Bogor, Jurnal Bogor
Sahabat saya Ki Batin mengatakan, rasa tawar berbeda dengan rasa hambar. Rasa tawar dikatakannya lebih baik dibandingkan rasa hambar. “Rasa tawar itu seperti air tawar dan roti tawar, memiliki rasa tersendiri,” ujarnya sambil mengoles mentega di sebelah muka roti tawar yang tersaji di hadapan.
Rasa tawar dikatakan Ki Batin, merupakan rasa yang dapat masuk ke semua rasa bila dipadukan. Roti tawar, sebagai contoh, cocok dipadu dengan rasa apapun. “Roti tawar dipadu dengan gula, hasilnya rasa manis. Demikian pula bila roti tawar dipadu dengan saus sambal, hasilnya adalah rasa pedas,” terangnya.
Ki Batin menambahkan, lidah manusia sendiri memiliki empat alat ecap rasa sebagai rasa dasar. Lidah tiap manusia, menurutnya, dapat merasakan manis yang didapat dari alat ecap lidah bagian depan, rasa pahit yang dirasakan lidah bagian belakang, rasa manis dan rasa asam yang didapat dari alat ecap lidah bagian kiri dan kanan. “Lalu bagaimana dengan rasa pedas? Bagaimana pula dengan rasa tawar dan rasa hambar?” lanjutnya.
Rasa hambar sendiri, dikatakan Ki Batin, sebagai kondisi rasa yang tidak sampai pada rasa yang diinginkan. Segelas teh yang diberi gula pasir, akan dikatakan hambar bila rasa manisnya tidak terasa. Semangkuk sayur asam pun dikatakan hambar bila dinilai kurang asin, atau kurang asam. “Kondisi hambar, adalah rasa yang berada dalam kejenuhan diri,” ujarnya.
Ki Batin melanjutkan, kejenuhan diri biasanya muncul karena pudarnya cinta. Sebagai rasa, cinta merupakan rasa teragung. “Rasa cinta yang berasal dari ruh mampu menguasai rasa jiwa dan rasa raga,” jelasnya. “Bila manusia memakan sesuap nasi, raga akan merasa kenyang dan jiwa akan merasa nikmat. Dan ruh pun hadir mengasihi jiwa dan raga,” ujarnya.
Jika ruh cinta sudah menguasai jiwa dan raga, dikatakan Ki Batin, rasa hambar tidak akan pernah muncul lagi. “Meski tanpa garam atau tanpa asam, semangkuk sayur asam akan membuat raga kenyang dan jiwa nikmat, bila dibuat oleh seseorang yang tercinta. Itulah agungnya rasa cinta,” jelasnya.
Dalam hidup pun, dikatakan Ki Batin, acapkali manusia mengalami rasa hambar. Pahitnya kehidupan, pedasnya kehidupan, kecut atau manisnya kehidupan menjadi lebih baik daripada hambarnya kehidupan. “Maka berbahagialah manusia yang masih merasakan pahitnya hidup, pedasnya hidup dan kecutnya hidup, bila belum merasakan manisnya hidup. Dengan ruh cinta, hidup jadi lebih berwarna dan bermakna,” tandasnya.
Rudi D. Sukmana
Selasa, 01 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar