Senin, 07 Juli 2008

Warung Nasi Ampera

Peteuy Sambelna Seuhahladalada..

Bogor, Jurnal Bogor

Kenangan tentang tempat makan yang satu ini, sangat banyak mengisi relung rasa bagi saya. Warung Nasi Ampera memang merupakan salah satu tempat makan yang sudah eksis dan mampu bertahan selama puluhan tahun. Pasalnya, warung nasi yang aslinya berasal dari Kota Kembang itu, memang menyuguhkan citarasa masakan Sunda yang sangat pas buat lidah urang Sunda.

Tak heran, kaki ini ringan melangkah memasuki Warung Nasi Ampera yang lokasinya berada di Jl. Kedung Halang Raya (Warung Jambu) Ruko 2 D-E itu, karena telah merasa pasti akan menjumpai sensasi citarasa khas Pasundan yang kasohor, dan terutama, kenangan rasa yang telah tercipta itu. Padahal, warung nasi tersebut baru kali pertama disambangi.

Saat memasuki warung nasi yang menyewa ruko dua lantai dengan lebar bangunan 10 meter x 20 meter itu, suasana sudah ramai oleh para pengunjung. Nyaris seluruh meja yang tersedia penuh terisi. Kebanyakan kalangan keluarga yang datang bersama anak-anak mereka. Sebagian lagi, para karyawan bersama kolega-koleganya tengah asyik menyantap menu-menu yang dihidangkan.

Menurut Aam Hermawan, pengelola Warung Nasi Ampera Warung Jambu Bogor, tempat makannya memiliki kapasitas maksimal 160 kursi. “Tempat kami dibuka setiap hari tanpa hari libur, mulai pukul 8.00 hingga pukul 22.00,” ujar Aam kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Dikatakan Aam, pemilik Warung Nasi Ampera yang dikelolanya, adalah pasangan suami istri H. Hermana dan Hj. Euis yang tinggal di Kota Bandung. “Warung Nasi Ampera yang pertama, dulu berlokasi di terminal Kebon Kalapa Bandung yang kini sudah menjadi Jl. By Pass Soekarno Hatta. Saya juga agak lupa, kapan Ampera pertama kali berdiri. Yang jelas, cabang dan franchisenya ada di berbagai kota,” ujarnya.

Sebagai salah satu pilihan favorit pengunjung hingga saat ini, lanjut Aam, Warung Nasi Ampera yang berlokasi di daerah Warung Jambu Bogor itu dibuka sejak Juni 2006 lalu. “Di Bogor, Warung Nasi Ampera ada di dua lokasi, satu lagi kami buka di Jl. Raya Tajur No.216 Ruko B-C, Bogor,” terangnya.

Jumlah menu yang disediakan di Warung Nasi Ampera, imbuh Aam, tidak lebih dari 50 jenis menu makanan. Untuk menu minumannya, tempat itu hanya menyediakan sekitar 10 jenis minuman olahan di luar minuman botol, seperti aneka juice, es jeruk, es teh manis.

“Untuk teh tawar dan lalapan sambal, kami sajikan gratis bagi para pengunjung. Meski harga cabai kini sudah tinggi, kami tetap mempertahankan policy ini sejak dari awal Ampera hadir untuk menjadi pilihan kuliner bagi masyarakat,” terang Aam.

Harga menu-menu yang ditawarkan di tempat itu, dibandrol dengan harga mulai Rp 1.000 hingga Rp 10.000 untuk menu makanan dan Rp 7.000 sebagai harga tertinggi untuk menu minuman, yakni juice.

“Dapat dikatakan, Warung Nasi Ampera merupakan tempat makan yang menawarkan harga warteg dengan suguhan suasana restoran,” ungkapnya seraya menambahkan, satu orang pengunjung rata-rata mengeluarkan Rp 15.000 untuk memuaskan selera makannya.

Sedangkan menu makanan favorit para pengunjung, menurut Aam adalah ayam bumbu kuning yang penyajiannya digoreng. Menu minuman favorit pengunjung, masih bertahan di citarasa aneka juice, terutama juice alpukat. “Ada satu lagi menu favorit pengunjung Warung Nasi Ampera, yaitu sambal-sambal yang disediakan,” katanya.

Saya pun dipersilakan untuk mencoba citarasa menu masakan yang disediakan. Satu tamusu atau iso, satu tahu kuning, satu tusuk bayah atau paru, dan tak lupa musuh abadi yang kudu diganyang, yakni peteuy, dipilih untuk digorengkan terlebih dahulu.

Tak berapa lama menunggu, menu-menu pilihan itu pun dihantarkan ke atas meja lengkap dengan sepiring nasi putih, satu ranjang lalapan, satu mangkuk kecil sambal, dan satu gelas teh tawar panas bukan hangat. Sebuah sajian hidangan yang menurut saya, very very super duper banget dah.

Tanpa proses pendahuluan yang biasa saya lakukan, yakni tahap pencicipan, sajian Sunda itu langsung menyatu dengan piring nasi. Lalapan yang terdiri dari tiga jenis daun, yaitu daun salada, daun kemangi, dan daun kedondongan, saya lalap tanpa sambal. Semua daun lalapannya sangat segar, wangi, dan mampu menjadi appertizer bagi makanan utamanya.

Citarasa tamusu ternyata tak berubah, tetap menyuguhkan kelezatan bumbu yang pas. Namun yang cukup istimewa adalah citarasa yang disuguhkan menu sate bayah. Rasa yang muncul sungguh mirip rasa dendeng manis, namun lebih mantap karena keempukan dan kelembutan bayahnya langsung menyeruak pada saat digigit.

Laju kunyahan pun saya kendalikan dengan mengambil birama, menanti nada apa yang akan hadir mengiringi suasana santap itu. Setelah beberapa saat berlalu, tak sebuah nada yang hadir. Tiba-tiba dalam relung rasa, hadir sebuah dongeng sebelum tidur yang sewaktu kecil sering dikisahkan oleh almarhum ayahanda. Cerita tentang sakadang kuya jeung sakadang monyet.

Kisah itu pun mengiring suapan demi suapan peteuy goreng yang bercocol sambal. Gemeletuk peteuy yang tergigit, digerus menjadi padu bersama nasi putih dan sambal oleh geraham. Sebuah rasa pedas yang indah pun muncul, rasa panas yang mampu mengalirkan nada kata, “Seuhahladalada...”

Rudi D. Sukmana

Tidak ada komentar: