Bogor, Jurnal Bogor
Lalapan merupakan makanan tradisi Jawa Barat, terutama urang Sunda. Masyarakat Sunda sangat menyukai lalap-lalapan, apalagi bila dimakan bersama sambal terasi, ayam goreng, tempe goreng atau tahu goreng. Banyak jenis sayur untuk lalapan yang bisa disantap mentah, juga tidak sedikit yang terlebih dahulu harus direbus atau dikukus.
Lalapan sendiri sebenarnya juga mirip seperti salad dalam sajian menu ala Barat. Bedanya terletak pada jenis sayuran yang digunakan untuk lalapan dan teman pengiringnya. Jika pada masyarakat Jawa Barat teman seiring sejalan lalapan adalah sambal terasi, maka bagi masyarakat Barat, teman seiring sejalan lalapan mereka adalah mayones.
Dalam perjalanan berpetualang kuliner mencari Sang Rasa Jati di seantero Bogor, saya pernah disuguhi hidangan lalapan oleh sahabat saya Ki Batin. Sajian makanan yang begitu sederhana, hanya terdiri dari nasi putih, sambal terasi dan lalapan, serta sedikit ikan asin goreng dari jenis ikan peda. Lalapan yang dihidangkan pun hanya terdiri dari tiga jenis dedaunan, seperti daun kedondongan, daun kemangi, dan daun pepaya.
Namun soal rasa, sangat jauh dari sederhana. Sangat kaya dan sangat berat. Bahkan, bulir-bulir keringat sampai bercucuran. Ki Batin mengatakan, sebagai suku yang menggemari rasa pahit dan pedas untuk santapannya, urang Sunda hakikatnya merupakan kelompok masyarakat yang tahan cobaan hidup. “Namun saat ini, semakin banyak urang Sunda yang tak tahan pada ujian hidup,” ujar Ki Batin.
Dikatakannya, ada perbedaan yang jelas antara cobaan dan ujian dalam kehidupan. “Sama seperti murid sekolah, kadang mendapat ulangan, kadang harus menempuh ujian,” papar Ki Batin. Cobaan dalam kehidupan, lanjutnya, hakikatnya untuk mengetahui sampai di mana batas diri, sedangkan ujian kehidupan, semata-mata sebagai proses bagi diri untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi dari kualitas dan kadar keimanannya.
Contoh yang sederhana, imbuhnya, tercermin pada santapan yang sederhana itu. Bagaimana diri menyikapi santapan pahit dan pedas pada sajian lalapan, supaya hidup lebih kaya lagi, bukan semata-mata kaya dalam materi. “Kadang kita harus makan yang namanya rasa pahit dan rasa pedas dalam hidup kita, supaya kita bisa memaknainya,” tukas Ki Batin.
“Sama seperti lalapan, pahit dan pedas kehidupan semata-mata merupakan hasil pilihan kita sendiri,” terang Ki Batin sebelum menyeruput teh tawar panasnya. Bila dalam hidup yang tersaji hanya lalapan dan sambal, lanjutnya, diri harus pintar-pintar memilih apa yang akan dan mampu dipahami, sehingga dapat menggugah diri pada Sang Rasa Jati.
Rudi D. Sukmana
Selasa, 01 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar