Bogor, Jurnal Bogor
Tidak ada yang tahu pasti, kapan kue cubit muncul sebagai salah satu ikon kuliner di negeri kita. Sebagai jajanan popular yang sangat dimungkinkan berasal dari Jakarta, keberadaan kue yang satu ini semakin menjamur di daerah-daerah tetangga, seperti Tangerang, Bekasi, juga tidak ketinggalan Bogor.
Ketika masih kecil pun, saya sudah sering melihat penjual kue cubit menjajakan dagangannya. Pada waktu itu, keluarga saya sepakat menamakan kue itu dengan nama kue pancong. Entah, kenapa pula namanya kue pancong? Mungkin karena setelah kue matang, si penjual mencocokkan alat sejenis hook kecil untuk mengambil kue matang yang masih panas di atas loyang khususnya, untuk dipindahkan ke ‘ruang display’.
Istilah kue cubit pun baru ngeuh saya pahami, pada waktu saya masih kuliah. Seorang sahabat memiliki mode rambut yang dijuluki model gorden kue cubit. Pada waktu itu, saya bertanya, apa itu kue cubit, setelah ditunjukkan dan merasakan kue tersebut, saya hanya berkata dalam hati, “Oh, kue cubit itu kue pancong, toh”.
Kue berukuran kecil dengan diameter sekitar 4 centimeter ini, biasa dijajakan di depan sekolah oleh pedagang kaki lima. Kue ini menggunakan campuran susu dan tepung terigu sebagai komponen utamanya. Adonan lalu dituangkan dalam cetakan loyang baja, dan dalam beberapa menit, kue telah matang. Rasanya, memang mencubit rasa.
Dinamakan kue cubit, karena setelah kue matang, diambil dengan alat penjepit oleh penjualnya, seperti dicubit. Bentuknya, mirip-mirip poffertjes, kue tradisional khas Nagari Walanda. Padahal, poffertjes sendiri penampilannya mirip panekuuk atau pancake atau kue dadar, dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih manis.
Kadang saya sering berpikir, cukup banyak makanan Indonesia yang mirip-mirip dengan makanan dari mancanegara, seperti gado-gado yang mirip salad, serabi yang mirip panekuuk, toge goreng yang mirip tepanyaki, dan kue cubit yang mirip poffertjes.
Seorang penjual kue cubit yang sempat saya tanyakan pun tidak tahu pasti asal muasalnya kue itu. Yaya, penjual kue cubit itu mengatakan, kue cubit, ya kue cubit. Begitulah kearifan seorang pedagang kecil, penjaja kue cubit.
Memang, layaknya kue cubit, makanan lain pun memiliki nama. Bahkan, di rumah makan dan restoran, nama makanan yang sering kita makan pun bisa berganti, sesuai si empunya rumah makan, hendak menamakan apa menu yang disajikannya itu.
Semua hanyalah sekedar nama, baik makanan, minuman, manusia, hewan, tumbuhan, dan segalanya yang memiliki nama, semua, sekali lagi hanyalah sekedar nama. Sebagai jalan untuk menuju pada Sang Nama sejati.
Rudi D. Sukmana
Senin, 31 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar