Somse, Rasa Siomai Sejati
Bogor, Jurnal Bogor
Jika bicara tentang siomai, yang terbersit pertama kali ialah bentuknya yang besar dan perlu dipotong-potong untuk dinikmati. Akan tetapi berbeda dengan siomai yang satu ini, selain bentuknya yang kecil, cara penyajiannya pun sangat berbeda, yakni dengan di tusuk. Siomai yang dimaksud adalah Somse alias Somay Setik Rasa Jati.
Namun siomai yang difavoritkan masyarakat Gunung Batu itu, sejak akhir 2007 hilang dari peredaran. Berdasarkan informasi yang dihimpun Tim Petualang Kuliner, Abah Bujal, sang empu siomai sudah berhenti membuat siomay dan beralih profesi di bidang lain.
Tim Petualang Kuliner tak puas sampai disitu, setelah pencarian yang cukup panjang, akhirnya Abah Bujal pun ditemukan. Kemarin (29/4), ia sedang merayakan ulang tahunnya yang ke-38 bersama rekan kerjanya. Saat itu Abah Bujal terlihat cukup sibuk, sehingga kurang memungkinkan untuk diajak berbincang.
Sambil menunggu, kami mencicipi hidangan yang sudah tersedia. Tiga porsi Somse sudah tersaji di meja, tiap porsi berisi tiga tusuk. Satu tusuk terdiri dari enam bagian, yakni telur puyuh, siomai, kentang, kol, tahu putih, dan yang terakhir siomai lagi. Sedangkan bumbu kacang, kecap dan saus disajikan terpisah.
Saatnya mencoba, pertama saya lahap satu tusuk sekaligus tanpa bumbu kacang, kecap ataupun saus. Siomai ini memang bukan siomai sembarangan, walaupun disantap polos namun sudah patut diacungi jempol. Porsinya juga cukup nendang padahal baru satu tusuk.
Berikutnya saya nikmati dengan bumbu kacang, kecap dan saus. Bagian pertama bahas dulu telur puyuhnya. Ternyata bentuknya yang imut, pas banget untuk dilahap bulat-bulat. Apalagi saat putih dan kuning telurnya lumer dilidah, dijamin bakal ketagihan. Tapi sayang, Abah Bujal hanya menyajikan satu butir telur puyuh. Sehingga patut dipertimbangkan untuk menambah satu butir lagi dalam setiap tusuk.
Masuk ke bagian kedua, sudah menanti siomay berbentuk kotak dengan volume sekitar 27 centimeter kubik. Ternyata bintik-bintik orange dalam tekstur berasal dari udang yang dicampur dengan daging ayam. Meski rasa udangnya kental, tapi tidak membuat siomainya terasa amis. Pokoknya ajib dan mantap.
Setelah siomai, ada juga kentang rebus. Tekstur dan kematangannya pas banget, enggak terlalu lembek, tapi juga enggak keras. Sebab kalau terlalu keras berarti masih mentah atau kurang matang. Terlihat sekali Abah Bujal ukup concern dalam hal yang satu ini.
Habis kentang, terbitlah kol gulung. Kebetulan kami bukan penyuka sayuran, jadi tidak bisa bicara banyak. Selanjutnya tahu putih, lembutnya bukan main. Tanpa permisi langsung masuk tenggorokan, padahal belum dikunyah. Aldino, alhamdullilah dia nongol lagi. Sang siomai hadir dibenteng terakhir sebagai penutup.
Seperti siomai pada umumnya, bumbu yang dipakai adalah bumbu kacang. Namun, bumbu ini sangat berbeda. Walaupun warnanya terlihat pucat, tapi rasanya nampol banget di lidah. Apalagi ketika dikunyah dengan siomai, benar-benar pengalaman rasa yang unik. Ketika dikunyah terus-menerus, kami menyadari ada rasa misterius dalam bumbu kacang ini.
Setelah menunggu cukup lama, Abah Bujal bersedia meluangkan waktu. “Maaf menunggu lama, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan polos, padahal ia tahu maksud kedatangan kami. Kemudian kami berbincang mengenai Somse Rasa Jati yang telah dibuatnya.
Dikatakan Abah, sapaan akrab Abah Bujal Kalami, Somse merupakan salah satu menu andalan saat ia berprofesi menjadi pedagang siomai di daerah Gunung Batu. “Waktu itu, Somse cukup diminati, mungkin karena bentuk dan rasanya yang unik,” ungkap Abah kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Menurut Abah, keunikan Somse terletak pada siomai dan bumbunya. “Untuk siomai, saya menggunakan campuran udang dan ayam, tidak menggunakan ikan tenggiri pada umumnya,” ucapnya.
Sedangkan bumbunya, diakui Abah, sengaja tidak mencampur gula jawa dan bawang terlalu banyak. “Campurannya pun tidak sembarangan, saya menggunakan resep rahasia untuk mendapatkan rasa yang unik ini. Tak jarang pelanggan yang kepincut bumbu kacang buatan saya,” bebernya.
Selain itu, kata Abah, harganya pun relatif murah, yakni Rp 1.000. “Para pelanggan bisa menikmati enam makanan yang berbeda dalam satu tusuk,” katanya seraya menambahkan saat berdagang dalam sehari hanya disediakan 20 tusuk.
Diakui Abah, saat ini ia sudah tidak berjualan siomai dan beralih profesi di bidang lain, namun masih bersinggungan dengan dunia kuliner. “Walaupun saya sudah tidak berjualan siomai, tapi suatu saat saya akan kembali bergelut di usaha kuliner. Semoga saja harapan itu terwujud dan tidak menemukan kendala,” tuturnya.
Di akhir pembicaraan, kami sempat mengucapkan Selamat Ulang Tahun kepada Abah Bujal Kalami. Semoga panjang umur, sehat selalu, dan murah rezeki. Amin.
Tim Petualang Kuliner Jurnal Bogor
Senin, 07 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar