan Tohir, dibuat dari peuyeum dan pisang oli yang dipanggang hingga agak kehitaman. Setelah itu, peuyeum dan pisang panggang itu disajikan di atas piring dan diberi kelapa muda, kemudian dituangi air santan, air gula merah, dan hunti. “Dulu orang menyantapnya dengan tusuk sate sambil dicocol, makanya namanya colenak. Kini, pembeli lebih menyukai sendok,” paparnya.
Selain colenak, Tohir juga menyajikan sorabi khas Bandung. Sorabi berwarna hijau itu, dikatakannya, memiliki penggemar yang sama dengan penggemar colenak. Colenak dan sorabi yang terbuat dari tepung beras itu, dalam sehari terjual 100 porsi. “Banyak yang datang ke tempat saya untuk membeli kedua jenis penganan manis ini,” ucapnya.
Dengan memasang harga per porsi Rp. 4.000 untuk colenak dan sorabinya, Tohir mengatakan, saat ini sangat sulit untuk mendapatkan bahan baku masakan yang mampu mendatangkan keuntungan maksimal. “Saya sudah tiga tahun tidak menaikkan harga jualan saya. Yang penting keuntungannya cukup buat makan sehari saja, sudah cukup buat saya,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
Ginszie Cafe
Café dengan Menu Masakan Oriental
Bogor, Jurnal Bogor
Dengan lokasi strategis menempati ruko tiga lantai di Jl. Siliwangi No.1A Sukasari, Ginszie Café hadir sebagai tempat yang cukup menyenangkan untuk hang out bersama rekan. Ruko yang direnovasi menjadi tempat makan itu, menyediakan berbagai menu makanan dan minuman dengan sajian menu utama masakan bercitarasa oriental, seperti dim sum, noodle, dan kalian. “Selain itu kami juga menyediakan menu masakan Jepang seperti sapo dan teriyaki serta menu masakan Indonesia seperti kangkung hot plate dan gurame asam manis,” ujar Corrie S., marketing executive Ginszie Café kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Corrie, tempat yang ikut dikelolanya itu sudah beroperasi sejak 2001. Kafe itu sendiri menyediakan lebih dari 100 kursi untuk tiga lantai tempat makannya. “Tempat kami sudah sering dipakai untuk acara ulang tahun, arisan, meeting, sampai pesta pernikahan,” terangnya. Di lantai dua dan lantai tiga, imbuhnya, ruangan yang tersedia lebih besar dibandingkan lantai pertama. “Bisa menampung lebih dari 200 orang pada satu lantai,” lanjutnya.
Meski mengusung nama kafe, konsep tempatnya sendiri lebih cenderung ke arah resto. “Keunggulan tempat kami, karena menghadap langsung ke Jl. Siliwangi, sehingga pengunjung dapat melihat langsung kesibukan lalulintas sambil menikmati menu yang kami sajikan,” ujarnya seraya menambahkan, Festival Capgomeh nanti yang akan melintasi tempatnya, paling nyaman duduk bersandar di kafenya berteman menu-menu istimewa sambil menonton pertunjukan-pertunjukan kebudayaan yang lewat beriringan.
Corrie juga menambahkan, Ginszie Café yang memiliki karyawan berjumlah 10 orang itu dibuka setiap hari kecuali Senin mulai pukul 10.00 sampai 21.30. “Untuk Sabtu malam, kami buka sampai pukul 22.30 karena biasanya tempat kami tetap ramai sampai menjelang tutup pada hari itu,” jelasnya.
Menu makanan dan minuman yang disediakan di kafe itu lebih dari 100 jenis. Untuk makanan, kafe itu mengandalkan masakan dim sum yang dibagi menjadi dua jenis, yaitu steam dim sum, seperti hakao, siomai, kaki ayam, chasio pao, cikaw, cien pao, dan na yu mas. Sedangkan fried dim sum, menyajikan masakan-masakan seperti lumpia udang, lumpia tausa, pangsit udang, bola kumis naga, dan fried cien pao. “Menu dim sum kami jual dengan harga per porsi Rp. 12.00,” papar Corrie.
Selain dim sum sebagai menu favorit, tempat itu juga menyediakan bubur ayam ala Hong Kong yang diberi harga Rp. 11.000. Favorit menu yang lain, adalah nasi goring sea food seharga Rp. 15.000, dan pu yung hai dengan harga Rp. 16.500 per porsi.
Untuk menu minuman, Corrie menjelaskan, mocktail merupakan jenis menu minuman yang paling banyak dipesan pengunjung tempatnya. “Hampir semua menu mocktail kami digemari pengunjung,” ujarnya.
Mocktail yang terdiri dari sembilan jenis minuman dengan nama asing itu, seperti Slim ‘n Trim, Shirley Temple, Sunset Beach, Waterfall, Lemon Squash, Orange Squash, Thai Coffee, Happy Soda, dan Milky Soda dibandrol dengan harga mulai Rp. 7.000 sampai Rp. 13.000.
Menu lain yang digemari, lanjut Corrie, adalah dessert yang menyediakan ice cream sundae mix dengan harga Rp. 12.000, Sundae Apricot, Tropical Fruit, Peanut Ice Cream, Chocolate Rock Sundae, dan Cappucinoes yang dijual dengan harga Rp. 10.000, dan Aloha Fruit Punch sebagai menu minuman termahal dengan harga Rp. 17.500.
Tertarik dengan dim sum dalam pencarian Sang Rasa Jati, akhirnya hakao dan bola kumis naga pun tersaji di atas meja. Tak lupa, minuman kebangsaan pun menyertai, yaitu teh tawar panas yang kali ini bercitarasa oriental. Pada daftar menu teh itu tertulis sebagai Chinese Tea dengan harga Rp. 8.000.
Bentuk bola kumis naga ditampilkan sangat unik, rasanya sendiri cukup umum, namun memiliki nuansa lebih gurih pada serabut pangsitnya. Hakao sendiri, memang cukup sensasional rasanya. Gurihnya pas apalagi bila dicocol dengan sambal khusus dim sumnya.
Kenikmatan lagi-lagi sempurna, setelah Chinese Tea pun direguk masuk ke dalam tenggorokan. Rasa the hijaunya sangat kental. Sepat, namun memberikan kesegaran tersendiri. Segar, namun memberikan kenikmatan tersendiri. Nikmat, karena rasa sepat teh hijau yang dicitakan begitu kental menguasai seluruh bagian lidah. Dan hijau, karena mampu menghadirkan warna-warni indah yang bercokol di dalam diri keluar. Sempurna.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Dengan lokasi strategis menempati ruko tiga lantai di Jl. Siliwangi No.1A Sukasari, Ginszie Café hadir sebagai tempat yang cukup menyenangkan untuk hang out bersama rekan. Ruko yang direnovasi menjadi tempat makan itu, menyediakan berbagai menu makanan dan minuman dengan sajian menu utama masakan bercitarasa oriental, seperti dim sum, noodle, dan kalian. “Selain itu kami juga menyediakan menu masakan Jepang seperti sapo dan teriyaki serta menu masakan Indonesia seperti kangkung hot plate dan gurame asam manis,” ujar Corrie S., marketing executive Ginszie Café kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Corrie, tempat yang ikut dikelolanya itu sudah beroperasi sejak 2001. Kafe itu sendiri menyediakan lebih dari 100 kursi untuk tiga lantai tempat makannya. “Tempat kami sudah sering dipakai untuk acara ulang tahun, arisan, meeting, sampai pesta pernikahan,” terangnya. Di lantai dua dan lantai tiga, imbuhnya, ruangan yang tersedia lebih besar dibandingkan lantai pertama. “Bisa menampung lebih dari 200 orang pada satu lantai,” lanjutnya.
Meski mengusung nama kafe, konsep tempatnya sendiri lebih cenderung ke arah resto. “Keunggulan tempat kami, karena menghadap langsung ke Jl. Siliwangi, sehingga pengunjung dapat melihat langsung kesibukan lalulintas sambil menikmati menu yang kami sajikan,” ujarnya seraya menambahkan, Festival Capgomeh nanti yang akan melintasi tempatnya, paling nyaman duduk bersandar di kafenya berteman menu-menu istimewa sambil menonton pertunjukan-pertunjukan kebudayaan yang lewat beriringan.
Corrie juga menambahkan, Ginszie Café yang memiliki karyawan berjumlah 10 orang itu dibuka setiap hari kecuali Senin mulai pukul 10.00 sampai 21.30. “Untuk Sabtu malam, kami buka sampai pukul 22.30 karena biasanya tempat kami tetap ramai sampai menjelang tutup pada hari itu,” jelasnya.
Menu makanan dan minuman yang disediakan di kafe itu lebih dari 100 jenis. Untuk makanan, kafe itu mengandalkan masakan dim sum yang dibagi menjadi dua jenis, yaitu steam dim sum, seperti hakao, siomai, kaki ayam, chasio pao, cikaw, cien pao, dan na yu mas. Sedangkan fried dim sum, menyajikan masakan-masakan seperti lumpia udang, lumpia tausa, pangsit udang, bola kumis naga, dan fried cien pao. “Menu dim sum kami jual dengan harga per porsi Rp. 12.00,” papar Corrie.
Selain dim sum sebagai menu favorit, tempat itu juga menyediakan bubur ayam ala Hong Kong yang diberi harga Rp. 11.000. Favorit menu yang lain, adalah nasi goring sea food seharga Rp. 15.000, dan pu yung hai dengan harga Rp. 16.500 per porsi.
Untuk menu minuman, Corrie menjelaskan, mocktail merupakan jenis menu minuman yang paling banyak dipesan pengunjung tempatnya. “Hampir semua menu mocktail kami digemari pengunjung,” ujarnya.
Mocktail yang terdiri dari sembilan jenis minuman dengan nama asing itu, seperti Slim ‘n Trim, Shirley Temple, Sunset Beach, Waterfall, Lemon Squash, Orange Squash, Thai Coffee, Happy Soda, dan Milky Soda dibandrol dengan harga mulai Rp. 7.000 sampai Rp. 13.000.
Menu lain yang digemari, lanjut Corrie, adalah dessert yang menyediakan ice cream sundae mix dengan harga Rp. 12.000, Sundae Apricot, Tropical Fruit, Peanut Ice Cream, Chocolate Rock Sundae, dan Cappucinoes yang dijual dengan harga Rp. 10.000, dan Aloha Fruit Punch sebagai menu minuman termahal dengan harga Rp. 17.500.
Tertarik dengan dim sum dalam pencarian Sang Rasa Jati, akhirnya hakao dan bola kumis naga pun tersaji di atas meja. Tak lupa, minuman kebangsaan pun menyertai, yaitu teh tawar panas yang kali ini bercitarasa oriental. Pada daftar menu teh itu tertulis sebagai Chinese Tea dengan harga Rp. 8.000.
Bentuk bola kumis naga ditampilkan sangat unik, rasanya sendiri cukup umum, namun memiliki nuansa lebih gurih pada serabut pangsitnya. Hakao sendiri, memang cukup sensasional rasanya. Gurihnya pas apalagi bila dicocol dengan sambal khusus dim sumnya.
Kenikmatan lagi-lagi sempurna, setelah Chinese Tea pun direguk masuk ke dalam tenggorokan. Rasa the hijaunya sangat kental. Sepat, namun memberikan kesegaran tersendiri. Segar, namun memberikan kenikmatan tersendiri. Nikmat, karena rasa sepat teh hijau yang dicitakan begitu kental menguasai seluruh bagian lidah. Dan hijau, karena mampu menghadirkan warna-warni indah yang bercokol di dalam diri keluar. Sempurna.
Rudi D. Sukmana
Cakwe dan Roti Bantal Gunung Batu
Bogor, Jurnal Bogor
Mungkin hampir sebagian besar supir angkot 03 dan 02 yang kebetulan memiliki satu tujuan sama yaitu ke terminal Bubulak mengenal pedagang satu ini. Seingnya para supir angkot itu melewati Jl. Raya Mayjen Ishak Djuarsa yang dulu lebih dikenal dengan nama Jl. Raya Gunung Batu itu, apalagi ditambah dengan kondisi jalanan yang macet dan semrawut pasti membuat hati para supir sering kesal.
Untuk menawar hati yang kesal, sarana terampuh adalah menyantap satu makanan. Cakwe dan roti bantal pun cocok sebagai penawarnya. Tak heran, penjual cakwe dan roti bantal yang biasa mangkal di pinggir jalan dekat Photo Anyar itu selalu habis dagangannya. “Sehari, saya biasanya menghabiskan 20 kilogram tepung terigu. Kadang lebih,” ungkap Ali, pedagang Cakwe dan Roti Bantal Gunung Batu kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Ali, ia beserta istrinya berusaha memenuhi selera para pelintas jalan yang lewat di depan dagangannya. Usahanya itu sendiri sudah dirintisnya sejak 2001 lalu. “Awalnya sedih, Mas. Rasanya mau ganti usaha aja,” tuturnya menceritakan suka-dukanya berdagang kue gorengan itu.
Setiap hari, Ali membuka dagangan sejak pukul 5.00. “Pagi hari merupakan jam sibuk saya. Saya harus cepat mengadon tepung, memotong-motongnya, dan menggoreng,” jelasnya. Hal itu dilakukannya, karena pagi hari merupakan waktu di mana dagangannya banyak dibeli para pelintas jalan yang lewat.
“Prinsip saya, mesti jual dulu sebanyak-banyaknya dan secepat mungkin pada waktu jam laku. Setelah itu, tinggal menunggu menghabiskan barang dagangan,” papar Ali seraya menambahkan, biasanya tidak lebih dari pukul 14.00, ia sudah menutup gerobaknya dan kembali pulang ke rumah.
Rasa cakwe dan roti bantal hasil olahan Ali sendiri, memang cukup umum. Namun hal itu justru merupakan keunggulan barang dagangannya. “Saya memang tidak bisa menjual makanan yang rasanya aneh-aneh. Yang umum saja, yang banyak orang suka,” tukasnya.
Ketika ditanyakan kepada Ali, kemana gerangan tukang somay misterius rasa jati yang pernah ikut mangkal di sebelahnya? Ali hanya tersenyum dan menatap penuh arti. “Memang banyak yang menanyakan kepada saya, tapi Mas tahu sendirilah,” sahutnya lalu tertawa.
Rudi D. Sukmana
Mungkin hampir sebagian besar supir angkot 03 dan 02 yang kebetulan memiliki satu tujuan sama yaitu ke terminal Bubulak mengenal pedagang satu ini. Seingnya para supir angkot itu melewati Jl. Raya Mayjen Ishak Djuarsa yang dulu lebih dikenal dengan nama Jl. Raya Gunung Batu itu, apalagi ditambah dengan kondisi jalanan yang macet dan semrawut pasti membuat hati para supir sering kesal.
Untuk menawar hati yang kesal, sarana terampuh adalah menyantap satu makanan. Cakwe dan roti bantal pun cocok sebagai penawarnya. Tak heran, penjual cakwe dan roti bantal yang biasa mangkal di pinggir jalan dekat Photo Anyar itu selalu habis dagangannya. “Sehari, saya biasanya menghabiskan 20 kilogram tepung terigu. Kadang lebih,” ungkap Ali, pedagang Cakwe dan Roti Bantal Gunung Batu kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Ali, ia beserta istrinya berusaha memenuhi selera para pelintas jalan yang lewat di depan dagangannya. Usahanya itu sendiri sudah dirintisnya sejak 2001 lalu. “Awalnya sedih, Mas. Rasanya mau ganti usaha aja,” tuturnya menceritakan suka-dukanya berdagang kue gorengan itu.
Setiap hari, Ali membuka dagangan sejak pukul 5.00. “Pagi hari merupakan jam sibuk saya. Saya harus cepat mengadon tepung, memotong-motongnya, dan menggoreng,” jelasnya. Hal itu dilakukannya, karena pagi hari merupakan waktu di mana dagangannya banyak dibeli para pelintas jalan yang lewat.
“Prinsip saya, mesti jual dulu sebanyak-banyaknya dan secepat mungkin pada waktu jam laku. Setelah itu, tinggal menunggu menghabiskan barang dagangan,” papar Ali seraya menambahkan, biasanya tidak lebih dari pukul 14.00, ia sudah menutup gerobaknya dan kembali pulang ke rumah.
Rasa cakwe dan roti bantal hasil olahan Ali sendiri, memang cukup umum. Namun hal itu justru merupakan keunggulan barang dagangannya. “Saya memang tidak bisa menjual makanan yang rasanya aneh-aneh. Yang umum saja, yang banyak orang suka,” tukasnya.
Ketika ditanyakan kepada Ali, kemana gerangan tukang somay misterius rasa jati yang pernah ikut mangkal di sebelahnya? Ali hanya tersenyum dan menatap penuh arti. “Memang banyak yang menanyakan kepada saya, tapi Mas tahu sendirilah,” sahutnya lalu tertawa.
Rudi D. Sukmana
Warung Khas Bangka
Nah, Ini Baru Namanya Kuah
Bogor, Jurnal Bogor
Yang namanya mie ayam, biasanya memiliki dua citarasa yang berbeda. Mie ayam yang sering ditemukan dan dijual pedagangnya dengan gerobak biasanya dikatagorikan sebagi mie ayam Jawa. Mie jenis ini dapat diketahui dari rasa kuah dan daging ayam olahannya yang dibuat dengan berbagai racikan bumbu dapur, seperti jahe, laos, dan sereh. Sedangkan satu lagi yang umum adalah mie ayam Bangka, dengan rasa yang tidak terlalu kaya bumbu dapur.
Meski tidak semua orang menyukai pesanan mie ayamnya dibanjiri kuah, sebenarnya kunci utama dari rasa mie ayam bukan terletak pada mie atau ayam yang disajikan. Kuah semangkuk mie ayam justru merupakan penentu dasar apakah sebuah hidangan mie ayam baik itu mie ayam Jawa maupun mie ayam Bangka dapat dikatakan berhasil.
Hal itulah yang diperhatikan dari sajian semangkuk mie ayam di Warung Khas Bangka. Tempat makan yang terletak di Jl. Raya Mayjen Ishak Djuarsa No.65 itu, ternyata menyajikan suatu hidangan mie bercitarasa Bangka yang kuahnya sangat mumpuni. Meski kuahnya disajikan terpisah dengan mie yang sudah ditaburi dengan rajahan daging ayam tanpa air seperti yang lazim ada di sajian mie ayam Jawa, sangat sayang bila kuahnya tidak turut diseruput dalam menggali kenikmatan pada semangkuk mie ayam.
Menurut Rita Sundari, pemilik Warung Khas Bangka, tempat yang dikelolanya sudah dibuka sejak Maret 2007 lalu. Hingga saat ini, dikatakannya, banyak pengunjung yang keranjingan dengan citarasa mie, kwe tiau dan miehun ayam ala Warung Khas Bangka. “Kebanyakan pengunjung yang datang ke tempat kami memang penyuka makan mie ayam. Jadi mereka sudah bisa menilai sendiri citarasa mie yang kami sajikan,” ujar Rita kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Aktivitas Rita yang sangat sibuk, memaksa dirinya untuk meninggalkan Jurnal Bogor yang mendatangi tempatnya. Untuk itu, Rita menunjuk salah seorang karyawannya, Tatang Jumena, mewakili ia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Menurut Mang Ocan, sapaan akrab Tatang Jumena, hakikat rasa mie yang disajikan di Warung Khas Bangka tidak bisa dicicipi sendiri-sendiri. “Kami memasak dalam satu sajian menu yang utuh. Ada mie, lauk-pauknya seperti potongan ayam, bakso, jamur, dan pangsit basah, juga ada sayuran setcin dan kuah. Semua itu jadi padu dalam satu sajian, satu porsi mie ayam komplit,” terangnya lalu tersenyum.
Meskipun demikian, lanjut Ocan, bila ingin mencicipinya secara satu per satu pun boleh dicoba. “Yang dinamakan menu istimewa itu, karena semua unsur yang ada pada menu itu memiliki rasa yang istimewa. Ada satu unsur kecil saja yang tidak istimewa, sudah gugur predikat menu istimewanya,” paparnya.
Sekilas pelajaran rasa pun didapat Jurnal Bogor sampai akhirnya sajian mie ayam komplit yang terdiri dari bakso, pangsit, dan jamur serta segelas es campur dan juice alpukat pun tersaji di atas meja.
Satu porsi mie ayam komplit diberi harga Rp. 9.000, sedangkan es campur dibandrol dengan harga Rp. 6.000 dan juice alpukat Rp. 6.000. Tampilan sajiannya sendiri cukup menarik, meskipun umum. Mungkin karena baru saja discharge tentang hakikat rasa oleh Mang Ocan itu.
Ternyata, apa yang baru saja disampaikan mampu terwujud dalam hidangan itu. Mencicipi satu persatu maupun sekaligus dari satu menu yang telah dibuat itu sangat nyata istimewanya. Mienya sudah memiliki rasa sendiri, rasa yang kental dengan nuansa gurih, kenyal namun lembut. Baksonya pun demikian, begitu empuk dan tanpa hambatan apapun ketika menggigitnya.
Satu per satu masakan yang dicicipi, masing-masing menyuguhkan pengalaman rasa yang berbeda. Pangsit basahnya yang licin menggelosor di tenggorokan, tahu isi baksonya, ayam dan jamurnya pun sarua bae, setcinnya, bawang gorengnya, hingga ke potongan daun bawang, semuanya jadi istimewa. Ajib dan mantab.
Tak ayal, akhirnya semua itu pun dicampur dalam satu mangkuk. Sambil mengaduk-aduk mie itu dengan saus sambal, asap yang keluar mengepul pun asyik ditiup-tiup. Mang Ocan sendiri, sudah sejak tadi meninggalkan meja makan sengaja membiarkan supaya dapat menikmati keistimewaan rasa Warung Khas Bangka.
Selesai satu mangkuk mie ayam komplit, es campur pun mendapat giliran kedua. Semua citarasa manis bercampur menjadi satu sajian es. Potongan lemon, kolang-kaling, cingcau hitam, agar-agar, alpukat, dan rumput laut padu dalam nuansa warna merah yang manis namun tidak keblinger.
Meski mulut ini masih sibuk mengunyah potongan-potongan segar es campur, rasanya nikmat bila dipadu dengan juice alpukat. Nyatanya, juice alpukat yang disajikan di Warung Khas Bangka sendiri memiliki kepekatan yang kental. Rasa susu kental manisnya pun muncul ke permukaan. Sungguh segar.
Dalam segi keistimewaan citarasa, sajian menu yang dihidangkan Warung Khas Bangka memang memiliki reputasi kuliner tersendiri. Warung itu layak untuk direkomendasikan bagi para petualang rasa jati yang hobi pada masakan mie ayam, karena harganya pun sangat terjangkau.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Yang namanya mie ayam, biasanya memiliki dua citarasa yang berbeda. Mie ayam yang sering ditemukan dan dijual pedagangnya dengan gerobak biasanya dikatagorikan sebagi mie ayam Jawa. Mie jenis ini dapat diketahui dari rasa kuah dan daging ayam olahannya yang dibuat dengan berbagai racikan bumbu dapur, seperti jahe, laos, dan sereh. Sedangkan satu lagi yang umum adalah mie ayam Bangka, dengan rasa yang tidak terlalu kaya bumbu dapur.
Meski tidak semua orang menyukai pesanan mie ayamnya dibanjiri kuah, sebenarnya kunci utama dari rasa mie ayam bukan terletak pada mie atau ayam yang disajikan. Kuah semangkuk mie ayam justru merupakan penentu dasar apakah sebuah hidangan mie ayam baik itu mie ayam Jawa maupun mie ayam Bangka dapat dikatakan berhasil.
Hal itulah yang diperhatikan dari sajian semangkuk mie ayam di Warung Khas Bangka. Tempat makan yang terletak di Jl. Raya Mayjen Ishak Djuarsa No.65 itu, ternyata menyajikan suatu hidangan mie bercitarasa Bangka yang kuahnya sangat mumpuni. Meski kuahnya disajikan terpisah dengan mie yang sudah ditaburi dengan rajahan daging ayam tanpa air seperti yang lazim ada di sajian mie ayam Jawa, sangat sayang bila kuahnya tidak turut diseruput dalam menggali kenikmatan pada semangkuk mie ayam.
Menurut Rita Sundari, pemilik Warung Khas Bangka, tempat yang dikelolanya sudah dibuka sejak Maret 2007 lalu. Hingga saat ini, dikatakannya, banyak pengunjung yang keranjingan dengan citarasa mie, kwe tiau dan miehun ayam ala Warung Khas Bangka. “Kebanyakan pengunjung yang datang ke tempat kami memang penyuka makan mie ayam. Jadi mereka sudah bisa menilai sendiri citarasa mie yang kami sajikan,” ujar Rita kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Aktivitas Rita yang sangat sibuk, memaksa dirinya untuk meninggalkan Jurnal Bogor yang mendatangi tempatnya. Untuk itu, Rita menunjuk salah seorang karyawannya, Tatang Jumena, mewakili ia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Menurut Mang Ocan, sapaan akrab Tatang Jumena, hakikat rasa mie yang disajikan di Warung Khas Bangka tidak bisa dicicipi sendiri-sendiri. “Kami memasak dalam satu sajian menu yang utuh. Ada mie, lauk-pauknya seperti potongan ayam, bakso, jamur, dan pangsit basah, juga ada sayuran setcin dan kuah. Semua itu jadi padu dalam satu sajian, satu porsi mie ayam komplit,” terangnya lalu tersenyum.
Meskipun demikian, lanjut Ocan, bila ingin mencicipinya secara satu per satu pun boleh dicoba. “Yang dinamakan menu istimewa itu, karena semua unsur yang ada pada menu itu memiliki rasa yang istimewa. Ada satu unsur kecil saja yang tidak istimewa, sudah gugur predikat menu istimewanya,” paparnya.
Sekilas pelajaran rasa pun didapat Jurnal Bogor sampai akhirnya sajian mie ayam komplit yang terdiri dari bakso, pangsit, dan jamur serta segelas es campur dan juice alpukat pun tersaji di atas meja.
Satu porsi mie ayam komplit diberi harga Rp. 9.000, sedangkan es campur dibandrol dengan harga Rp. 6.000 dan juice alpukat Rp. 6.000. Tampilan sajiannya sendiri cukup menarik, meskipun umum. Mungkin karena baru saja discharge tentang hakikat rasa oleh Mang Ocan itu.
Ternyata, apa yang baru saja disampaikan mampu terwujud dalam hidangan itu. Mencicipi satu persatu maupun sekaligus dari satu menu yang telah dibuat itu sangat nyata istimewanya. Mienya sudah memiliki rasa sendiri, rasa yang kental dengan nuansa gurih, kenyal namun lembut. Baksonya pun demikian, begitu empuk dan tanpa hambatan apapun ketika menggigitnya.
Satu per satu masakan yang dicicipi, masing-masing menyuguhkan pengalaman rasa yang berbeda. Pangsit basahnya yang licin menggelosor di tenggorokan, tahu isi baksonya, ayam dan jamurnya pun sarua bae, setcinnya, bawang gorengnya, hingga ke potongan daun bawang, semuanya jadi istimewa. Ajib dan mantab.
Tak ayal, akhirnya semua itu pun dicampur dalam satu mangkuk. Sambil mengaduk-aduk mie itu dengan saus sambal, asap yang keluar mengepul pun asyik ditiup-tiup. Mang Ocan sendiri, sudah sejak tadi meninggalkan meja makan sengaja membiarkan supaya dapat menikmati keistimewaan rasa Warung Khas Bangka.
Selesai satu mangkuk mie ayam komplit, es campur pun mendapat giliran kedua. Semua citarasa manis bercampur menjadi satu sajian es. Potongan lemon, kolang-kaling, cingcau hitam, agar-agar, alpukat, dan rumput laut padu dalam nuansa warna merah yang manis namun tidak keblinger.
Meski mulut ini masih sibuk mengunyah potongan-potongan segar es campur, rasanya nikmat bila dipadu dengan juice alpukat. Nyatanya, juice alpukat yang disajikan di Warung Khas Bangka sendiri memiliki kepekatan yang kental. Rasa susu kental manisnya pun muncul ke permukaan. Sungguh segar.
Dalam segi keistimewaan citarasa, sajian menu yang dihidangkan Warung Khas Bangka memang memiliki reputasi kuliner tersendiri. Warung itu layak untuk direkomendasikan bagi para petualang rasa jati yang hobi pada masakan mie ayam, karena harganya pun sangat terjangkau.
Rudi D. Sukmana
Bale Jajan Bang Ocang
Nasi Bakar yang Membakar Selera
Bogor, Jurnal Bogor
Lagi-lagi hujan turun membasahi Kota Bogor tercinta. Beberapa hari belakangan, curah hujan memang sedang hot-hotnya membuat udara menjadi dingin. Dan lagi-lagi, dinginnya suhu membuat perut ini berkonser-ria sejak pagi. Melewati Jl. Raya Bangbarung, ternyata ada satu tempat kuliner yang memiliki nama cukup unik, yaitu Bale Jajan Bang Ocang. Tempat makan yang berlokasi di Jl. H. Achmad Sobana No.23 Indraprasta II Bogor itu, memasang patung si Cepot di depan pintu masuknya.
Tertarik dengan si Cepot sebagai tokoh ma’rifat sajati Sunda, kaki pun melangkah masuk mencoba menemukan Sang Rasa Jati yang selama ini terus dicari tanpa henti. Suasana di dalam tempat makan itu cukup nyaman, kental dengan nuansa minimalis. Beberapa barang gerabah asli Yogyakarta terpajang rapi di sana.
Menurut Benjamin Harijanto, pemilik Bale Jajan Bang Ocang, tempat makan yang dikelolanya itu masih dalam tahap soft launching sejak Januari 2008 lalu. Rumah makan yang mengusung konsep semi kafe itu, dikatakannya sudah dibuka sejak Juni 2007. “Namun masih banyak perubahan dan penambahan di sana-sini. Terakhir, Januari lalu kami hadir dengan konsep baru kami,” ungkap Ben kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Ben, sebagai tempat untuk menikmati hidangan, Bale Jajan Bang Ocang juga menawarkan fasilitas free karaoke, free movie yang mengakses Indovision, dan live music di setiap akhir minggu. “Kami akan menambah fasilitas internet wireless hotspot dalam waktu dekat ini. Mudah-mudahan sudah terealisasi Maret,” jelasnya.
Resto kafe yang terdiri dari dua lantai itu, dikatakan Ben, memiliki kapasitas 80 tempat duduk. “Bang Ocang sudah beberapa kali dijadikan tempat meeting dan arisan. Beberapa waktu lalu, lebih dari seratus orang hadir pada acara gathering sebuah perusahaan,” paparnya seraya menambahkan, hal itu sesuai dengan strategi manajemen yang membidik segmen keluarga dan karyawan.
Dengan konsep semi kafe, lanjut Ben, para pengunjung bisa berleha-leha melepas lelah di tempatnya. “Fasilitas-fasilitas yang kami sediakan memang sengaja disajikan untuk para tamu sehingga tamu yang datang memiliki pengalaman lain daripada tempat yang biasa,” tuturnya.
Menu yang disediakan Bale Jajan Bang Ocang lebih dari 100 jenis masakan dan minuman. Menurut Ben, pada awalnya tempatnya hanya menyediakan menu masakan tradisional khas Sunda dan Jawa. Namun seiring dengan permintaan pasar, akhirnya beragam menu pun turut disediakan, seperti masakan oriental dan masakan Itali. “Yang jelas, tetap dengan citarasa yang sesuai dengan lidah orang Indonesia,” tukasnya.
Meski menu favorit pengunjung cukup banyak, Bale Jajan Bang Ocang mengandalkan Nasi Bakar Empal dan Nasi Goreng Bang Ocang. “Makaroni Kroket pun menjadi menu andalan kami, karena banyak dipesan pengunjung tempat kami,” ungkap Ben.
Harga menu makanan dan minuman sendiri, dikatakan Ben, tidak lebih mahal dari Rp. 20.000. “Menu termahal saat ini justru menu yang menjadi favorit pengunjung, yaitu Nasi Bakar Empal dan Nasi Goreng Bang Ocang,” paparnya. Sedangkan untuk menu minuman termahal, lanjut Ben, adalah cappuccino shake dan cappuccino float seharga Rp. 17.000.
Tertarik dengan citarasa yang ditawarkan, akhirnya nasi bakar empal, nasi goreng Bang Ocang dan makaroni kroket serta teh poci pun tersaji di atas meja. Tampilan sajian menu-menu itu sendiri sangat menarik selera. Menurut Awan Pramudiaman, Chef Bale Jajan Bang Ocang, meski menu-menu itu banyak ditemukan di tempat makan lain, soal rasa sangat berbeda, karena telah diracik lagi secara khusus oleh krew Bang Ocang. “Nasi Goreng Bang Ocang sendiri merupakan menu yang tidak akan ditemukan di tempat lain. Bumbu-bumbunya merupakan resep rahasia dari hasil pengalaman kuliner saya selama lebih dari duapuluh tahun,” ujar Awan.
Ketika dicicipi, macaroni kroket memiliki rasa yang cukup luar biasa. Proses pengolahan yang memanfaatkan minyak goreng panas membuat masakan itu garing di luar dan lembut di dalam. Kelembutan yang membuat diri ingin menyantap lagi dan lagi dan lagi, sampai seporsi menu itu pun ludes tandas. Mayones yang dibuat khusus sebagai saus makaroni kroket sangat menunjang rasa secara utuh. Boleh dikatakan, rasa mayonesnya meuni semlehoy. Mayones itu tidak terlalu asam sehingga padu dengan kelezatan makaroni kroket.
Di luar hujan turun lagi dengan deras, tapi dengan sajian hidangan nasi bakar ala Bang Ocang, hal itu tidak jadi masalah. Nasi bakar yang masih mengebul..bul ep..pendi itu, nyatanya mampu membakar selera. Kelezatan empal gepuk daging sapi yang sarat dengan rasa manis, asam, dan asin yang sangat padu itu, ditambah dengan tempe goreng dan tahu kuning goreng, sungguh menunjang rasa nasi baker itu sendiri. Sambal gandaria dan sambal oncom garingnya pun benar-benar membuat menu masakan itu menjadi istimewa. Ajib siah.
Menikmati menu yang disediakan Bale Jajan Bang Ocang, memang sangat layak direkomendasikan sebagai salah satu tempat bersantap yang bersuasana nyaman. Tak heran, beberapa stasiun televisi pernah meliput tempat itu sebagai tempat wisata kuliner Kota Bogor.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Lagi-lagi hujan turun membasahi Kota Bogor tercinta. Beberapa hari belakangan, curah hujan memang sedang hot-hotnya membuat udara menjadi dingin. Dan lagi-lagi, dinginnya suhu membuat perut ini berkonser-ria sejak pagi. Melewati Jl. Raya Bangbarung, ternyata ada satu tempat kuliner yang memiliki nama cukup unik, yaitu Bale Jajan Bang Ocang. Tempat makan yang berlokasi di Jl. H. Achmad Sobana No.23 Indraprasta II Bogor itu, memasang patung si Cepot di depan pintu masuknya.
Tertarik dengan si Cepot sebagai tokoh ma’rifat sajati Sunda, kaki pun melangkah masuk mencoba menemukan Sang Rasa Jati yang selama ini terus dicari tanpa henti. Suasana di dalam tempat makan itu cukup nyaman, kental dengan nuansa minimalis. Beberapa barang gerabah asli Yogyakarta terpajang rapi di sana.
Menurut Benjamin Harijanto, pemilik Bale Jajan Bang Ocang, tempat makan yang dikelolanya itu masih dalam tahap soft launching sejak Januari 2008 lalu. Rumah makan yang mengusung konsep semi kafe itu, dikatakannya sudah dibuka sejak Juni 2007. “Namun masih banyak perubahan dan penambahan di sana-sini. Terakhir, Januari lalu kami hadir dengan konsep baru kami,” ungkap Ben kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Ben, sebagai tempat untuk menikmati hidangan, Bale Jajan Bang Ocang juga menawarkan fasilitas free karaoke, free movie yang mengakses Indovision, dan live music di setiap akhir minggu. “Kami akan menambah fasilitas internet wireless hotspot dalam waktu dekat ini. Mudah-mudahan sudah terealisasi Maret,” jelasnya.
Resto kafe yang terdiri dari dua lantai itu, dikatakan Ben, memiliki kapasitas 80 tempat duduk. “Bang Ocang sudah beberapa kali dijadikan tempat meeting dan arisan. Beberapa waktu lalu, lebih dari seratus orang hadir pada acara gathering sebuah perusahaan,” paparnya seraya menambahkan, hal itu sesuai dengan strategi manajemen yang membidik segmen keluarga dan karyawan.
Dengan konsep semi kafe, lanjut Ben, para pengunjung bisa berleha-leha melepas lelah di tempatnya. “Fasilitas-fasilitas yang kami sediakan memang sengaja disajikan untuk para tamu sehingga tamu yang datang memiliki pengalaman lain daripada tempat yang biasa,” tuturnya.
Menu yang disediakan Bale Jajan Bang Ocang lebih dari 100 jenis masakan dan minuman. Menurut Ben, pada awalnya tempatnya hanya menyediakan menu masakan tradisional khas Sunda dan Jawa. Namun seiring dengan permintaan pasar, akhirnya beragam menu pun turut disediakan, seperti masakan oriental dan masakan Itali. “Yang jelas, tetap dengan citarasa yang sesuai dengan lidah orang Indonesia,” tukasnya.
Meski menu favorit pengunjung cukup banyak, Bale Jajan Bang Ocang mengandalkan Nasi Bakar Empal dan Nasi Goreng Bang Ocang. “Makaroni Kroket pun menjadi menu andalan kami, karena banyak dipesan pengunjung tempat kami,” ungkap Ben.
Harga menu makanan dan minuman sendiri, dikatakan Ben, tidak lebih mahal dari Rp. 20.000. “Menu termahal saat ini justru menu yang menjadi favorit pengunjung, yaitu Nasi Bakar Empal dan Nasi Goreng Bang Ocang,” paparnya. Sedangkan untuk menu minuman termahal, lanjut Ben, adalah cappuccino shake dan cappuccino float seharga Rp. 17.000.
Tertarik dengan citarasa yang ditawarkan, akhirnya nasi bakar empal, nasi goreng Bang Ocang dan makaroni kroket serta teh poci pun tersaji di atas meja. Tampilan sajian menu-menu itu sendiri sangat menarik selera. Menurut Awan Pramudiaman, Chef Bale Jajan Bang Ocang, meski menu-menu itu banyak ditemukan di tempat makan lain, soal rasa sangat berbeda, karena telah diracik lagi secara khusus oleh krew Bang Ocang. “Nasi Goreng Bang Ocang sendiri merupakan menu yang tidak akan ditemukan di tempat lain. Bumbu-bumbunya merupakan resep rahasia dari hasil pengalaman kuliner saya selama lebih dari duapuluh tahun,” ujar Awan.
Ketika dicicipi, macaroni kroket memiliki rasa yang cukup luar biasa. Proses pengolahan yang memanfaatkan minyak goreng panas membuat masakan itu garing di luar dan lembut di dalam. Kelembutan yang membuat diri ingin menyantap lagi dan lagi dan lagi, sampai seporsi menu itu pun ludes tandas. Mayones yang dibuat khusus sebagai saus makaroni kroket sangat menunjang rasa secara utuh. Boleh dikatakan, rasa mayonesnya meuni semlehoy. Mayones itu tidak terlalu asam sehingga padu dengan kelezatan makaroni kroket.
Di luar hujan turun lagi dengan deras, tapi dengan sajian hidangan nasi bakar ala Bang Ocang, hal itu tidak jadi masalah. Nasi bakar yang masih mengebul..bul ep..pendi itu, nyatanya mampu membakar selera. Kelezatan empal gepuk daging sapi yang sarat dengan rasa manis, asam, dan asin yang sangat padu itu, ditambah dengan tempe goreng dan tahu kuning goreng, sungguh menunjang rasa nasi baker itu sendiri. Sambal gandaria dan sambal oncom garingnya pun benar-benar membuat menu masakan itu menjadi istimewa. Ajib siah.
Menikmati menu yang disediakan Bale Jajan Bang Ocang, memang sangat layak direkomendasikan sebagai salah satu tempat bersantap yang bersuasana nyaman. Tak heran, beberapa stasiun televisi pernah meliput tempat itu sebagai tempat wisata kuliner Kota Bogor.
Rudi D. Sukmana
Senin, 31 Maret 2008
Kue Ultah, Penuh Krim Lebih Disuka
Bogor, Jurnal Bogor
“Potong kuenya, potong kuenya, potong kuenya sekarang juga, sekarang juga, potong kuenya”. Demikian sebuah lagu modifikasi dari lagu Panjang Umurnya yang dirubah liriknya untuk menyemangati seseorang yang sedang merayakan ulang tahun memotong kue dan segera membagikan kue kepada undangan yang hadir.
Perayaan atau pesta ulang tahun sendiri, konon sudah menjadi tradisi sebagian besar masyarakat Indonesia. Pada sebuah pesta ulang tahun, tentunya tidak akan pernah lepas dengan urusan kuliner. Beragam menu masakan akan dihidangkan di acara itu, seperti nasi kuning, ayam goreng, permen-permen, sampai minuman sirup atau es kelapa muda.
Salah satu sajian kuliner yang tidak lepas dari pesta ulang tahun, yaitu kue ulang tahun. Kue yang biasanya berbentuk kue tart, yaitu kue cake yang dilapisi toping krim dan dihiasi berbagai bentuk mulai dari bentuk lucu untuk pesta ulang tahun anak-anak, hingga bentuk yang lebih romantis untuk pesta ulang tahun remaja, terutama yang berulangtahun ke tujuhbelas sudah dipastikan akan hadir menyemarakkan acara itu sendiri.
Betapa tidak, semaraknya acara ulang tahun akan semakin meriah dengan menyanyikan lagu tersebut di atas bersama-sama sambil bertepuk tangan. Yang sedang berulangtahun pun tampak bahagia atas atensi tamunya. Meski tangannya sudah siap memotong kue, tetapi akan sengaja menunggu sampai para undangan selesai menyanyikan lagu itu.
Kue ulang tahun, biasanya berukuran lebih dari 25x25 centimeter. Favorit kue ulang tahun sendiri umumnya memiliki citarasa coklat. Black Forest merupakan kue ulang tahun yang cukup banyak digemari untuk disajikan pada pesta itu.
Setelah kue dipotong, biasanya yang empunya hajat akan membagi-bagikan kue ulang tahun itu kepada semua tamu yang hadir. Sangat lucu melihat para tamu yang kebetulan anak-anak kecil menikmati santapan khas itu, karena umumnya anak-anak menyukai kue ulang tahun yang banyak krimnya. Krim kue itu sudah pasti akan menghias wajah polos mereka, terutama sekitar mulut.
Apapun pendapat beragam tentang pesta ulang tahun, anak-anak biasanya sangat menyenangi hari lahirnya diperingati dengan mengundang teman-teman untuk bersama-sama bernyanyi, bermain, dan bersantap bersama. Sebagai salah satu bentuk syukur dengan bertambahnya usia, pesta ulang tahun dengan kue tartnya yang pasti akan habis dibagi-bagikan itu merupakan media ampuh untuk mengasah rasa sosial.
Rudi D. Sukmana
“Potong kuenya, potong kuenya, potong kuenya sekarang juga, sekarang juga, potong kuenya”. Demikian sebuah lagu modifikasi dari lagu Panjang Umurnya yang dirubah liriknya untuk menyemangati seseorang yang sedang merayakan ulang tahun memotong kue dan segera membagikan kue kepada undangan yang hadir.
Perayaan atau pesta ulang tahun sendiri, konon sudah menjadi tradisi sebagian besar masyarakat Indonesia. Pada sebuah pesta ulang tahun, tentunya tidak akan pernah lepas dengan urusan kuliner. Beragam menu masakan akan dihidangkan di acara itu, seperti nasi kuning, ayam goreng, permen-permen, sampai minuman sirup atau es kelapa muda.
Salah satu sajian kuliner yang tidak lepas dari pesta ulang tahun, yaitu kue ulang tahun. Kue yang biasanya berbentuk kue tart, yaitu kue cake yang dilapisi toping krim dan dihiasi berbagai bentuk mulai dari bentuk lucu untuk pesta ulang tahun anak-anak, hingga bentuk yang lebih romantis untuk pesta ulang tahun remaja, terutama yang berulangtahun ke tujuhbelas sudah dipastikan akan hadir menyemarakkan acara itu sendiri.
Betapa tidak, semaraknya acara ulang tahun akan semakin meriah dengan menyanyikan lagu tersebut di atas bersama-sama sambil bertepuk tangan. Yang sedang berulangtahun pun tampak bahagia atas atensi tamunya. Meski tangannya sudah siap memotong kue, tetapi akan sengaja menunggu sampai para undangan selesai menyanyikan lagu itu.
Kue ulang tahun, biasanya berukuran lebih dari 25x25 centimeter. Favorit kue ulang tahun sendiri umumnya memiliki citarasa coklat. Black Forest merupakan kue ulang tahun yang cukup banyak digemari untuk disajikan pada pesta itu.
Setelah kue dipotong, biasanya yang empunya hajat akan membagi-bagikan kue ulang tahun itu kepada semua tamu yang hadir. Sangat lucu melihat para tamu yang kebetulan anak-anak kecil menikmati santapan khas itu, karena umumnya anak-anak menyukai kue ulang tahun yang banyak krimnya. Krim kue itu sudah pasti akan menghias wajah polos mereka, terutama sekitar mulut.
Apapun pendapat beragam tentang pesta ulang tahun, anak-anak biasanya sangat menyenangi hari lahirnya diperingati dengan mengundang teman-teman untuk bersama-sama bernyanyi, bermain, dan bersantap bersama. Sebagai salah satu bentuk syukur dengan bertambahnya usia, pesta ulang tahun dengan kue tartnya yang pasti akan habis dibagi-bagikan itu merupakan media ampuh untuk mengasah rasa sosial.
Rudi D. Sukmana
DapoerJazz Cafe
Ayam Gulung Kejunya Menggugah Selera
Bogor, Jurnal Bogor
Berlokasi di Jl. Kol. Achmad Sham (Fly Over) perumahan IPB Baranangsiang IV Bogor, Dapur Jazz Café menyajikan satu suasana kuliner dengan ragam menu yang istimewa. Suasana yang ditampilkan dari tempatnya sendiri cukup nyaman dan cozy, dengan disain berkonsep florish yang alami. Banyaknya pot dan tanaman yang menghiasi halaman tempat makan itu membuat kesan segar dan natural yang dapat membuat pengunjung betah berlama-lama.
Menempati luas area 100 meter persegi, Dapur Jazz Café mampu menampung maksimal 50 orang pengunjung. Menurut Andry Adriansyah, salah seorang karyawan Dapur Jazz Cafe, tempat yang ikut dikelolanya itu, dibuka setiap hari dari jam 11.00 sampai jam 21.00. “Setiap Senin kami libur,” ujar Andry kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dengan jumlah karyawan enam orang termasuk juru masak, dikatakan Andry, kafe itu menyediakan menu makanan yang biasa ditemukan di kafe-kafe casual. “Dapur Jazz sendiri sesuai dengan namanya, memang mengusung konsep kafe,” ungkapnya.
Tempat itu, lanjut Andry, sangat cocok dikunjungi kawula muda yang ingin hang out sambil menikmati alunan musik-musik jazz dan menyantap makanan bercitarasa istimewa. “Tiap malam Minggu, di tempat kami selalu digelar live music dari Lover Band yang membawakan musik-musik jazz,” ungkapnya.
“Tempat kami sering dipakai untuk mengadakan acara ulang tahun, arisan dan rapat. Untuk acara-acara itu, tempat kami free charge,” ujar Andry seraya menambahkan, tempatnya pun menyediakan pelayanan untuk pemesanan lunch box.
Menu-menu yang disediakan di Dapur Jazz Café tidak lebih dari 50 jenis makanan dan minuman. Namun, merupakan menu-menu pilihan yang semuanya merupakan favorit pengunjung kafe itu. Salah satu hidangan khas kafé itu yang tidak dapat ditemukan di tempat lain adalah Nasi Goreng Dapur Jazz dengan harga Rp. 10.000.
Selain itu, masih ada menu lain yang menggugah selera mulai dari hidangan ala barat seperti spaghetti bolognaise hingga makanan khas Indonesia, seperti nasi timbel komplit plus sayur asem dan ikan asin jambal. “Menu-menu di tempat kami dibandrol mulai Rp. 1.000 sampai Rp. 15.000. Menu termahal kami saat ini yaitu nasi timbel komplit,” ujar Andry.
Andry juga menambahkan, beberapa menu yang tercantum dalam daftar menu hanya ada pada Sabtu atau malam Minggu, seperti roti bakar dan pisang bakar. Roti bakar dan Pisang bakar, itu, dikatakan Andry, sangat digandrungi pengunjung. “Sebagai menu special kami, menu tersebut sengaja kami sediakan tiap malam minggu karena itu merupakan menu spesial kami,” terang Andry.
Nasi Goreng Dapur Jazz sebagai menu unggulan kafe itu memiliki sajian yang cukup menarik. Sebagai menu hasil inovasi dan kreasi para krew Dapur Jazz, rasa yang disuguhkan pun sangat unik. Nasi gorengnya penuh dengan sajian lauk seperti potongan sosis, telur, bakso dan ayam gulung keju istimewa.
Nasi Goreng Dapur Jazz disajikan tidak terlalu lama, hanya sekitar sepuluh menit. Tampilan nasinya yang berwarna kecoklatan dengan beberapa potongan cabai merah menghiasi nasinya, disajikan dengan sepotong kerupuk Palembang. Aromanya sendiri cukup menggugah rasa, kental dengan nuansa bawang.
Meski penuh dengan potongan cabai merah, rasa nasi goreng itu tidak pedas. Menurut lidah saya justru rada kurang berani membubuhkan garam. Namun secara keseluruhan, dengan dibantu saus sambal, nasi goreng itu cukup menggugah selera, dengan bantuan dari para lauk yang menyertai menu favorit itu.
Vanila Latte dan Vanilla Milkshake yang dipesan pun, memiliki rasa yang cukup umum. Keistimewaan justru terletak pada harga yang ditawarkan. Vanilla Latte dijual dengan harga Rp. 3.000 dan Vanilla Milkshake Rp. 10.000, sangat terjangkau. Bahkan para pelajar pun mampu untuk menikmati sajian di kafe itu.
Rudi D. Sukmana/Adi G. Rachman
Bogor, Jurnal Bogor
Berlokasi di Jl. Kol. Achmad Sham (Fly Over) perumahan IPB Baranangsiang IV Bogor, Dapur Jazz Café menyajikan satu suasana kuliner dengan ragam menu yang istimewa. Suasana yang ditampilkan dari tempatnya sendiri cukup nyaman dan cozy, dengan disain berkonsep florish yang alami. Banyaknya pot dan tanaman yang menghiasi halaman tempat makan itu membuat kesan segar dan natural yang dapat membuat pengunjung betah berlama-lama.
Menempati luas area 100 meter persegi, Dapur Jazz Café mampu menampung maksimal 50 orang pengunjung. Menurut Andry Adriansyah, salah seorang karyawan Dapur Jazz Cafe, tempat yang ikut dikelolanya itu, dibuka setiap hari dari jam 11.00 sampai jam 21.00. “Setiap Senin kami libur,” ujar Andry kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dengan jumlah karyawan enam orang termasuk juru masak, dikatakan Andry, kafe itu menyediakan menu makanan yang biasa ditemukan di kafe-kafe casual. “Dapur Jazz sendiri sesuai dengan namanya, memang mengusung konsep kafe,” ungkapnya.
Tempat itu, lanjut Andry, sangat cocok dikunjungi kawula muda yang ingin hang out sambil menikmati alunan musik-musik jazz dan menyantap makanan bercitarasa istimewa. “Tiap malam Minggu, di tempat kami selalu digelar live music dari Lover Band yang membawakan musik-musik jazz,” ungkapnya.
“Tempat kami sering dipakai untuk mengadakan acara ulang tahun, arisan dan rapat. Untuk acara-acara itu, tempat kami free charge,” ujar Andry seraya menambahkan, tempatnya pun menyediakan pelayanan untuk pemesanan lunch box.
Menu-menu yang disediakan di Dapur Jazz Café tidak lebih dari 50 jenis makanan dan minuman. Namun, merupakan menu-menu pilihan yang semuanya merupakan favorit pengunjung kafe itu. Salah satu hidangan khas kafé itu yang tidak dapat ditemukan di tempat lain adalah Nasi Goreng Dapur Jazz dengan harga Rp. 10.000.
Selain itu, masih ada menu lain yang menggugah selera mulai dari hidangan ala barat seperti spaghetti bolognaise hingga makanan khas Indonesia, seperti nasi timbel komplit plus sayur asem dan ikan asin jambal. “Menu-menu di tempat kami dibandrol mulai Rp. 1.000 sampai Rp. 15.000. Menu termahal kami saat ini yaitu nasi timbel komplit,” ujar Andry.
Andry juga menambahkan, beberapa menu yang tercantum dalam daftar menu hanya ada pada Sabtu atau malam Minggu, seperti roti bakar dan pisang bakar. Roti bakar dan Pisang bakar, itu, dikatakan Andry, sangat digandrungi pengunjung. “Sebagai menu special kami, menu tersebut sengaja kami sediakan tiap malam minggu karena itu merupakan menu spesial kami,” terang Andry.
Nasi Goreng Dapur Jazz sebagai menu unggulan kafe itu memiliki sajian yang cukup menarik. Sebagai menu hasil inovasi dan kreasi para krew Dapur Jazz, rasa yang disuguhkan pun sangat unik. Nasi gorengnya penuh dengan sajian lauk seperti potongan sosis, telur, bakso dan ayam gulung keju istimewa.
Nasi Goreng Dapur Jazz disajikan tidak terlalu lama, hanya sekitar sepuluh menit. Tampilan nasinya yang berwarna kecoklatan dengan beberapa potongan cabai merah menghiasi nasinya, disajikan dengan sepotong kerupuk Palembang. Aromanya sendiri cukup menggugah rasa, kental dengan nuansa bawang.
Meski penuh dengan potongan cabai merah, rasa nasi goreng itu tidak pedas. Menurut lidah saya justru rada kurang berani membubuhkan garam. Namun secara keseluruhan, dengan dibantu saus sambal, nasi goreng itu cukup menggugah selera, dengan bantuan dari para lauk yang menyertai menu favorit itu.
Vanila Latte dan Vanilla Milkshake yang dipesan pun, memiliki rasa yang cukup umum. Keistimewaan justru terletak pada harga yang ditawarkan. Vanilla Latte dijual dengan harga Rp. 3.000 dan Vanilla Milkshake Rp. 10.000, sangat terjangkau. Bahkan para pelajar pun mampu untuk menikmati sajian di kafe itu.
Rudi D. Sukmana/Adi G. Rachman
Nasi Timbel M 11
Oncom, Sambal, Ayamnya Sampai Tak Bersisa
Bogor, Jurnal Bogor
Persis di samping kampus IPB Baranangsiang, ada satu tempat makan yang menyajikan masakan khas sunda, nasi timbel lengkap dengan sambal, lalapan dan lauknya, seperti, ayam goreng, empal dan hati goreng, serta pepes ikan mas. Tempat itu juga menyajikan sayur asam, bakwan jagung, petai bakar dan petai goreng, sambal gandaria, rempeyek serta berbagai jenis minuman. Nama tempat itu Nasi Timbel M11.
Menurut Ogi Mediansyah, Pemilik Nasi Timbel M11, tempat makan yang dikelolanya beroperasi sudah sejak tahun 2004 lalu. Awalnya ia hanya ingin coba-coba saja berjualan nasi timbel di teras rumahnya. Berkat kerja kerasnya dan promosi dari mulut ke mulut, usahanya berkembang pesat. “Sekarang rumah makan saya yang sederhana ini, alhamdulillah telah bekerja sama dengan beberapa hotel di Bogor. Jadi kalau ada wisatawan domestik atau wisatawan asing yang datang, bisa mampir ke sini,”jelasnya.
Rumah makan yang berlokasi di Jl. Malabar No. 11 Bogor itu, merupakan rumah milik keluarganya sendiri. Disain tempat makan itu, sengaja mengusung konsep sederhana seperti di rumah sendiri. Menurut Ogi, dengan suasana seperti rumah sendiri pengunjung akan merasa nyaman makan di sini. “Di teras ini, pengunjung dapat menikmati turunnya hujan, sambil menyantap hidangan kami,” tambahnya.
Dengan luas tempat makan lebih dari 200 meter persegi dan memiliki karyawan berjumlah 11 orang termasuk juru masaknya, Nasi Timbel M11 buka setiap hari mulai pukul 8.00 sampai pukul 16.00. “Tempat kami ramai dikunjungi pada siang hari. Kebanyakan dari kalangan karyawan dan mahasiswa dekat-dekat sini,” terang Ogi seraya menambahkan, kapasitas maksimal tempatnya dapat menampung 30 orang.
Meski menu yang disediakan tidak lebih dari 50 jenis masakan dan minuman, Ogi mengatakan, sedikitnya 200 piring sehari ludes tandas disantap pengunjung yang bertandang di tempat kami. Kalau akhir minggu dan hari libur, bisa dua kali lipatnya,” terang Ogi.
Harga menu makanan dan minuman yang dibandrol di Nasi Timbel M11 berkisar mulai harga Rp. 1.000 sampai Rp. 15.000. Menu termahal saat ini adalah nasi timbel pepes ikan mas. “Biasanya kami hanya memasak 20 pepes ikan mas saja seharinya, tidak banyak-banyak yang penting habis,” tukas Ogi.
Nasi timbel ayam sendiri dijual dengan harga Rp. 10.000. Sedangkan nasi timbel empal atau paru goreng dibandrol dengan harga Rp. 12.000 per porsi. “Kami juga menyediakan menu soto Bandung yang cukup diminati pengunjung. Harganya Rp. 10.000,” tukas Ogi.
Bakwan jagung, dikatakan Ogi, juga sangat digandrungi pengunjung. “Satu orang pengunjung biasanya membeli lebih dari 20 bakwan jagung dan dibawa pulang,” terang Ogi.
Dari semua menu yang disediakan, Ogi menjelaskan, tempatnya juga membuat sejenis es krim yang diberi nama es potong Bandung. Es potong yang mirip es lilin itu, memiliki rasa yang nyata tanpa essens. “Es potong Bandung di tempat kami, ditawarkan dalam enam rasa, yaitu rasa kelapa, kacang hijau, strawberry, anggur, sirsak, dan rasa durian dengan harga Rp. 2.500,” paparnya.
Nasi timbel ayam goreng sebagai menu favorit, dipersiapkan cukup lama juga. Kira-kira sekitar limabelas menit kemudian porsi itu pun tersaji di meja makan. Mungkin, karena pada waktu dikunjungi Jurnal Bogor, situasi tempat makan itu tampak sangat ramai.
Ternyata selain satu porsi nasi timbel dengan lauk ayam goreng, tempe dan tahu goreng, lalapan pun dihidangkan dengan sambal goreng dan sambal oncomnya. Sungguh suatu hidangan khas Sunda yang membangkitkan selera makan.
Cuaca mendung yang beberapa hari ini menghias Kota Hujan dan membuat udara menjadi dingin, semakin menambah selera menyantap gulungan nasi, yang dicocol dengan suwiran lauk-pauk dan sambal gorengnya. Sesekali, sambal oncom yang bertabur buah leunca pun disenduk dengan daun selada.
Rasa sambal goreng dan sambal oncomnya sendiri tidak terlalu seuhah untuk ukuran lidah saya. Tetapi, pedasnya cukup ngagegel pada perkenalan pertama. Rasa pedas yang membuat ingin lagi dan lagi melalap daun segar beserta para sambalnya itu.
Selesai ludes tandas, nasi timbel ayam benar-benar tidak bersisa. Sambal gorengnya dan sambal oncomnya pun digado dengan daun lalapan. Terus, hingga akhirnya sambal itu pun habis juga seperti nasi timbel. Nasi timbel, sambal goreng, sambal oncom, dan ayam gorengnya pun habis tak bersisa.
Sebagai dessert, sebuah es potong Bandung rasa durian pun nikmat dirasakan. Gigitan demi gigitan pada es potong itu mampu membawa hawa dingin pada tubuh. Nasi timbel M11 memang cukup layak direkomendasikan sebagai salah satu tempat kuliner yang menawarkan rasa istimewa di Kota Bogor.
Rudi D. Sukmana/Hutami Pudya Mulyani
Bogor, Jurnal Bogor
Persis di samping kampus IPB Baranangsiang, ada satu tempat makan yang menyajikan masakan khas sunda, nasi timbel lengkap dengan sambal, lalapan dan lauknya, seperti, ayam goreng, empal dan hati goreng, serta pepes ikan mas. Tempat itu juga menyajikan sayur asam, bakwan jagung, petai bakar dan petai goreng, sambal gandaria, rempeyek serta berbagai jenis minuman. Nama tempat itu Nasi Timbel M11.
Menurut Ogi Mediansyah, Pemilik Nasi Timbel M11, tempat makan yang dikelolanya beroperasi sudah sejak tahun 2004 lalu. Awalnya ia hanya ingin coba-coba saja berjualan nasi timbel di teras rumahnya. Berkat kerja kerasnya dan promosi dari mulut ke mulut, usahanya berkembang pesat. “Sekarang rumah makan saya yang sederhana ini, alhamdulillah telah bekerja sama dengan beberapa hotel di Bogor. Jadi kalau ada wisatawan domestik atau wisatawan asing yang datang, bisa mampir ke sini,”jelasnya.
Rumah makan yang berlokasi di Jl. Malabar No. 11 Bogor itu, merupakan rumah milik keluarganya sendiri. Disain tempat makan itu, sengaja mengusung konsep sederhana seperti di rumah sendiri. Menurut Ogi, dengan suasana seperti rumah sendiri pengunjung akan merasa nyaman makan di sini. “Di teras ini, pengunjung dapat menikmati turunnya hujan, sambil menyantap hidangan kami,” tambahnya.
Dengan luas tempat makan lebih dari 200 meter persegi dan memiliki karyawan berjumlah 11 orang termasuk juru masaknya, Nasi Timbel M11 buka setiap hari mulai pukul 8.00 sampai pukul 16.00. “Tempat kami ramai dikunjungi pada siang hari. Kebanyakan dari kalangan karyawan dan mahasiswa dekat-dekat sini,” terang Ogi seraya menambahkan, kapasitas maksimal tempatnya dapat menampung 30 orang.
Meski menu yang disediakan tidak lebih dari 50 jenis masakan dan minuman, Ogi mengatakan, sedikitnya 200 piring sehari ludes tandas disantap pengunjung yang bertandang di tempat kami. Kalau akhir minggu dan hari libur, bisa dua kali lipatnya,” terang Ogi.
Harga menu makanan dan minuman yang dibandrol di Nasi Timbel M11 berkisar mulai harga Rp. 1.000 sampai Rp. 15.000. Menu termahal saat ini adalah nasi timbel pepes ikan mas. “Biasanya kami hanya memasak 20 pepes ikan mas saja seharinya, tidak banyak-banyak yang penting habis,” tukas Ogi.
Nasi timbel ayam sendiri dijual dengan harga Rp. 10.000. Sedangkan nasi timbel empal atau paru goreng dibandrol dengan harga Rp. 12.000 per porsi. “Kami juga menyediakan menu soto Bandung yang cukup diminati pengunjung. Harganya Rp. 10.000,” tukas Ogi.
Bakwan jagung, dikatakan Ogi, juga sangat digandrungi pengunjung. “Satu orang pengunjung biasanya membeli lebih dari 20 bakwan jagung dan dibawa pulang,” terang Ogi.
Dari semua menu yang disediakan, Ogi menjelaskan, tempatnya juga membuat sejenis es krim yang diberi nama es potong Bandung. Es potong yang mirip es lilin itu, memiliki rasa yang nyata tanpa essens. “Es potong Bandung di tempat kami, ditawarkan dalam enam rasa, yaitu rasa kelapa, kacang hijau, strawberry, anggur, sirsak, dan rasa durian dengan harga Rp. 2.500,” paparnya.
Nasi timbel ayam goreng sebagai menu favorit, dipersiapkan cukup lama juga. Kira-kira sekitar limabelas menit kemudian porsi itu pun tersaji di meja makan. Mungkin, karena pada waktu dikunjungi Jurnal Bogor, situasi tempat makan itu tampak sangat ramai.
Ternyata selain satu porsi nasi timbel dengan lauk ayam goreng, tempe dan tahu goreng, lalapan pun dihidangkan dengan sambal goreng dan sambal oncomnya. Sungguh suatu hidangan khas Sunda yang membangkitkan selera makan.
Cuaca mendung yang beberapa hari ini menghias Kota Hujan dan membuat udara menjadi dingin, semakin menambah selera menyantap gulungan nasi, yang dicocol dengan suwiran lauk-pauk dan sambal gorengnya. Sesekali, sambal oncom yang bertabur buah leunca pun disenduk dengan daun selada.
Rasa sambal goreng dan sambal oncomnya sendiri tidak terlalu seuhah untuk ukuran lidah saya. Tetapi, pedasnya cukup ngagegel pada perkenalan pertama. Rasa pedas yang membuat ingin lagi dan lagi melalap daun segar beserta para sambalnya itu.
Selesai ludes tandas, nasi timbel ayam benar-benar tidak bersisa. Sambal gorengnya dan sambal oncomnya pun digado dengan daun lalapan. Terus, hingga akhirnya sambal itu pun habis juga seperti nasi timbel. Nasi timbel, sambal goreng, sambal oncom, dan ayam gorengnya pun habis tak bersisa.
Sebagai dessert, sebuah es potong Bandung rasa durian pun nikmat dirasakan. Gigitan demi gigitan pada es potong itu mampu membawa hawa dingin pada tubuh. Nasi timbel M11 memang cukup layak direkomendasikan sebagai salah satu tempat kuliner yang menawarkan rasa istimewa di Kota Bogor.
Rudi D. Sukmana/Hutami Pudya Mulyani
Coklat, Kado Valentine Sempurna
Bogor, Jurnal Bogor
Masih tentang Valentine’s Day, salah satu kuliner yang diburu para pecinta yang memanfaatkan momentum hari itu untuk mengungkapkan rasa kasih sayang adalah coklat. Coklat yang dicari pun bukan coklat yang biasa didapat di toko-toko dengan berbagai merk, melainkan coklat buatan non pabrik yang lebih banyak berbentuk hati dan berwarna merah muda serta putih.
Konon, sejak zaman Cortez menjaja Aztec dan membawa pulang cacahuatll dari Dunia Baru, jenis makanan baru (pada waktu itu) yang jika terjemahkan berarti anugerah Tuhan, makanan penguat tenaga batin masyarakat Aztec itu menjadi rahasia diraja selama bertahun-tahun disimpan di istana Spanyol.
Kini, setelah coklat dapat dinikmati seluruh kalangan, barulah kita menyadari mengapa masyarakat Aztec begitu menyanjung coklat. Secara hakikat, banyak orang yang menyenangi coklat memiliki rasa bersalah yang menghantui dirinya. Beragam sugesti muncul dari berbagai kalangan tentang mengkonsumsi coklat.
Bagi penggemar coklat, silakan untuk mensugestikan diri, bahwa coklat tidak menyebabkan jerawat, coklat tidak menggemukkan, penderita diabetes boleh mengkonsumsi coklat, coklat tidak sebabkan karis gigi, coklat tidak sebabkan sakit jantung, bahkan coklat pun mampu menghadirkan tenaga batin.
Semua pernyataan di atas, merupakan kesimpulan dari hasil penelitian tentang coklat bagi tubuh. Sebagai contoh, coklat tidak menggemukkan, adalah sangat tepat. Bahkan, makan sederhana termasuk mengkonsumsi coklat, diiringi senam kardiovaskular merupakan rahasia mengekalkan berat badan sehat.
Dengan citarasa yang manis, coklat memiliki upaya mencetuskan reaksi positip kepada tindakan kimia otak dan dapat memperbaiki mood seseorang. Silakan mengigit dan menyantap coklat, ketika sedang marah, dijamin rasa marah akan hilang. Hal itu juga yang menyebabkan coklat menjadi salah satu ikon kuliner Valentine’s Day. Memberikan coklat sebagai kado Valentine, merupakan hadiah yang sempurna.
Rudi D. Sukmana
Masih tentang Valentine’s Day, salah satu kuliner yang diburu para pecinta yang memanfaatkan momentum hari itu untuk mengungkapkan rasa kasih sayang adalah coklat. Coklat yang dicari pun bukan coklat yang biasa didapat di toko-toko dengan berbagai merk, melainkan coklat buatan non pabrik yang lebih banyak berbentuk hati dan berwarna merah muda serta putih.
Konon, sejak zaman Cortez menjaja Aztec dan membawa pulang cacahuatll dari Dunia Baru, jenis makanan baru (pada waktu itu) yang jika terjemahkan berarti anugerah Tuhan, makanan penguat tenaga batin masyarakat Aztec itu menjadi rahasia diraja selama bertahun-tahun disimpan di istana Spanyol.
Kini, setelah coklat dapat dinikmati seluruh kalangan, barulah kita menyadari mengapa masyarakat Aztec begitu menyanjung coklat. Secara hakikat, banyak orang yang menyenangi coklat memiliki rasa bersalah yang menghantui dirinya. Beragam sugesti muncul dari berbagai kalangan tentang mengkonsumsi coklat.
Bagi penggemar coklat, silakan untuk mensugestikan diri, bahwa coklat tidak menyebabkan jerawat, coklat tidak menggemukkan, penderita diabetes boleh mengkonsumsi coklat, coklat tidak sebabkan karis gigi, coklat tidak sebabkan sakit jantung, bahkan coklat pun mampu menghadirkan tenaga batin.
Semua pernyataan di atas, merupakan kesimpulan dari hasil penelitian tentang coklat bagi tubuh. Sebagai contoh, coklat tidak menggemukkan, adalah sangat tepat. Bahkan, makan sederhana termasuk mengkonsumsi coklat, diiringi senam kardiovaskular merupakan rahasia mengekalkan berat badan sehat.
Dengan citarasa yang manis, coklat memiliki upaya mencetuskan reaksi positip kepada tindakan kimia otak dan dapat memperbaiki mood seseorang. Silakan mengigit dan menyantap coklat, ketika sedang marah, dijamin rasa marah akan hilang. Hal itu juga yang menyebabkan coklat menjadi salah satu ikon kuliner Valentine’s Day. Memberikan coklat sebagai kado Valentine, merupakan hadiah yang sempurna.
Rudi D. Sukmana
Strawberry, Buah Cinta Kaya Khasiat
Bogor, Jurnal Bogor
Mendekati Valentine’s Day, buah yang satu ini banyak dicari para pecinta yang memanfaatkan momentum hari itu untuk mengungkapkan rasa kasih sayang. Bentuk buah ini yang unik seperti hati merah menyala bila telah matang, menjadikan strawberry ditempatkan sebagai simbol buah cinta, mengungguli buah-buah lain, misalnya apel.
Konon, pada zaman Yunani kuno, buah ini sudah resmi diangkat menjadi lambang dewi cinta, karena keberadaannya. Strawberry dianggap memenuhi kriteria warna, rasa, bentuk, dan khasiat yang sangat dibutuhkan tubuh. Hal itu membuat buah ini menjadi terkenal, dan dibudidayakan sejak abad 13. Strawberry sendiri memiliki rasa manis asam dan mampu membangkitkan kesegaran tubuh.
Sebagai tanaman buah herba yang rata-rata memiliki 200 biji kecil per satu buahnya, strawberry memiliki lebih dari 700 macam jenis. Dengan nama Latin Fragaria, nama itu berkaitan dengan ‘fragrance’ atau aroma. Nama strawberry sendiri konon berkaitan dengan ‘straw’ alias merang, yang dipakai untuk mengalasi buah berry berwarna merah itu.
Salah satu jenis spesies strawberry, Fragaria chiloensis L, menyebar ke berbagai negara di benua Amerika, Eropa dan Asia. Spesies yang lainnya yaitu Fragaria vesca L, bahkan penyebarannya lebih luas dibandingkan spesies lainnya. Jenis strawberry ini pula yang pertama kali masuk ke Indonesia.
Warna merah pada strawberry matang disebabkan pigmen warna antosianin dan mengandung antioksidan tinggi. Antioksidan, berarti memiliki khasiat yang dibutuhkan tubuh. Selain itu, strawberry memiliki kandungan nutrisi, kaya serat, rendah kalori, dan mengandung vitamin C, folat, potassium, serta asam ellagic.
Menikmati buah strawberry, seakan menikmati rasa hati sang dewi cinta. Apalah artinya rasa manis dan asam yang dihadirkan, karena rasa segar ternyata lebih dibutuhkan tubuh. Kesegaran yang didapat dari segudang khasiat yang terkandung dalam strawberry, sebagai hadiah penuh cinta dari sang dewi cinta yang ada dalam diri kita, untuk kesehatan tubuh kita sendiri.
Rudi D. Sukmana
Mendekati Valentine’s Day, buah yang satu ini banyak dicari para pecinta yang memanfaatkan momentum hari itu untuk mengungkapkan rasa kasih sayang. Bentuk buah ini yang unik seperti hati merah menyala bila telah matang, menjadikan strawberry ditempatkan sebagai simbol buah cinta, mengungguli buah-buah lain, misalnya apel.
Konon, pada zaman Yunani kuno, buah ini sudah resmi diangkat menjadi lambang dewi cinta, karena keberadaannya. Strawberry dianggap memenuhi kriteria warna, rasa, bentuk, dan khasiat yang sangat dibutuhkan tubuh. Hal itu membuat buah ini menjadi terkenal, dan dibudidayakan sejak abad 13. Strawberry sendiri memiliki rasa manis asam dan mampu membangkitkan kesegaran tubuh.
Sebagai tanaman buah herba yang rata-rata memiliki 200 biji kecil per satu buahnya, strawberry memiliki lebih dari 700 macam jenis. Dengan nama Latin Fragaria, nama itu berkaitan dengan ‘fragrance’ atau aroma. Nama strawberry sendiri konon berkaitan dengan ‘straw’ alias merang, yang dipakai untuk mengalasi buah berry berwarna merah itu.
Salah satu jenis spesies strawberry, Fragaria chiloensis L, menyebar ke berbagai negara di benua Amerika, Eropa dan Asia. Spesies yang lainnya yaitu Fragaria vesca L, bahkan penyebarannya lebih luas dibandingkan spesies lainnya. Jenis strawberry ini pula yang pertama kali masuk ke Indonesia.
Warna merah pada strawberry matang disebabkan pigmen warna antosianin dan mengandung antioksidan tinggi. Antioksidan, berarti memiliki khasiat yang dibutuhkan tubuh. Selain itu, strawberry memiliki kandungan nutrisi, kaya serat, rendah kalori, dan mengandung vitamin C, folat, potassium, serta asam ellagic.
Menikmati buah strawberry, seakan menikmati rasa hati sang dewi cinta. Apalah artinya rasa manis dan asam yang dihadirkan, karena rasa segar ternyata lebih dibutuhkan tubuh. Kesegaran yang didapat dari segudang khasiat yang terkandung dalam strawberry, sebagai hadiah penuh cinta dari sang dewi cinta yang ada dalam diri kita, untuk kesehatan tubuh kita sendiri.
Rudi D. Sukmana
Pondok Lesehan Ayam Gepuk dan Daging Gepuk Sukarasa
Melahap Ayam Empuk Hingga ke Tulang
Bogor, Jurnal Bogor
Hujan yang membasahi Bogor sejak dini hari kembali turun siang itu. Derasnya hujan yang mengguyur membuat Jurnal Bogor memasuki satu tempat makan yang ternyata menyajikan menu dengan rasa yang istimewa. Nama tempat makan itu, Pondok Lesehan Ayam Gepuk dan Daging Gepuk Sukarasa.
Menurut Etty Aswatinur, pemilik Pondok Lesehan Ayam Gepuk dan Daging Gepuk Sukarasa, tempat makan yang dikelolanya itu baru beroperasi sejak dua bulan lalu. Rumah makan yang berlokasi di Jl. Baru Villa Duta No.1000 Bogor itu disewanya selama lima tahun. “Sebelumnya saya sudah menjalankan usaha catering lebih dari empat tahun lalu di rumah saya Jl. Arzimar,” ujar Etty kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Etty, usahanya melayani jasa catering untuk rumahan dan karyawan kantor masih berjalan hingga saat ini. Pondok lesehan yang memiliki luas 1.000 meter persegi, dikatakannya, sebagai perluasan usaha. “Tempat kami dibuka setiap hari, mulai jam 9.00 sampai jam 21.30,” ujarnya.
Tempat makan itu didisain sedemikian rupa, dengan 10 saung lesehan yang berjejer memang cocok dengan nama yang diusung, yaitu pondok lesehan. “Konsep kami membidik pengunjung keluarga dan karyawan, untuk menikmati menu yang disediakan dengan santai, serasa di rumah sendiri,” papar Etty.
Etty juga menambahkan, para pengunjung bisa berleha-leha melepas lelah di saung yang sudah disediakan, yang mampu menampung sepuluh orang setiap satu saung lesehannya. “Setelah menyantap hidangan, silakan bila ingin tidur, atau berlama-lama menikmati suasana di sini,” ucapnya.
Meski menu yang disediakan tidak lebih dari 50 jenis masakan dan minuman, Etty mengatakan, nantinya akan ada penambahan menu spesial yang merupakan wujud apresiasinya kepada para pengunjung. “Salah satu menu yang akan kita sediakan, yaitu gurame goreng dan gurame bakar, karena banyak pengunjung yang menanyakan jenis hidangan satu itu,” tukasnya.
Harga menu makanan dan minuman yang dibandrol di pondok lesehan itu berkisar mulai harga Rp. 2.000 sampai Rp. 35.000. Menu termahal saat ini adalah hidangan ayam bakakak, yaitu hidangan gepuk ayam utuh yang disajikan untuk seluruh keluarga. “Satu ayam bakakak bisa dinikmati enam sampai delapan orang,” ungkap Etty.
Menu minuman yang disediakan di tempat itu terdiri dari tujuh jenis minuman, mulai dari harga Rp. 3.000 sampai Rp. 5.000 untuk aneka juice, lemon dan cappuccino. “Pengunjung biasanya memesan aneka juice yang tersedia, seperti juice orange, juice alpukat, dan juice strawberry,” jelas Etty.
Untuk menu makanan, dikatakan Etty, pengunjung banyak yang menyenangi ayam gepuk, daging gepuk, dan sop iga. “Menu-menu itu menjadi andalan dan unggulan rumah makan kami sejak buka,” tuturnya.
Meski dilihat dari penampilan ayam gepuk dan daging gepuk mirip dengan ayam goreng dan daging empal, dikatakan Etty ada perbedaan antara masakan gepuk dengan masakan biasa. “Dari prosesnya, sama tetapi hasil yang diperoleh berbeda. Gepuk seperti proses presto, sehingga menjadikan tulang empuk,” terangnya.
Selain itu, lanjut Etty, gepuk memiliki tampilan lebih basah dibandingkan masakan biasa. “Gepuk yang asli itu, dibalur dengan sambal gepuk, yaitu sambal bajak yang dibuat dari cabai rawit besar atau rawit Madura, sehingga pedasnya sangat terasa,” paparnya.
Dengan penjelasan panjang lebar itu, ditambah cuaca hujan yang membuat udara menjadi dingin, akhirnya satu menu gepuk ayam pun tersaji di atas lesehan, berteman dengan segelas teh tawar panas. Menu yang terhidang itu masih ditambah dengan satu tempe mendoan yang masih panas sebagai teman gepuk ayam.
Melahap seporsi gepuk ayam dengan tempe mendoan di tengah hujan deras, ternyata mampu menghadirkan nuansa rasa yang berbeda. Rasa sambal bajak, kali pertama memang cukup ngagegel, tapi selanjutnya, untuk lidah yang sudah kebal dengan citarasa pedas, sambal bajak itu kurang seuhah.
Meski demikian, daging ayam gepuk sangat berkoordinasi rasa dengan sambal bajaknya. Kenikmatan puncak adalah pada saat tulang ayam digeletuk, sangat empuk. Membuat sumsum tulang ayam dengan leluasa terseruput masuk melewati lidah rasa.
Kesempurnaan antara makanan dan minuman pun terjalin, setelah segelas air teh tawar panas yang diminum menutup ritual diri itu. Kehangatan yang menjalar pada sekujur tubuh membuat suhu dingin akibat hujan yang turun termaafkan.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Hujan yang membasahi Bogor sejak dini hari kembali turun siang itu. Derasnya hujan yang mengguyur membuat Jurnal Bogor memasuki satu tempat makan yang ternyata menyajikan menu dengan rasa yang istimewa. Nama tempat makan itu, Pondok Lesehan Ayam Gepuk dan Daging Gepuk Sukarasa.
Menurut Etty Aswatinur, pemilik Pondok Lesehan Ayam Gepuk dan Daging Gepuk Sukarasa, tempat makan yang dikelolanya itu baru beroperasi sejak dua bulan lalu. Rumah makan yang berlokasi di Jl. Baru Villa Duta No.1000 Bogor itu disewanya selama lima tahun. “Sebelumnya saya sudah menjalankan usaha catering lebih dari empat tahun lalu di rumah saya Jl. Arzimar,” ujar Etty kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Etty, usahanya melayani jasa catering untuk rumahan dan karyawan kantor masih berjalan hingga saat ini. Pondok lesehan yang memiliki luas 1.000 meter persegi, dikatakannya, sebagai perluasan usaha. “Tempat kami dibuka setiap hari, mulai jam 9.00 sampai jam 21.30,” ujarnya.
Tempat makan itu didisain sedemikian rupa, dengan 10 saung lesehan yang berjejer memang cocok dengan nama yang diusung, yaitu pondok lesehan. “Konsep kami membidik pengunjung keluarga dan karyawan, untuk menikmati menu yang disediakan dengan santai, serasa di rumah sendiri,” papar Etty.
Etty juga menambahkan, para pengunjung bisa berleha-leha melepas lelah di saung yang sudah disediakan, yang mampu menampung sepuluh orang setiap satu saung lesehannya. “Setelah menyantap hidangan, silakan bila ingin tidur, atau berlama-lama menikmati suasana di sini,” ucapnya.
Meski menu yang disediakan tidak lebih dari 50 jenis masakan dan minuman, Etty mengatakan, nantinya akan ada penambahan menu spesial yang merupakan wujud apresiasinya kepada para pengunjung. “Salah satu menu yang akan kita sediakan, yaitu gurame goreng dan gurame bakar, karena banyak pengunjung yang menanyakan jenis hidangan satu itu,” tukasnya.
Harga menu makanan dan minuman yang dibandrol di pondok lesehan itu berkisar mulai harga Rp. 2.000 sampai Rp. 35.000. Menu termahal saat ini adalah hidangan ayam bakakak, yaitu hidangan gepuk ayam utuh yang disajikan untuk seluruh keluarga. “Satu ayam bakakak bisa dinikmati enam sampai delapan orang,” ungkap Etty.
Menu minuman yang disediakan di tempat itu terdiri dari tujuh jenis minuman, mulai dari harga Rp. 3.000 sampai Rp. 5.000 untuk aneka juice, lemon dan cappuccino. “Pengunjung biasanya memesan aneka juice yang tersedia, seperti juice orange, juice alpukat, dan juice strawberry,” jelas Etty.
Untuk menu makanan, dikatakan Etty, pengunjung banyak yang menyenangi ayam gepuk, daging gepuk, dan sop iga. “Menu-menu itu menjadi andalan dan unggulan rumah makan kami sejak buka,” tuturnya.
Meski dilihat dari penampilan ayam gepuk dan daging gepuk mirip dengan ayam goreng dan daging empal, dikatakan Etty ada perbedaan antara masakan gepuk dengan masakan biasa. “Dari prosesnya, sama tetapi hasil yang diperoleh berbeda. Gepuk seperti proses presto, sehingga menjadikan tulang empuk,” terangnya.
Selain itu, lanjut Etty, gepuk memiliki tampilan lebih basah dibandingkan masakan biasa. “Gepuk yang asli itu, dibalur dengan sambal gepuk, yaitu sambal bajak yang dibuat dari cabai rawit besar atau rawit Madura, sehingga pedasnya sangat terasa,” paparnya.
Dengan penjelasan panjang lebar itu, ditambah cuaca hujan yang membuat udara menjadi dingin, akhirnya satu menu gepuk ayam pun tersaji di atas lesehan, berteman dengan segelas teh tawar panas. Menu yang terhidang itu masih ditambah dengan satu tempe mendoan yang masih panas sebagai teman gepuk ayam.
Melahap seporsi gepuk ayam dengan tempe mendoan di tengah hujan deras, ternyata mampu menghadirkan nuansa rasa yang berbeda. Rasa sambal bajak, kali pertama memang cukup ngagegel, tapi selanjutnya, untuk lidah yang sudah kebal dengan citarasa pedas, sambal bajak itu kurang seuhah.
Meski demikian, daging ayam gepuk sangat berkoordinasi rasa dengan sambal bajaknya. Kenikmatan puncak adalah pada saat tulang ayam digeletuk, sangat empuk. Membuat sumsum tulang ayam dengan leluasa terseruput masuk melewati lidah rasa.
Kesempurnaan antara makanan dan minuman pun terjalin, setelah segelas air teh tawar panas yang diminum menutup ritual diri itu. Kehangatan yang menjalar pada sekujur tubuh membuat suhu dingin akibat hujan yang turun termaafkan.
Rudi D. Sukmana
Kue Cubit Memang Mencubit Rasa
Bogor, Jurnal Bogor
Tidak ada yang tahu pasti, kapan kue cubit muncul sebagai salah satu ikon kuliner di negeri kita. Sebagai jajanan popular yang sangat dimungkinkan berasal dari Jakarta, keberadaan kue yang satu ini semakin menjamur di daerah-daerah tetangga, seperti Tangerang, Bekasi, juga tidak ketinggalan Bogor.
Ketika masih kecil pun, saya sudah sering melihat penjual kue cubit menjajakan dagangannya. Pada waktu itu, keluarga saya sepakat menamakan kue itu dengan nama kue pancong. Entah, kenapa pula namanya kue pancong? Mungkin karena setelah kue matang, si penjual mencocokkan alat sejenis hook kecil untuk mengambil kue matang yang masih panas di atas loyang khususnya, untuk dipindahkan ke ‘ruang display’.
Istilah kue cubit pun baru ngeuh saya pahami, pada waktu saya masih kuliah. Seorang sahabat memiliki mode rambut yang dijuluki model gorden kue cubit. Pada waktu itu, saya bertanya, apa itu kue cubit, setelah ditunjukkan dan merasakan kue tersebut, saya hanya berkata dalam hati, “Oh, kue cubit itu kue pancong, toh”.
Kue berukuran kecil dengan diameter sekitar 4 centimeter ini, biasa dijajakan di depan sekolah oleh pedagang kaki lima. Kue ini menggunakan campuran susu dan tepung terigu sebagai komponen utamanya. Adonan lalu dituangkan dalam cetakan loyang baja, dan dalam beberapa menit, kue telah matang. Rasanya, memang mencubit rasa.
Dinamakan kue cubit, karena setelah kue matang, diambil dengan alat penjepit oleh penjualnya, seperti dicubit. Bentuknya, mirip-mirip poffertjes, kue tradisional khas Nagari Walanda. Padahal, poffertjes sendiri penampilannya mirip panekuuk atau pancake atau kue dadar, dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih manis.
Kadang saya sering berpikir, cukup banyak makanan Indonesia yang mirip-mirip dengan makanan dari mancanegara, seperti gado-gado yang mirip salad, serabi yang mirip panekuuk, toge goreng yang mirip tepanyaki, dan kue cubit yang mirip poffertjes.
Seorang penjual kue cubit yang sempat saya tanyakan pun tidak tahu pasti asal muasalnya kue itu. Yaya, penjual kue cubit itu mengatakan, kue cubit, ya kue cubit. Begitulah kearifan seorang pedagang kecil, penjaja kue cubit.
Memang, layaknya kue cubit, makanan lain pun memiliki nama. Bahkan, di rumah makan dan restoran, nama makanan yang sering kita makan pun bisa berganti, sesuai si empunya rumah makan, hendak menamakan apa menu yang disajikannya itu.
Semua hanyalah sekedar nama, baik makanan, minuman, manusia, hewan, tumbuhan, dan segalanya yang memiliki nama, semua, sekali lagi hanyalah sekedar nama. Sebagai jalan untuk menuju pada Sang Nama sejati.
Rudi D. Sukmana
Tidak ada yang tahu pasti, kapan kue cubit muncul sebagai salah satu ikon kuliner di negeri kita. Sebagai jajanan popular yang sangat dimungkinkan berasal dari Jakarta, keberadaan kue yang satu ini semakin menjamur di daerah-daerah tetangga, seperti Tangerang, Bekasi, juga tidak ketinggalan Bogor.
Ketika masih kecil pun, saya sudah sering melihat penjual kue cubit menjajakan dagangannya. Pada waktu itu, keluarga saya sepakat menamakan kue itu dengan nama kue pancong. Entah, kenapa pula namanya kue pancong? Mungkin karena setelah kue matang, si penjual mencocokkan alat sejenis hook kecil untuk mengambil kue matang yang masih panas di atas loyang khususnya, untuk dipindahkan ke ‘ruang display’.
Istilah kue cubit pun baru ngeuh saya pahami, pada waktu saya masih kuliah. Seorang sahabat memiliki mode rambut yang dijuluki model gorden kue cubit. Pada waktu itu, saya bertanya, apa itu kue cubit, setelah ditunjukkan dan merasakan kue tersebut, saya hanya berkata dalam hati, “Oh, kue cubit itu kue pancong, toh”.
Kue berukuran kecil dengan diameter sekitar 4 centimeter ini, biasa dijajakan di depan sekolah oleh pedagang kaki lima. Kue ini menggunakan campuran susu dan tepung terigu sebagai komponen utamanya. Adonan lalu dituangkan dalam cetakan loyang baja, dan dalam beberapa menit, kue telah matang. Rasanya, memang mencubit rasa.
Dinamakan kue cubit, karena setelah kue matang, diambil dengan alat penjepit oleh penjualnya, seperti dicubit. Bentuknya, mirip-mirip poffertjes, kue tradisional khas Nagari Walanda. Padahal, poffertjes sendiri penampilannya mirip panekuuk atau pancake atau kue dadar, dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih manis.
Kadang saya sering berpikir, cukup banyak makanan Indonesia yang mirip-mirip dengan makanan dari mancanegara, seperti gado-gado yang mirip salad, serabi yang mirip panekuuk, toge goreng yang mirip tepanyaki, dan kue cubit yang mirip poffertjes.
Seorang penjual kue cubit yang sempat saya tanyakan pun tidak tahu pasti asal muasalnya kue itu. Yaya, penjual kue cubit itu mengatakan, kue cubit, ya kue cubit. Begitulah kearifan seorang pedagang kecil, penjaja kue cubit.
Memang, layaknya kue cubit, makanan lain pun memiliki nama. Bahkan, di rumah makan dan restoran, nama makanan yang sering kita makan pun bisa berganti, sesuai si empunya rumah makan, hendak menamakan apa menu yang disajikannya itu.
Semua hanyalah sekedar nama, baik makanan, minuman, manusia, hewan, tumbuhan, dan segalanya yang memiliki nama, semua, sekali lagi hanyalah sekedar nama. Sebagai jalan untuk menuju pada Sang Nama sejati.
Rudi D. Sukmana
Rahisa Restaurant Sahira Butik Hotel
Sensasi Ayam Bakar Buitenzorg
Bogor, Jurnal Bogor
Siapa yang dapat menyangka di Rahisa Restaurant ternyata tersedia satu menu yang memiliki citarasa berkelas internasional? Restoran yang berada di dalam Sahira Butik Hotel Jl. Paledang No.53 Bogor itu, sebenarnya dibuka bukan hanya untuk pengunjung yang menginap di hotel saja.
“Rahisa Restaurant sebenarnya dibuka untuk umum. Siapa saja boleh menikmati hidangan yang kami sediakan. Hanya saja, mungkin masyarakat sudah ‘keder duluan’ dengan predikat restoran hotel yang kami sandang,” ujar Dini Dewayani, Food & Beverage Manager Sahira Butik Hotel kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Dini, Rahisa Restaurant yang resmi beroperasi seiring dengan beroperasinya Sahira Butik Hotel delapan tahun lalu, menyediakan menu-menu istimewa yang memiliki harga sangat bersaing dengan salah satu kafe megah terdekat. “Dari harga dan rasa menu masakan yang kami hidangkan, banyak pengunjung tempat kami yang mengatakan, selain rasanya lebih enak, harganya pun lebih murah,” tukasnya.
Luas area makan resto itu, lanjut Dini, lebih dari 40 meter persegi. Letaknya yang bersebelahan dengan kolam renang, menjadikan Sahira Restaurant berpenampilan elit dan memiliki kesegaran udara langsung, tanpa alat pendingin suhu. Tempat duduk yang tersedia di area makan berjumlah 48 kursi, yang ditata sedemikian rupa sehingga menampilkan kesan mewah.
Meski menu yang disediakan tidak lebih dari 100 jenis masakan dan minuman, Dini mengatakan, para awak dapur resto itu mampu meracik masakan yang dipesan oleh pengunjung. “Chef kami, Adli Bawazir sudah berpengalaman internasional lebih dari 10 tahun di bidang kuliner,” jelasnya.
Dini juga mengatakan, harga menu makanan dan minuman yang dibandrol di restonya berkisar mulai harga Rp. 10.000 sampai Rp. 25.000 untuk menu-menu minuman, dan Rp. 13.000 sampai Rp. 70.000 untuk menu-menu makanan. “Menu minuman termahal mocktail, sedangkan menu makanan termahal yaitu steak daging sapi impor,” paparnya.
Sebagai tempat untuk menikmati santapan lezat, sudah tentu hotel menawarkan suasana yang nyaman untuk disinggahi dan melepas lelah, tidak terkecuali Rahisa Restaurant. Dalam malam-malam tertentu, resto itu pun menampilkan seorang pianis yang menemani pengunjung bersantap malam dengan alunan lagu-lagu instrumental. “Pengunjung yang ingin bernyanyi, bisa langsung menaiki panggung dan akan diiringi oleh pianis kami,” papar Dini.
Saat ini, resto itu pun dilengkapi dengan fasilitas Wi-Fi, yaitu fasilitas berinternet tanpa kabel. Pengunjung yang singgah ke tempat itu dan membawa lap top, dapat langsung menggunakan internet sambil menikmati menu-menu yang disuguhkan.
Menu makanan yang menjadi favorit pengunjung Sahira Restaurant, dikatakan Dini, adalah sop buntut dan ayam bakar Buitenzorg. Ayam bakar Buitenzorg sendiri merupakan menu hasil inovasi dan kreasi para kru dapur resto itu. “Menu itu mirip ayam taliwang, tetapi bumbu-bumbunya jauh berbeda,” tukasnya.
Sensasi rasa yang hadir dari menu ayam bakar Buitenzorg sendiri, ternyata sangat luar biasa. Daging ayamnya sangat empuk, matang hingga ke dalam. Ada nuansa rasa pedas yang hadir akibat proses pengolahan menu itu.
Bawang merah, bawang putih, cabai merah, dan terasi yang diaduk jadi satu, lalu dicampur dengan air kelapa dalam proses pengungkepan ayam membuat bumbu meresap hingga ke dalam tulang. Terlebih lagi, setelah pengungkepan, ayam dibakar dalam oven sehingga mampu menghadirkan citarasa sensasional. Sebuah sajian menu yang nyegrog selera.
Sebagai sajian kuliner, menu hasil inovasi itu layak untuk dijadikan satu dari sekian banyak masakan tradisional khas Buitenzorg. Dengan harga Rp. 30.000 ++ per porsi menu itu sangat layak direkomendasikan. Bahkan, bila perlu resep rahasia peracikan menu itu disebarluaskan, sehingga banyak penjual makanan yang menghidangkan menu Ayam Bakar Buitenzorg di berbagai tempat di Kota Bogor.
Untuk menu minuman, favorit pengunjung banyak memesan ice juice, terutama ice orange juice. Rasanya sendiri cukup umum, namun minuman seharga Rp. 16.000 ++ itu sangat harmonis sebagai penutup dari hidangan ayam bakar buitenzorg.
Rudi D. Sukmana
Bogor, Jurnal Bogor
Siapa yang dapat menyangka di Rahisa Restaurant ternyata tersedia satu menu yang memiliki citarasa berkelas internasional? Restoran yang berada di dalam Sahira Butik Hotel Jl. Paledang No.53 Bogor itu, sebenarnya dibuka bukan hanya untuk pengunjung yang menginap di hotel saja.
“Rahisa Restaurant sebenarnya dibuka untuk umum. Siapa saja boleh menikmati hidangan yang kami sediakan. Hanya saja, mungkin masyarakat sudah ‘keder duluan’ dengan predikat restoran hotel yang kami sandang,” ujar Dini Dewayani, Food & Beverage Manager Sahira Butik Hotel kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dikatakan Dini, Rahisa Restaurant yang resmi beroperasi seiring dengan beroperasinya Sahira Butik Hotel delapan tahun lalu, menyediakan menu-menu istimewa yang memiliki harga sangat bersaing dengan salah satu kafe megah terdekat. “Dari harga dan rasa menu masakan yang kami hidangkan, banyak pengunjung tempat kami yang mengatakan, selain rasanya lebih enak, harganya pun lebih murah,” tukasnya.
Luas area makan resto itu, lanjut Dini, lebih dari 40 meter persegi. Letaknya yang bersebelahan dengan kolam renang, menjadikan Sahira Restaurant berpenampilan elit dan memiliki kesegaran udara langsung, tanpa alat pendingin suhu. Tempat duduk yang tersedia di area makan berjumlah 48 kursi, yang ditata sedemikian rupa sehingga menampilkan kesan mewah.
Meski menu yang disediakan tidak lebih dari 100 jenis masakan dan minuman, Dini mengatakan, para awak dapur resto itu mampu meracik masakan yang dipesan oleh pengunjung. “Chef kami, Adli Bawazir sudah berpengalaman internasional lebih dari 10 tahun di bidang kuliner,” jelasnya.
Dini juga mengatakan, harga menu makanan dan minuman yang dibandrol di restonya berkisar mulai harga Rp. 10.000 sampai Rp. 25.000 untuk menu-menu minuman, dan Rp. 13.000 sampai Rp. 70.000 untuk menu-menu makanan. “Menu minuman termahal mocktail, sedangkan menu makanan termahal yaitu steak daging sapi impor,” paparnya.
Sebagai tempat untuk menikmati santapan lezat, sudah tentu hotel menawarkan suasana yang nyaman untuk disinggahi dan melepas lelah, tidak terkecuali Rahisa Restaurant. Dalam malam-malam tertentu, resto itu pun menampilkan seorang pianis yang menemani pengunjung bersantap malam dengan alunan lagu-lagu instrumental. “Pengunjung yang ingin bernyanyi, bisa langsung menaiki panggung dan akan diiringi oleh pianis kami,” papar Dini.
Saat ini, resto itu pun dilengkapi dengan fasilitas Wi-Fi, yaitu fasilitas berinternet tanpa kabel. Pengunjung yang singgah ke tempat itu dan membawa lap top, dapat langsung menggunakan internet sambil menikmati menu-menu yang disuguhkan.
Menu makanan yang menjadi favorit pengunjung Sahira Restaurant, dikatakan Dini, adalah sop buntut dan ayam bakar Buitenzorg. Ayam bakar Buitenzorg sendiri merupakan menu hasil inovasi dan kreasi para kru dapur resto itu. “Menu itu mirip ayam taliwang, tetapi bumbu-bumbunya jauh berbeda,” tukasnya.
Sensasi rasa yang hadir dari menu ayam bakar Buitenzorg sendiri, ternyata sangat luar biasa. Daging ayamnya sangat empuk, matang hingga ke dalam. Ada nuansa rasa pedas yang hadir akibat proses pengolahan menu itu.
Bawang merah, bawang putih, cabai merah, dan terasi yang diaduk jadi satu, lalu dicampur dengan air kelapa dalam proses pengungkepan ayam membuat bumbu meresap hingga ke dalam tulang. Terlebih lagi, setelah pengungkepan, ayam dibakar dalam oven sehingga mampu menghadirkan citarasa sensasional. Sebuah sajian menu yang nyegrog selera.
Sebagai sajian kuliner, menu hasil inovasi itu layak untuk dijadikan satu dari sekian banyak masakan tradisional khas Buitenzorg. Dengan harga Rp. 30.000 ++ per porsi menu itu sangat layak direkomendasikan. Bahkan, bila perlu resep rahasia peracikan menu itu disebarluaskan, sehingga banyak penjual makanan yang menghidangkan menu Ayam Bakar Buitenzorg di berbagai tempat di Kota Bogor.
Untuk menu minuman, favorit pengunjung banyak memesan ice juice, terutama ice orange juice. Rasanya sendiri cukup umum, namun minuman seharga Rp. 16.000 ++ itu sangat harmonis sebagai penutup dari hidangan ayam bakar buitenzorg.
Rudi D. Sukmana
Wahana Kuliner The Jungle
Bogor, Jurnal Bogor
Memasuki wahana wisata air tematik terlengkap dan termodern The Jungle bersama keluarga, tentu saja kita tidak melulu disuguhi wahana-wahana yang sangat asyik dinikmati seluruh keluarga.
Bila berkecipak-kecipuk di dalam kolam renang sudah puas kita rasakan, udara dingin ditambah lebih dari satu jam berendam di dalam air, tentu saja membuat perut bernyanyi minta diisi, paling tidak segelas susu hangat untuk melawan dingin yang membuat gigi bergemeletuk kencang.
Tidak perlu keluar area untuk mencari makan, di dalam kawasan seluas 3,5 hektar itu pun sudah disediakan satu wahana kuliner berupa arena makan yang menyediakan berbagai jenis menu masakan yang membangkitkan selera.
Menurut Winda Okta Nurbani, Public Relation The Jungle, sedikitnya ada sebelas stand yang menjajakan menu makanan dan minuman di area food court, yaitu Dinda Café yang menjajakan masakan Padang, Bunaken Café dengan masakan Origin Bento, Angel Café dengan sosis panggangnya.
Selain itu, ada juga Kurei Bento Japanese Food, Cerra Snack and Bar, Oriental Café, Feri’s Café, Derren Café, Berliana Café, d’Els Café Corner, dan Top’s Café. “Semua yang dijajakan di food court dapat dibeli dengan menggunakan kartu deposit yang didapat di loket pintu masuk,” ujar Winda kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Para pengunjung dapat menikmati sajian menu dari kafe favoritnya di meja yang sudah disediakan pengelola The Jungle. Meja yang dinaungi payung besar itu selalu terlihat penuh, apalagi bila hari libur. Tetapi tidak usah cemas, pengunjung pun kebanyakan mau untuk berbagi meja dengan pengunjung yang lain.
Di dekat area food court pun ada satu tenda yang menjual roti unyil dan minuman. Tenda itu agak berbeda karena tidak menggunakan kartu deposit dalam menjual dagangannya. Satu roti unyil dijual dengan harga Rp. 750, cukup lumayan untuk mengganjal perut yang berkokok minta diisi.
Rudi D. Sukmana
Memasuki wahana wisata air tematik terlengkap dan termodern The Jungle bersama keluarga, tentu saja kita tidak melulu disuguhi wahana-wahana yang sangat asyik dinikmati seluruh keluarga.
Bila berkecipak-kecipuk di dalam kolam renang sudah puas kita rasakan, udara dingin ditambah lebih dari satu jam berendam di dalam air, tentu saja membuat perut bernyanyi minta diisi, paling tidak segelas susu hangat untuk melawan dingin yang membuat gigi bergemeletuk kencang.
Tidak perlu keluar area untuk mencari makan, di dalam kawasan seluas 3,5 hektar itu pun sudah disediakan satu wahana kuliner berupa arena makan yang menyediakan berbagai jenis menu masakan yang membangkitkan selera.
Menurut Winda Okta Nurbani, Public Relation The Jungle, sedikitnya ada sebelas stand yang menjajakan menu makanan dan minuman di area food court, yaitu Dinda Café yang menjajakan masakan Padang, Bunaken Café dengan masakan Origin Bento, Angel Café dengan sosis panggangnya.
Selain itu, ada juga Kurei Bento Japanese Food, Cerra Snack and Bar, Oriental Café, Feri’s Café, Derren Café, Berliana Café, d’Els Café Corner, dan Top’s Café. “Semua yang dijajakan di food court dapat dibeli dengan menggunakan kartu deposit yang didapat di loket pintu masuk,” ujar Winda kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Para pengunjung dapat menikmati sajian menu dari kafe favoritnya di meja yang sudah disediakan pengelola The Jungle. Meja yang dinaungi payung besar itu selalu terlihat penuh, apalagi bila hari libur. Tetapi tidak usah cemas, pengunjung pun kebanyakan mau untuk berbagi meja dengan pengunjung yang lain.
Di dekat area food court pun ada satu tenda yang menjual roti unyil dan minuman. Tenda itu agak berbeda karena tidak menggunakan kartu deposit dalam menjual dagangannya. Satu roti unyil dijual dengan harga Rp. 750, cukup lumayan untuk mengganjal perut yang berkokok minta diisi.
Rudi D. Sukmana
Langganan:
Postingan (Atom)