Bogor, Jurnal Bogor
Pada satu kesempatan setelah hari lebaran, Ki Batin mengajak saya mengunjungi sesepuh yang menjadi panutannya. Terdorong untuk mengetahui lebih luas tentang Sang Rasa Jati, akhirnya kami berdua berangkat menuju daerah Empang Muara menuju kediaman Abah Rahman, sang sesepuh.
Setelah menyusuri gang-gang sempit dengan rumah-rumah kecil yang berhimpitan, akhirnya kami pun sampai di tempat kediaman Abah Rahman yang sangat sederhana. Sambutan Abah kepada kami berdua, bagaikan sambutan seorang ayah kepada anak-anaknya yang sudah lama tidak pernah berjumpa. Penuh dengan kasih sayang.
Di tempat Abah Rahman, ternyata sudah berkumpul para tamu lain. Setelah berkenalan dan bersilaturahmi, saya pun mengetahui para tamu itu adalah Satria, Pasha, Horas, dan Mang Dede. Mereka duduk lesehan mengelilingi sang Abah yang duduk di atas sofa. Meski Abah Rahman mempersilakan para tamunya untuk sama-sama duduk di sofa, demi kenyamanan dan kebersamaan, kami berdua pun duduk lesehan di lantai.
Dalam kunjungan itu, begitu banyak wejangan Abah Rahman yang disampaikan kepada kami. Namun yang sangat diingat, yaitu tentang makanan dan minuman yang dikatakan 100 persen halal. Menurut Abah Rahman, sekarang ini sangat sulit mendapati makanan dan minuman yang benar-benar halal seratus persen. “Kebanyakan manusia saat ini hanya terpaku pada bentuk lahir dari apa yang dimakan dan diminumnya saja, tidak lagi memaknai hakikat halal itu sendiri,” ujar Abah Rahman.
Dikatakan Abah Rahman, semua makanan akan menjadi halal atau bahkan sebaliknya, dapat menjadi haram, bila melihat pada faktor situasi yang terjadi. “Dapatkah dikatakan ketupat yang kita makan halal, bila kita memakannya secara berlebihan? Atau dapatkah dikatakan masakan opor ayam yang kita makan halal, bila tetangga terdekat kita masih kelaparan?” tanyanya sangat mendalam.
Lebih lanjut, Abah Rahman menyampaikan pertanyaan renungan, bisakah dikatakan halal, apabila manusia memakan seporsi masakan lebaran tanpa berlebihan, bila makanan itu didapat dengan cara yang merugikan, misalnya dibeli dari uang hasil korupsi?
Manusia makan dan minum, lanjut Abah Rahman, hakikatnya adalah untuk menyehatkan diri. Diri sehat yang dimaksud bukan saja tubuh atau raga, melainkan juga jiwa. Bila “Sesuap nasi dan seteguk air sehari yang didapat dari hasil keringat sendiri dan tidak merugikan orang lain, merupakan rezeki halal seratus persen yang berasal dari Gusti nu Welas Asih. Tapi, kebanyakan manusia tidak bisa memaknainya,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
Selasa, 01 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar