Manusia Bernama Sang Ayah
Kemarin
saya menerima tautan facebook dari beberapa teman. Sebuah tragedi yang
belum lama terjadi di sebuah jalan antara Stasiun Gambir dan Patung Pak
Tani, Jakarta.
Dalam tautan itu, tampak sebuah foto seorang lelaki tengah memangku dan memeluk seorang anak kecil yang sudah tak bernyawa, sementara di sekelilingnya pun bergelimpangan tubuh-tubuh manusia. Sungguh tragis.
Yang tambah membuat hati saya seperti disayat sembilu adalah rangkaian puisi tanpa judul, isinya seolah ungkapan perasaan sang anak, yang meskipun hanya sebentar berkumpul dengan ayahnya berjalan-jalan bersama keluarga untuk melihat Monas, akhirnya sang anak harus mengatakan akan menunggu ayahnya, karena ternyata Tuhan lebih sayang kepada dirinya.
Jujur, menyimak tautan tersebut mata saya sempat berkaca-kaca, hidung saya mendadak menjadi tersumbat, tenggorokan pun seakan sulit menelan ludah.
Saya terpana, karena saya sudah dihadapkan pada satu kesedihan nan teramat pedih namun indah, meski itu berasal dari satu peristiwa mengenaskan.
Saya berharap, semoga yang menayangkan pertama kali tautan itu merupakan orang yang berhati bersih dan berangkat dari sebuah citra karya seni murni, bukan sekedar mengeksploitasi tragedi.
Belum lama saya terpana dengan tautan tersebut, sebuah salam di kotak chat muncul.
“Assalamu’alaikum warahmatullah..”
Ternyata, sahabat saya Abah Bujal mencoba membuka komunikasi langsung dengan saya.
“Wa’alaikum salam, Kang..” balas saya. “Lagi apa nih, A..?” sahutnya di sebuah tempat di sana.
“Saya barusan lagi liat tautan dari temen FB yang bagus, Kang.. Foto seorang ayah lagi memeluk anaknya yang udah meninggal ditabrak supir teler. Itu tuh.. kejadian yang di Jakarta tea, Kang..” jawab saya.
“Sae A..,” sahutnya lagi.
“A.. ini mah hanya umpama, mugi engga terjadi pada Aa dan kita semua. Kalo Aa adalah ayah difoto itu dan itu anak Aa sendiri, apa yang Aa akan lakukan?” tanya Abah Bujal dalam tulisannya.
Pertanyaan yang mengusik diri saya. Membuat saya hanya bisa tertegun. Ya.., saya sepertinya tidak akan sekuat lelaki di foto itu. Tak mungkin saya sekuat dia. Salam takzim saya untuk sang ayah itu, karena mungkin bila itu saya, saya akan menjadi binatang liar, sehingga semua koran dan media mendapatkan berita tambahan, si perempuan gendut supir teler itu tewas tercabik-cabik oleh saya.
Perlahan saya ketik, “Engga tau lah, Kang.. Sama sekali jauh dari pengandaian saya.”
Saya tekan ENTER dan pesan pun terkirim.
Agak berapa lama saya menunggu reaksi jawaban teman saya yang satu ini.
Akhirnya, muncul satu balasan.. “Sae A.., manusa emang manusa..”
Terhenti.. namun tak lama kemudian muncul kembali. “Melalui kejadian tersebut, rupanya banyak hal tak terduga yang Gusti berikan sebagai pelajaran yang sangat bernilai untuk manusa, yaitu tentang menjadi manusa..”
RD Sukmana 25/1/2012
Dalam tautan itu, tampak sebuah foto seorang lelaki tengah memangku dan memeluk seorang anak kecil yang sudah tak bernyawa, sementara di sekelilingnya pun bergelimpangan tubuh-tubuh manusia. Sungguh tragis.
Yang tambah membuat hati saya seperti disayat sembilu adalah rangkaian puisi tanpa judul, isinya seolah ungkapan perasaan sang anak, yang meskipun hanya sebentar berkumpul dengan ayahnya berjalan-jalan bersama keluarga untuk melihat Monas, akhirnya sang anak harus mengatakan akan menunggu ayahnya, karena ternyata Tuhan lebih sayang kepada dirinya.
Jujur, menyimak tautan tersebut mata saya sempat berkaca-kaca, hidung saya mendadak menjadi tersumbat, tenggorokan pun seakan sulit menelan ludah.
Saya terpana, karena saya sudah dihadapkan pada satu kesedihan nan teramat pedih namun indah, meski itu berasal dari satu peristiwa mengenaskan.
Saya berharap, semoga yang menayangkan pertama kali tautan itu merupakan orang yang berhati bersih dan berangkat dari sebuah citra karya seni murni, bukan sekedar mengeksploitasi tragedi.
Belum lama saya terpana dengan tautan tersebut, sebuah salam di kotak chat muncul.
“Assalamu’alaikum warahmatullah..”
Ternyata, sahabat saya Abah Bujal mencoba membuka komunikasi langsung dengan saya.
“Wa’alaikum salam, Kang..” balas saya. “Lagi apa nih, A..?” sahutnya di sebuah tempat di sana.
“Saya barusan lagi liat tautan dari temen FB yang bagus, Kang.. Foto seorang ayah lagi memeluk anaknya yang udah meninggal ditabrak supir teler. Itu tuh.. kejadian yang di Jakarta tea, Kang..” jawab saya.
“Sae A..,” sahutnya lagi.
“A.. ini mah hanya umpama, mugi engga terjadi pada Aa dan kita semua. Kalo Aa adalah ayah difoto itu dan itu anak Aa sendiri, apa yang Aa akan lakukan?” tanya Abah Bujal dalam tulisannya.
Pertanyaan yang mengusik diri saya. Membuat saya hanya bisa tertegun. Ya.., saya sepertinya tidak akan sekuat lelaki di foto itu. Tak mungkin saya sekuat dia. Salam takzim saya untuk sang ayah itu, karena mungkin bila itu saya, saya akan menjadi binatang liar, sehingga semua koran dan media mendapatkan berita tambahan, si perempuan gendut supir teler itu tewas tercabik-cabik oleh saya.
Perlahan saya ketik, “Engga tau lah, Kang.. Sama sekali jauh dari pengandaian saya.”
Saya tekan ENTER dan pesan pun terkirim.
Agak berapa lama saya menunggu reaksi jawaban teman saya yang satu ini.
Akhirnya, muncul satu balasan.. “Sae A.., manusa emang manusa..”
Terhenti.. namun tak lama kemudian muncul kembali. “Melalui kejadian tersebut, rupanya banyak hal tak terduga yang Gusti berikan sebagai pelajaran yang sangat bernilai untuk manusa, yaitu tentang menjadi manusa..”
RD Sukmana 25/1/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar