Minggu, 27 April 2008

Merasakan Rasa ‘Beyond’ Rasa

Bogor, Jurnal Bogor

Siang yang terik itu seakan menandakan telah usainya musim hujan di Kota Bogor. Panasnya terasa begitu teungteungan, sangat menyengat. Ketika tengah berteduh di bawah rerimbunan pohon tua besar yang masih kokoh di pinggir Jl. Ir. H. Juanda, tiba-tiba ponsel bergetar mengganggu keasyikan menikmati semilir angin.

Satu short message service dari Ki Batin hadir di layar ponsel. Isi pesannya membuat saya tersenyum, karena menanyakan kenapa seminggu terakhir ini saya agak jarang memuat berita kuliner lagi. SMS pun segera dibalas dengan menjawab, bahwa satu minggu terakhir ini, kamera kesayangan saya, si Pentax sedang sakit dan harus diopname di tempat service kamera selama satu bulan.

Tak berapa lama setelah SMS terkirim, ponsel tua itu pun berdering. Ternyata, Ki Batin yang menelepon. Setelah saling menyapa di saluran telepon, Ki Batin mempertanyakan, kenapa mesti tergantung dengan kamera untuk meliput kuliner. “Bukankah dengan bertutur lewat tulisan, seperti di novel-novel, justru pembaca dapat lebih diajak terlibat dengan hasil liputan kuliner Aa?” tanyanya.

Penjelasan singkat pun diberikan, karena koran bukanlah novel. Dengan foto-foto sajian makanan yang ditampilkan, liputan lebih valid. Ki Batin pun mahfum dengan jawaban yang disampaikan. “Heu-euh, nya. Loba keneh anu can nepi ka pelebah deui. Masih banyak yang belum sampai pada rasa jatinya manusa,” komentarnya.

Penasaran dengan istilah rasa jati yang sering diucapkan Ki Batin, saya pun berusaha menyelidiki maksud istilah itu. Di seberang saluran sana, Ki Batin terdengar tertawa kecil. “Eleuh, si Aa. Can menang keneh kana rasa jatina? Ceunah ngakuna teh urang Sunda? Nga gawekeun naon wae atuh ti baheula teh?” canda Ki Batin dengan logat dan Basa Sunda yang kental.

Setelah didesak, akhirnya Ki Batin pun bersedia menjelaskan, rasa jati tidak sekedar rasa manis, asin, lezat, enak, dan nikmat karena rasa jati adalah rasa beyond rasa. “Seperti pada peteuy, kunaon aya bauna? Bagaimana caranya dapat menikmati peteuy tapi tidak terkena baunya?” tanyanya.

“Sekarang ini, semakin banyak orang yang tak berani membahas tentang rasa jati. Kenapa? Karena rasa jati eta teh, sajati ning malik tinggal. Anu ingeubkeun lawang dunya jeung mengeubkeun lawang akherat. Tah kitu, kasep,” ujar Ki Batin seraya menambahkan, membahas rasa jati berarti berada dalam koridor makrifat yang ruang lingkupnya adalah hakikat.

Rasa jati, imbuh Ki Batin, timbul saat semua indra lebur menjadi satu. “Susah dimengerti? Lamun kitu, anu gampang mah kieu, A. Tiasa teu, barang dahar teh anu dirasakeun nikmat syukur di setiap kunyahan? Bisa tidak Aa merasakan nikmat syukur di sebelum makan dan sesudah makan, atau di sebelum mendapat rezeki dan sesudahnya?” tanyanya.

Saya hanya bisa terdiam mendengar uraian pertanyaan sahabat saya yang satu ini. Belum habis saya mencerna pertanyaan yang diberikan, Ki Batin melanjutkan, “Bisa teu si Aa merasakan syukur ketika tidur lelap, dan pada setiap tarikan dan hembusan nafas Aa? Sok atuh direnungkeun deui, A” papar Ki Batin di seberang telepon sana.

Rudi D. Sukmana

Dulang Restaurant

Unik Nama, Unik Suasananya

Bogor, Jurnal Bogor

Tak banyak tempat makan di sepanjang jalur Bogor menuju Puncak yang dipadati pelanggan saat weekday. Kebanyakan hanya mengandalkan kepadatan lalulintas saat weekend atau momen-momen tertentu. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku bagi Dulang Restaurant yang berlokasi di Jl. Raya Puncak Tugu Km. 83,7 Bogor.

Di restoran itu, pengunjung tampak disibukkan dengan kelezatan dari makanan pesanannya. Sebagian besar pengunjung berasal dari kalangan keluarga, tapi ada juga pelanggan dari beberapa intansi pemerintahan. Bahkan owner dari restoran lain pun, menjadi pelanggan di restoran itu.

”Saat weekend atau long weekend, pelanggan kami memang lebih banyak, bahkan bisa mencapai sekitar seribu orang. Namun saat weekday juga penurunannya tidak terlalu signifikan, sebab banyak pelanggan yang masih setia datang di sela-sela kegiatannya,” ungkap Amarudi, pengelola Dulang Restaurant kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Dikatakan Amarudi, arti ”Dulang” yaitu tempat nasi khas Sunda yang terbuat dari kayu yang biasa digunakan untuk ngakeul atau proses pengolahan nasi agar tetap pulen walaupun sudah tak hangat lagi. ”Nama itu kami gunakan sebagai nama restoran kami, karena sangat menggambarkan konsep yang kami usung,” terangnya.

Restaurant yang berdiri sejak 6 Februari 2000 itu, nampak tak terlalu mencolok dari luar, bahkan papan namanya pun terlihat sangat sederhana. Namun disain interiornya tertata sangat apik dan dihiasi ornamen Sunda tempo dulu. Selain itu, furniture serba kayu yang digunakan semakin mencerminkan suasana pedesaan khas daerah Sunda.

”Kami berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan suasana yang sangat khas dengan daerah Sunda, sampai-sampai kami buat kolam ikan yang ditengahnya ada beberapa hewan peliharaan, sebab lesehan kurang berkesan jika tidak dilengkapi kolam atau balong dalam bahasa Sunda,” kata pria kelahiran Bogor, 22 Desember 1970 itu.

Menurut Rudi, sapaan akrab Amarudi, setiap pelanggan yang datang hanya mencari dua hal, yakni citarasa dan suasana. ”Mereka sangat favorit dengan suasana Dulang yang sangat asri dan sejuk. Ditambah dengan alunan gemuruh sungai Cisampai yang terletak tepat di hadapan mereka, padahal mereka harus berteriak saat berbincang. Namun justru disitulah kelebihan Dulang,” ujarnya.

Restauran yang berkapasitas 200 orang itu, dikatakan Rudi, menyediakan fasilitas lesehan, playground dan mushola. ”Semua fasilitas dibuat untuk mengoptimalkan pelayanan kepada pengunjung, bahkan semua karyawan wanita di sini memakai jilbab dan batik, sehingga sangat mencerminkan pelayanan khas Sunda,” paparnya seraya menambahkan Dulang memiliki 28 karyawan dan 4 koki.

Rudi mengungkapkan, dari sekitar 100 jenis makanan dan minuman, mayoritas berasal dari masakan Sunda, tapi ada juga Chinnese Food. ”Harga-harga yang kami tawarkan dari Rp 1.500 hingga Rp 37.500. Menu yang termahal adalah bakakak bakar atau goreng yang juga menjadi favorit pelanggan,” terangnya.

Sembari berbincang dengan Rudi, seporsi nasi timbel komplit terhampar di depan meja. Sajiannya menunjukkan memang restoran itu menjunjung tinggi budaya Sunda. Dengan berpiring rotan yang dialasi daun pisang, menambah aroma nasi yang pulen nan legit itu untuk segera dilahap oleh mulut ini.

Nasi yang diakeul menggunakan dulang, rasanya benar-benar beda. Selain beberapa pendamping dari nasi timbel, seperti ayam bakar, sambal, lalapan dan tahu-tempe, yang bikin lidah ini tersengat adalah rasa sayur asemnya yang memberikan kenikmatan tersendiri. Rasanya yang asem-asem manis membuat bulu kuduk ini berdiri tegak serta indra pengecap kian liar menguyup kuah sayur yang satu ini.

Masih sambil menikmati nasi timbel komplit dan gemuruhnya sungai, datanglah segelas bansus kelapa. Uniknya, bansus itu dicampur dengan daging kelapa muda, sehingga selain diminum, bisa juga digahel. Pedas dari jahe yang menempel di lidah membuat hangat tubuh ini ditambah lagi dengan rempah-rempah sehingga berguna untuk kesehatan tubuh.

Mulut ini semakin dimanjakan dengan kehadiran Juice Jambu Merah yang begitu kental. Bedanya, selain diblender, di dalamnya juga dilengkapi potongan-potongan dari buah tersebut. Jadi pelanggan tidak hanya sekedar meminum sarinya saja, namun buahnya juga dapat dinikmati.

Nasia Freemeta I

Kue Gemblong Manisnya Bikin ‘Gemblung’

Bogor, Jurnal Bogor

Gemblong sebagai jenis makanan, kadang sering ditulis dengan kata gemlong. Dari namanya, kue yang satu ini lebih saya yakini berasal dari daerah Jawa Tengah, khususnya Yogykarta. Tetapi, banyak juga orang yang mengatakan gemblong merupakan makanan khas dari Betawi.

Bagi saya, daerah asal sebuah makanan, kadang tidak begitu penting artinya. Semakin banyak orang yang tidak memperdulikan secara pasti satu jenis makanan berasal dari mana, berarti semakin universal jenis makanan itu. Layaknya nasi goreng, kuliner universal itu tak membutuhkan kajian historis.

Kue gemblong sendiri sebenarnya banyak yang dijual dengan eksklusif. Bila jajanan lain lebih banyak yang digabungkan, seperti tahu, pisang, singkong, dan ubi goreng, maka gemblong lebih ‘menyendiri’. “Hal itu karena gemblong lebih khusus cara pembuatannya,” ujar Husein, salah seorang penjual gemblong ketan kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Gemblong yang sering dijumpai di Kota Bogor, dijajakan dengan doger atau dorong gerobak. Kue manis itu terbuat dari beras ketan. Ada gemblong yang terbuat dari beras ketan putih, dan ada pula yang terbuat dari beras ketan hitam.

Kue seukuran kepalan tangan anak kecil itu, memang mempunyai penggemar tersendiri. Selain cocok untuk teman minum teh atau kopi, gemblong pun dapat dijadikan kemilan berat pengganjal perut. Beberapa penjual kue gemblong menjual dagangannya dengan harga Rp 500 hingga Rp 750 per satuannya.

Bagi saya, gemblong dengan penampilan lebih legam lebih menarik selera dibandingkan gemblong yang penampilannya pucat. Logikanya, gemblong yang warnanya lebih hitam menandakan rasa manisnya lebih kuat sebagai efek dari hasil proses menggoreng tentunya akan membuat gula menghitam seperti karamel. Dan juga, karena saya lebih menyukai gemblong yang rasa manisnya lebih kuat.

Ketika rasa manis kue gemblong kembali menyentuh lidah ini, saya menjadi teringat momen nostalgia waktu masih berpetualang di Yogyakarta. Pernah saya dijamu seorang kenalan di rumahnya dengan sajian yang serba manis, semanis keramahtamahan sang empunya rumah.

Pada waktu itu, suguhan yang dihidangkan sebenarnya sangat sederhana, sesederhana suasana keasrian rumah khas Yogyakarta yang penuh dengan barang-barang antik. Sajiannya hanya satu poci teh yang disertai dengan gula batu dan beberapa kue gemblong yang warnanya sangat legam.

Menyantap kelembutan gemblong itu, rasa manis seakan langsung pecah di lidah. Belum lagi air teh yang disajikan untuk memperlancar kunyahan gemblong meluncur ke dalam perut. Benar-benar nasgitel atau panas, legi, dan kentel. Sangat kental manisnya, sekental suasana Yogya.

Rudi D. Sukmana

Wisata Kuliner Trek di Jembatan Merah

Bogor, Jurnal Bogor

Kuliner Trek adalah istilah di kalangan wisatawan kuliner yang gemar mencari penjaja makanan di malam hari. Salah satu tempat wisata Kuliner Trek yang sudah terkenal di Kota Bogor adalah sepanjang trotoar pertokoan Jembatan Merah yang berlokasi di Jl. Veteran.

Di sepanjang trotoar itu, sedikitnya 80 pedagang menjual beragam jenis jajanan kuliner yang dijajakan dari gerobak maupun kios. Dengan panjang sekitar 100 meter, sedikitnya terdapat 14 penjual gorengan pikul berjejer berselang-seling dengan tak kurang dari 7 penjual sate Madura.

Selain itu, terhitung ada 24 penjual martabak baik yang khusus menjual martabak manis, yang khusus menjual martabak telur, dan yang menjual keduanya. Masih banyak lagi penjual makanan lain, seperti bubur ayam, doclang, pisang molen, fried chicken, kue pukis, dan susu kedelai.

Di sisi seberang, para penjaja kudapan seperti nasi goreng, pisang dan roti bakar, dan warung kopi pun turut hadir sebagai pilihan alternatif bagi para wisatawan Kuliner Trek. Selain ragam jenis kuliner yang tersedia, satu hal yang mampu menarik minat warga Kota Bogor untuk mengunjungi areal itu adalah harga-harga yang ditawarkan sangat terjangkau.

Sebagai contoh, satu porsi bubur ayam misalnya, dijual dengan harga bervariasi Rp 3.000 sampai Rp 5.000, tergantung di tempat mana kita memilih. Bahkan, para wisatawan Kuliner Trek dijamin akan dibuat kebingungan untuk membeli martabak, bila belum memiliki penjual favorit.

Salah seorang wisatawan Kuliner Trek Dwi Kuncoro yang bertempat tinggal di Taman Pagelaran Ciomas mengatakan, hampir setiap Sabtu malam ia dan keluarganya berwisata kuliner di Jembatan Merah. “Kami sekeluarga menyukai ragam jenis jajanan di sini, karena selain harganya murah, rasa yang disuguhkan pun cukup istimewa,” ujar Dwi kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Dikatakan Dwi, ia bersama istrinya sudah mempunyai beberapa penjual langganan yang selalu dikunjungi mereka. “Saya dan istri sangat suka dengan bubur ayam yang ada di sini, sedangkan anak-anak menyukai rasa susu kedelai yang dijual penjualnya di depan Toko Bombay itu,” terangnya.

Area wisata Kuliner Trek Jembatan Merah sendiri, memang digelar untuk menjaring warga Bogor yang bertempat tinggal di daerah Bogor Barat. “Beberapa penjual, ada yang membuka usahanya 24 jam, ada yang sampai pukul 2.00 pagi. Kebanyakan pembeli, adalah pengguna kereta api yang baru pulang dari Jakarta ke arah Ciomas, Ciampea, atau Jasinga,” tandas Dwi.
Rudi D. Sukmana

Rumah Makan Saung Kuring

Lezat, Nyaman, Harga Terjangkau

Bogor, Jurnal Bogor

Penjelajahan kuliner di kawasan Puncak belum berakhir. Ratusan rumah makan yang terhampar sepanjang jalan raya itu, semakin mengobarkan semangat pencarian untuk menemukan sang rasa jati yang sampai sekarang masih menjadi misteri. Persinggahan kali ini adalah Rumah Makan Saung Kuring yang berlokasi di Jl. Raya Puncak Km. 75, Cipayung Bogor.

Keunikan rumah makan satu ini terletak pada disain interior yang sarat dengan unsur etnik yang khas dengan budaya Sunda dan dipadukan dengan furniture kayu, tanaman dan bebatuan. Sebagian bangunan bahkan berdiri di atas kolam, sehingga gemericik air menambah keasrian tempat tersebut.

“Kami sengaja menyajikan konsep senyaman mungkin, agar pelanggan merasa di rumah sendiri sesuai dengan arti dari ungkapan Saung Kuring, yakni rumah saya,” ungkap Sesiliawati, pengelola Rumak Makan Saung Kuring kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Diakui Wati, sapaan akrab Sesiliawati, Saung Kuring sudah memiliki empat outlet yang tersebar di daerah Bogor. “Outlet pertama sudah berdiri sekitar 30 tahun lalu di Jalan Surya Kencana, kemudian melebarkan sayap ke daerah Jalan Baru dan Daerah Siliwangi. Sedangkan di sini merupakan outlet ke empat yang dibuka sejak 8 Juni 2006,” ujarnya.

Wanita kelahiran 5 Oktober 1966 itu mengatakan, lebih dari 50 persen pelanggan berasal dari luar Bogor, seperti Jadetabek dan Bandung. “Saat weekend pelanggan kami bisa mencapai 1.500 orang dan 500 orang saat weekday,” tukasnya seraya menambahkan, sebagian besar pelanggan Saung Kuring adalah kalangan keluarga.

Dikatakan Wati, berdasarkan komunikasi dengan pelanggan, keunggulan Saung Kuring adalah pelayanan yang sangat cepat, sehingga tidak perlu menunggu lama untuk menikmati makanan yang dipesan. “Kami menanamkan kepada 40 karyawan untuk memperlakukan pelanggan seramah mungkin,” kata Sang Ibu dari Tiffany itu.

Sesi juga mengungkapkan, Saung Kuring memiliki kapasitas 400 orang yang di bagi dua lantai. “Selain lesehan, pelanggan juga bisa menikmati playground yang disediakan untuk bermain anak-anak,” ucap anak bungsu dari enam bersaudara itu.

Makanan yang ditawarkan, lanjut Sesi, sekitar 150 jenis makanan dan minuman yang berbeda dengan harga mulai Rp 3.000 sampai Rp 63.000. “Kami mengandalkan jenis masakan Sunda yang diolah dengan cara tertentu, sehingga memberikan citarasa tinggi yang tak terlupakan. Akan tetapi, ada juga Chinese Food dan berbagai minuman sehat yang diracik sendiri,” terangnya.

Sepiring Gurame Bakar telah tersedia panas-panas dan memancing perut ini untuk segera menyantapnya. Ditambah lagi aroma gurame dan ceker kian merebak hingga ke ujung indra penciuman. Olesan kecap dan sedikit perasan jeruk nipis telah meresap ke dalam dagingnya, sehingga tak henti-hentinya mulut ini untuk melahapnya hingga habis tak bersisa.

Setelah itu, masih mengantri seporsi Ceker Bumbu Tausi untuk segera masuk ke dalam perut yang sedari tadi penasaran dengan rasa masakan yang satu ini. Kelegitan daging cekernya benar-benar memukau lidah ini. Bumbu yang dirasakan pun sangat khas. Saking empuknya, daging ceker ini pun gampang terlepas dari tulang-tulangnya, sehingga tidak perlu susah payah dalam menyantapnya.

Akhirnya sampai juga pada pelepas dahaga yang menggoda-goda dengan warnanya yang menarik, yaitu segelas Juice ala Saung Kuring dan Juice Pidayuteun, adalah nama minuman yang sudah tersedia di depan mata ini. Uniknya, Juice Pidayuteun itu, merupakan salah satu minuman sehat yang berguna untuk menambah berat badan. Pidayuteun itu sendiri berarti menggemukkan.

Penasaran dengan rasanya, mulut ini dengan liar menyeruputnya. Hmm..campuran coklat, buah nanas dan jeruk nipis seolah memberikan kesegaran yang tiada duanya. Coklatnya tidak begitu terasa manis, namun rasa manis yang paling menonjol berasal dari buah nanas dan jeruk nipis. Masamnya rasa yang dipadukan dengan nikmatnya coklat memang pantas mendapatkan tempat di hati pelanggan.

Nasia Freemeta I

Cimory Resto

Resto Keluarga Dengan Nuansa Pegunungan

Bogor, Jurnal Bogor

Bagi para Bogor Weekenders, yaitu kalangan yang selalu berakhir pekan di daerah Bogor, rasanya tak mungkin tidak mengenal tempat makan yang satu ini. Sebuah restoran yang berlokasi di Jl. Raya Puncak No.435 Km 77, Cisarua Bogor itu, bernama Cimory Resto.

“Cimory Resto merupakan singkatan dari Cisarua Mountain Dairy, yang artinya restoran yang berada di kaki pegunungan Gunung Gede dan Gunung Pangrango, tepatnya di daerah Cisarua. Dairy itu sendiri adalah pabrik susu yang juga satu grup dengan Cimory Resto,” ungkap Donny Souisa, operational manager Cimory Resto kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Resto yang sudah berdiri sejak 18 Februari 2006 itu, dikatakan Donny, mengusung konsep back to nature. Hal itu terlihat dari furniture yang berasal dari bahan kayu, batu dan dedaunan. ”Konsep yang kami gunakan bertujuan supaya Cimory terkesan menyatu dengan pemandangan alam yang ada di sekitar. Adapun disain bangunan yang kami usung beraliran European Style, sehingga ketika pelanggan datang kemari dapat menikmati pemandangan pegunungan dari setiap sudut pandang,” kata pria kelahiran 16 September 1958 itu.

Diakui Donny, 80 persen pelanggan berasal dari luar Bogor, seperti Jakarta dan Bandung. ”Di hari biasa pelanggan kami minimal 400 orang, dan bisa mencapai 2.000 orang di akhir pekan, tergantung situasi dan kondisi pada saat itu,” ujarnya seraya menambahkan, sasaran pelanggan Cimory adalah kalangan keluarga.

Donny juga mengatakan, Cimory memiliki kapasitas 415 orang sehingga pelanggan tidak perlu menunggu untuk mendapatkan tempat duduk. ”Mereka sudah cukup jenuh dengan kemacetan Puncak. Oleh karena itu, kami berusaha memberikan fasilitas senyaman mungkin serta pelayanan yang ramah dan komunikatif, sehingga memberikan kesan yang membuat mereka datang kembali bersama keluarga atau teman-temannya,” jelasnya.

Resto keluarga yang bernuansa pegunungan itu, memiliki playground yang cukup luas untuk arena bermain anak-anak. ”Playground sengaja diposisikan di lokasi yang strategis, sehingga para orangtua tidak perlu cemas, dan bisa bersantai sambil mengawasi sang buah hatinya bermain. Selain itu, kami juga menyediakan mini shop yang menjual berbagai snack sebagai oleh-oleh,” terangnya.

Cimory Resto menawarkan lebih dari 100 menu makanan dan minuman yang disediakan, diantaranya European Food, Chinesse Food dan Indonesia Food. “Sebagian besar adalah European Food, karena kami ingin memberikan pilihan yang berbeda dengan resto-resto yang berada di jalur Puncak, yang mayoritas mengusung Sundanesse Food,” ucap Donny.

Dikatakan Donny, saat ini ada 70 karyawan yang berasal dari daerah sekitar, sehingga turut meningkatkan perekonomian masyarakat. “Dari jumlah karyawan, kami bagi menjadi beberapa bidang yang sesuai dengan keahliannya masing-masing,” terangnya.

Harga-harga yang ditawarkan, lanjut Donny, berkisar antara Rp 11.000 sampai Rp 32.000. ”Walaupun harganya relatif terjangkau, namun kualitas dan citarasa yang kami berikan merupakan yang terbaik. Ditambah dengan pelayanan kami yang super cepat, bahkan lalat pun tidak sempat untuk hinggap di makanan,” paparnya.

Memang benar, seporsi Mini Grilled Sausages dan Ring Sausage dengan cepat terhidang di atas meja, sehingga tidak perlu menunggu lama untuk mencicipi makanan itu. Keempukan daging sosis serta bumbunya yang khas menambah kenikmatan lidah ini dalam menyantapnya. Apalagi freshnya vegetables dan uniknya rasa German Potato kian membuat hasrat petualang kuliner untuk menghabiskan hidangan tanpa sisa.

Belum habis lidah ini mengecap kelezatan, segelas Strawberry Yoghurt Shake dan Melon Juice terhampar di depan mata. Tak menunggu lama lagi, mulut ini langsung menyeruputnya. Keunikan rasa yoghurt ala Cimory memberikan sensasi tersendiri yang tak pernah dirasakan di tempat lain. Asamnya buah strawberry dan susu tersebut, bercampur ria di dalam mulut menciptakan kesegaran yang juga berbeda.

Nasia Freemeta I

Doclang Gunung Batu Citarasanya Sulit Diadu

Bogor, Jurnal Bogor

Menempati sebuah kios di lantai satu Pasar Purbasari Gunung Batu Jl. Mayjen Ishak Djuarsa, Pepen Supendi dan kakaknya Didi Supriadi sejak 1996 selalu sibuk melayani para pengunjung yang ingin merasakan kedahsyatan citarasa doclang mereka. “Kami meneruskan usaha orangtua di tempat yang sama,” ujar Pepen kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Dikatakan Pepen, doclang yang lebih dikenal para pembeli dengan sebutan oleh-oleh itu, sudah digandrungi pembeli terutama warga Kota Bogor yang bertempat tinggal di daerah Gunung Batu dan Sindang Barang, sejak masih dijalankan oleh ayahnya, Abdul Manaf. “Hingga saat ini, bapak saya masih sehat wal afiat, meski sudah berumur 80 tahun,” ungkapnya.

Sejak dulu, pelanggan setia selalu menyebut jenis kuliner yang mereka jajakan dengan sebutan Oleh-oleh Mang Manap. Saking legendarisnya, hingga saat ini masih banyak orang yang menggunakan istilah ‘manap’ sebagai plesetan dari kata ‘mantap’ untuk menggambarkan satu citarasa masakan yang sangat istimewa. “Setahu saya, sebelum saya lahir bapak sudah berjualan oleh-oleh,” ujar Pepen yang berumur 37 tahun itu.

Pepen juga mengatakan, citarasa doclang yang mereka jajakan selalu diusahakan tidak pernah berubah sejak dahulu. Hal itu membuat para pembeli tidak pernah kecewa dengan suguhan yang disajikan. “Alhamdulillah, saya dan kakak saya dapat mewarisi resep dan citarasa ramuan dari bapak,” tuturnya.

Doclang yang mereka jajakan, tampak serupa dengan doclang yang biasa dijajakan di berbagai tempat di Kota Bogor, dengan salah satu ciri khas jenis jajanan kuliner satu ini, yaitu lontong besarnya yang menggunakan daun patat sebagai pembungkus, bukan daun pisang.

Selain lontong besar yang dipotong-potong sesuai pesanan pembeli, kentang goreng dan tahu kuning goreng pun merupakan bahan wajib dalam satu porsi doclang. “Namun kami fleksibel saja. Banyak juga pembeli yang ingin dibuatkan tanpa salah satu bahan wajib itu,” tukas Pepen seraya menambahkan, satu porsi doclang di tempatnya dijual dengan harga Rp 3.000 tanpa telur rebus.

Keistimewaan dari doclang Oleh-oleh Mang Manap yang sulit ditandingi oleh penjaja doclang lain adalah bumbu kacangnya yang khas. Citarasa bumbu kacang Oleh-oleh Mang Manap memiliki tampilan yang kental dengan butiran kacang tanah yang tidak halus penggerusannya.

Menikmati satu porsi doclang Oleh-oleh Mang Manap, bagi saya seakan belum cukup. Sedikitnya dua porsi doclang khas Gunung Batu itu harus disantap untuk membangkitkan kepuasan. Apalagi ditambah dengan guyuran air teh tawar panas yang tersaji gratis. Kenikmatan rasanya, benar-benar manaappp..

Rudi D. Sukmana

Nasi Uduk Mang Awang yang Kondang

Bogor, Jurnal Bogor

Meski hanya menyediakan menu nasi uduk dan gorengan yang terdiri dari tempe goreng, bakwan, dan kroket, agak susah untuk menikmati menu-menu yang ditawarkan Awang kepada pembelinya. Membuka jualannya setiap hari mulai pukul 5.30, dalam waktu singkat makanan yang dijajakannya langsung habis dibeli. “Biasanya jam 6.30 atau jam 7.00 dagangan saya sudah habis,” ujar Awang kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Dikatakan Awang, ia sudah menekuni usaha kuliner pagi itu sejak 1999. “Dari pertama buka usaha, yang saya jual hanya nasi uduk dan gorengan. Saya juga menyediakan teh dan kopi bagi pembeli yang memesan,” tambahnya.

Tempat usahanya yang sederhana, berupa lapak berukuran empat meter persegi di Jl. Ledeng Gunung Batu, dekat Pasar Purbasari, tidak menyurutkan selera para pelanggan untuk berburu citarasa istimewa yang disuguhkan dalam nasi uduk dan gorengan yang dijual Awang. “Seharinya saya hanya membuat nasi uduk 3 liter. Sudah cukup untuk menyambung hidup dan menafkahi keluarga,” ungkap Awang.

Filosofi hidupnya yang sederhana itu, nyatanya tidak tampak dari citarasa jajanan yang disediakan. Nasi uduk yang sudah dikenal dengan nama nasi uduk Mang Awang itu memiliki rasa yang fenomenal. “Racikan nasi uduk saya biasa saja, sama seperti yang lain, ditanak dengan menggunakan air santan,” ungkapnya.

Selain nasi uduk, satu keunggulan rasa yang disajikan, yaitu sambal kacang hasil racikan Awang. Citarasa sambal kacang yang tidak kental itu sungguh luar biasa. Nasi uduk yang diaduk dengan sambal kacang ala Awang, menimbulkan sensasi rasa yang luar biasa kesegarannya.

Favorit saya yang tidak pernah dilewatkan bila singgah di kios Mang Awang, yaitu kroket gorengnya. Saya telah memiliki ritual tersendiri untuk mendapatkan kenikmatan rasa kroket tersebut, yaitu dengan memotong kroket menjadi dua bagian sama besar. Setelah itu, sambal kacang legendaris itu saya tuang ke dalam rongga setengah bagian kroket hingga meluber.

Untuk lebih mengejutkan rasa, masukkan sekaligus potongan kroket itu ke dalam mulut, kemudian baru digigit. Rasakan sensasi pecahnya kroket di dalam mulut yang membuat sambal kacang meledak memenuhi mulut. Mm.. sungguh luar biasa.

Masih penasaran, saya coba tanyakan lagi kepada Awang, rahasia apa yang membuat citarasa masakan yang dijajakannya sangat kondang. Awang hanya mengangkat bahunya, lalu mengatakan,”Mungkin karena saya menjual makanan di pagi hari, pada waktu orang yang baru bangun tidur ingin mengisi perutnya yang kosong setelah berpuasa semalaman karena tidur,” jawabnya.

Rudi D. Sukmana

California Fried Chicken Taman Topi

Menu Cepat Saji dan Cepat Santap

Bogor, Jurnal Bogor

Warga yang tinggal di perkotaan rasanya tidak mungkin bila tidak mengenal California Fried Chicken (CFC). Sebagai salah satu tempat wisata kuliner, menu-menu yang ditawarkan CFC telah menjadi favorit bagi para pelanggannya. Di Kota Bogor sendiri, CFC memiliki banyak tempat. Salah satunya, CFC yang berlokasi di dalam Plaza Kapten Muslihat (Taman Topi).

Operational Manager CFC Taman Topi Haryadi Santoso mengatakan, CFC Taman Topi telah dibuka berbarengan dengan dibukanya Plaza Kapten Muslihat pada 1985. “Sejak dulu kami selalu konsisten melayani pelanggan kami dengan citarasa CFC yang sudah dikenal mendunia,” ujar Haryadi kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Dikatakan Haryadi, CFC Taman Topi menempati areal seluas 250 meter persegi dengan tempat duduk yang mampu memuat sedikitnya 100 pengunjung. “CFC yang berada di Taman Topi tidak pernah sepi pengunjung. Bahkan, bila akhir minggu dan hari libur, 15 karyawan yang bertugas di sini selalu sibuk melayani pengunjung yang sampai antri tempat duduk,” ungkapnya.

Haryadi juga mengatakan, produk-produk CFC diproses dengan standar kualitas internasional, mulai dari pengendalian kualitas terhadap bahan-bahan sampai kebersihan di dalam proses pembuatan jenis produk yang dihasilkan. “Di samping menu utama berupa ayam goreng, pelanggan juga dapat menikmati menu-menu lainnya,” ucapnya.

Sebagai usaha waralaba di bawah naungan PT Pioneerindo Gourmet International, Tbk., CFC Taman Topi juga selalu mengikuti program menu yang dikeluarkan kantor pusat. “Saat ini, CFC Taman Topi menawarkan menu Sensasi CFC, yaitu Chicken Teriyaki, Beef Pepper, dan Chicken Pepper,” terang Haryadi.

Ketiga menu Sensasi CFC itu, dikatakan Haryadi, dipromosikan dengan melakukan diskon. Chicken Teriyaki yang semula berharga Rp 10.000 ditawarkan dengan harga Rp 8.909, sedangkan Beef Pepper yang harganya Rp 13.036, saat ini mendapat diskon sehingga harganya menjadi Rp 11.909. “Untuk Chicken Pepper harganya menjadi Rp 8.909 dari harga Rp 10.000,” paparnya.

Selain menu yang tengah dipromosikan, Haryadi menuturkan, CFC juga menyediakan menu gorengan yang terdiri dari Mie Goreng, Bihun Goreng, Nasi Goreng, dan Spaghetti Goreng. “Aneka menu gorengan itu kami tawarkan dengan harga Rp 12.727,” jelas Haryadi seraya menambahkan, semua harga menu di CFC merupakan harga sebelum pajak.

Di samping itu, CFC pun mengeluarkan menu Astaga yang merupakan akronim dari kalimat Asyik Tak Terduga, sebagai pilihan menu paket bagi pengunjung. Ada dua pilihan menu paket Astaga, yaitu Astaga Family dan Astaga Paket. “Astaga Family terdiri dari Astaga Family 1 dengan harga Rp 60.091, Astaga Family 2 dengan harga Rp 129.909, dan Astaga Family 3 dengan harga Rp 69.909” terang Haryadi.

Sedangkan Astaga Paket, imbuh Haryadi, ditawarkan dalam sembilan paket pilihan dengan harga mulai Rp 13.636 sampai Rp 23.545. “Menu Astaga Paket yang paling digemari di tempat kami ini adalah Astaga 3 yang terdiri dari satu porsi nasi, satu potong ayam dan segelas soft drink dengan hargar Rp 13.636,” tambahnya.

Menu minuman yang disediakan, selain soft drink juga ditawarkan minuman Float, Cappuccino, dan Milkshake. Untuk Calblend Float dan Cappuccino Float, ditawarkan dengan harga Rp 7.455, Hot Cappuccino harganya Rp 7.909, dan Ice Cappuccino Rp 9.091. “Avocado Float kami beri harga Rp 9.455, sedangkan Milkshake harganya Rp 10.000,” papar Haryadi.

Keunggulan CFC dibandingkan fried chicken lain, menurut Haryadi, lapisan kulit ayam yang disuguhkan lebih renyah. Selain itu, daging ayamnya pun lebih terasa karena proses pemasakan yang mampu membuat bumbu-bumbunya menyerap ke dalam daging. “CFC juga menawarkan harga yang lebih kompetitif dan menjangkau berbagai kalangan,” tukasnya.

Haryadi juga menambahkan, keunggulan lain CFC yang mampu mempertahankan jumlah pelanggannya, karena menu-menu yang ditawarkan lebih variatif dan beragam. “Meski kami tidak membuka member, prioritas kepuasan pelanggan yang kami berikan membuat mereka selalu kembali lagi,” ujarnya.

Puas berbincang-bincang dengan Haryadi, saya pun memesan satu paket menu Astaga yang disediakan, yaitu paket Astaga 5 yang harganya Rp 23.545. Hanya dalam hitungan detik, menu yang saya pesan sudah tersedia di atas nampan, siap untuk dibawa ke meja. Burger berisi daging ayam itu, benar-benar menu fast food, karena bukan saja cepat saji, juga cepat santap.

Rudi D. Sukmana

Hidangan Maulidan Bukan untuk ‘Muludan’

Bogor, Jurnal Bogor

Pada satu kesempatan seusai menghadiri acara memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di salah satu masjid di dekat rumah. Saya dan Ki Batin terlibat diskusi yang cukup serius, membahas tentang semangat umat untuk memperingati hari kelahiran Nabi Besar umat Islam.

Saya menyampaikan unek-unek, banyak umat Islam saat ini seperti anak kecil. Menghadiri acara ‘muludan’ bukan ‘maulidan’ lagi. Karena berkosakata ‘muludan’ itu, yang ada hanyalah acara untuk mulut saja. “Saya tadi melihat, masing-masing sibuk mengurusi mulutnya sendiri-sendiri. Ada yang asyik ceramah, ada yang sibuk mengobrol, sampai yang sibuk memenuhi mulutnya dengan beragam santapan yang terhidang,” ujar saya sedikit kesal.

Ki Batin hanya tersenyum mendengar keluh kesah saya dengan menampilkan garis senyumnya yang khas. “Coba Kang, kita bikin acara ‘Maulidan’ yang engga usah pake suguhan-suguhan segala. Biar kita bisa menilai, manusia-manusia mana yang memang ikhlas mendatangi acara, dan mana yang hadir hanya untuk tujuan lain,” sambung saya.

Lagi-lagi, Ki Batin tersenyum, membuat saya semakin penasaran dengan sikapnya. “Kang, ngomong dong. Apa kek, kasih tanggapan kek, komentar kek, jangan diam aja,” sahut saya sedikit sewot. “Ah, si Aa, nanti kalau saya ngomong atau kasih komentar, ditulis lagi sama Aa,” jawabnya lalu tersenyum.

Mendengar jawaban Ki Batin, saya lalu tersenyum. “He he, maaf ya, Kang. Soalnya omongan Akang bagus banget buat saya tulis dan dibaca banyak orang. Mohon ijinnya, Kang,” tutur saya merendah. Ki Batin hanya menganggukkan kepalanya perlahan kemudian tersenyum kembali.

Sejenak kami terdiam, kemudian Ki Batin pun membuka suaranya. “Itu juga sae, A. Memperingati Maulid dengan atau tanpa suguhan, sama-sama bagus. Tergantung masing-masing individu, ingin mendapatkan hikmah Maulid dari luar atau dari dalam dirinya,” ujarnya.

“Sok atuh, dikaji deui A. Ketika perut sedang dalam keadaan lapar, diri merasa seakan-akan kita tengah dalam derita. Derita itu hanya ada di dalam neraka. Lalu, setelah perut terisi makanan, diri seakan nikmat. Nikmat itu hanya ada di dalam surga,” lanjut Ki Batin.

Padahal, imbuh Ki Batin, nikmat perut yang kenyang itu timbul akibat derita perut yang lapar. “Kami pernah katakan, surga itu adanya di masa lalu, masa kini adalah neraka dan masa depan adalah Tuhanmu,” ungkapnya.

“Nah, rasa kenyang yang nikmat serasa di surga itu sebenarnya neraka, dari surga rasa lapar sebelumnya yang serasa neraka. Neraka membuatmu jauh dari Tuhanmu, sedangkan surga membuatmu dekat dengan Tuhanmu. Sok coba si Aa renungkan tah ka acara Maulidan,” tandas Ki Batin.

Rudi D. Sukmana

The Cireng Rampat

Ngaraosan Rasa Cireng Nu Ngejreng

Bogor, Jurnal Bogor

Masih ingat satu jajanan kuliner yang disebut Cimol? Jajanan yang merupakan singkatan dari aci digemol atau aci dikulum itu ternyata memiliki generasi kedua yang juga sama-sama berasal dari Kota Bandung. Namanya Cireng, yang merupakan singkatan dari aci digoreng.

Sebagai masakan jajanan, di Kota Kembang cireng cukup popular dan banyak digandrungi, bahkan keberadaannya saat ini menggeser keberadaan cimol dengan julukan popular Cireng Isi Bandung. Seperti halnya cimol, cireng pun berbahan baku utama aci atau tepung singkong.

Cimol dan cireng sama-sama digoreng sebelum disajikan. Rasanya pun sama, kenyal-kenyal seperti ketan uli. Yang membedakan adalah, bila cimol dibalur bumbu-bumbu di lapisan luar, maka cireng, sesuai namanya yang popular itu memiliki isi yang berbeda-beda di dalamnya, seperti potongan daging ayam, potongan bakso, sosis, keju parut, sampai cireng yang berisi oncom.

Warga Bogor yang penasaran ingin mengetahui kenikmatan rasa cireng, kini tidak usah jauh-jauh pergi ke Bandung. Di salah satu sudut Plaza Kapten Muslihat yang lebih dikenal dengan nama Taman Topi, cireng dijajakan dengan label The Cireng Rampat.

Dikatakan Nurlina, salah seorang pengelola The Cireng Rampat, tempat yang menjajakan cireng isi khas Bandung itu baru dibuka sebulan yang lalu. “Saya berdua dengan teman saya, Asep Ucok menjaga tempat usaha ini,” ujarnya kepada Jurnal Bogor, kemarin.

The Cireng Rampat, menurut Lina, merupakan usaha franchise yang berasal dari Kota Bandung. Usaha itu, imbuhnya, dimiliki oleh Ani Rohaeni, ibu rumah tangga warga Jl. Cemara Bandung yang telah berhasil membuat inovasi cireng yang ternyata laris manis dan sukses di pasaran sejak 1992.

Di tempat itu, cireng ditawarkan dalam delapan rasa pilihan, yaitu Cireng Isi Bakso, Cireng Isi Sosis, Cireng Isi Oncom, Cireng Isi Ayam, Cireng Isi Sapi, Cireng Isi Keju, Cireng Isi Kornet, dan Cireng Isi Kacang. Masing-masing diberi harga Rp 2.000 per potong. Bentuknya pun macam-macam sesuai dengan isinya, ada yang bulat, persegi panjang, bintang, maupun pastel.

Lina juga mengatakan, semua cireng yang disediakan memiliki rasa pedas kecuali cireng yang berisi keju dan kacang. Masing-masing isi sudah ditumis terlebih dahulu dengan adukan bumbu berselera pedas. “Rasa pedas dipilih, karena mayoritas lidah Sunda sangat menyukai citarasa pedas,” tukasnya.

Sayangnya, salah satu menu yang dikatakan Lina banyak dipesan pembeli, yaitu Cireng Isi Oncom sedang habis stoknya. Alhasil, lima potong cireng dengan isi yang berbeda, yaitu isi keju, sosis, bakso, ayam, dan sapi pun dipesan untuk segera dinikmati dan memuaskan rasa penasaran.

Sambil menunggu pesanan matang digoreng, Lina menuturkan, jika ingin menggoreng cireng, masukkan cireng dalam keadaan api kecil dan minyak gorengnya sudah panas. Setelah agak matang baru apinya dibesarkan. “Ini untuk mecegah agar cireng tidak meletup saat proses digoreng,” terangnya.

The Cireng Rampat, menurut Lina, merupakan usaha franchise yang berasal dari Kota Bandung. Usaha itu, imbuhnya, dimiliki oleh Ani Rohaeni, ibu rumah tangga warga Jl. Cemara Bandung yang telah berhasil membuat inovasi cireng yang ternyata laris manis dan sukses di pasaran sejak 1992.

Lina menambahkan, bila diinginkan pembeli dapat membeli cireng yang belum digoreng untuk dibawa pulang dan disimpan di rumah. “Meski tidak menggunakan bahan pengawet, cireng dapat tahan selama tiga sampai empat hari bila dimasukkan ke dalam lemari es,” jelasnya.

Tak berapa lama, cireng yang dipesan pun matang. Warna putih cireng mentah, setelah digoreng berubah menjadi kuning kecoklatan dan mengembang. “Cireng lebih nikmat bila disantap pada saat masih panas,” ucap Lina seraya menambahkan, jenis kuliner satu itu sangat cocok sebagai teman minum teh atau kopi di sore hari.

Rasa yang disuguhkan? Mm.. selain kekenyalannya yang mirip dengan cimol, gurih asinnya dan manisnya timbul pada gigitan pertama. Selain rasa crispy yang berasal dari bagian luar akibat proses menggorengnya yang lebih kering, rasa pedas yang ditimbulkan dari isi cireng sangat mantap. Membuat diri ingin tambah lagi dan lagi.

Secara umum, cireng merupakan satu jenis kuliner yang penyajiannya mirip seperti pastel isi dan comro dengan bahan dan kemasan yang berbeda. Menurut saya, cireng merupakan generasi penerus setelah comro, yang menawarkan sensari baru kenikmatan penganan yang berasal dari ketela pohon. Hal itu yang membuat saya penasaran untuk membuktikan rasa Cireng Isi Oncom di lain waktu.

Rudi D. Sukmana

Menyantap Soto Mie Bogor Mang Yoyo

Bogor, Jurnal Bogor

Meski bukan salah satu jenis masakan favorit bagi kebanyakan orang, sekali-sekali boleh juga untuk menyantap lagi semangkuk soto mie khas Bogor. Tujuannya yaitu salah satu penjual soto mie Bogor yang telah dikenal memiliki rasa istimewa, yaitu Soto Mie Raos yang berlokasi di Jl. Ledeng Gunung Batu, di dekat Pasar Purbasari Bogor.

Menempati kios yang sangat sederhana, Yoyo Suryadi sudah berjualan soto mie Bogor sejak 1993. Yoyo mengatakan, ia berjualan soto mie setiap hari mulai pukul 8.00 sampai pukul 16.00. “Saya jualan kalau dapat bahan-bahannya lengkap, terutama kikilnya. Sekarang ini, banyak kikil bekas pabrik sepatu yang dijual di pasar,” ungkap Yoyo kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Dikatakan Yoyo, kikil atau kulit sapi yang dikatakannya dari pabrik sepatu itu mudah dikenali. “Warna putihnya menyala dengan permukaan yang halus tidak kasar,” terangnya seraya menambahkan, kalau direbus pun mengeluarkan busa yang banyak. “Saya hanya memakai kikil yang segar dari sapi yang baru saja dipotong,” tambahnya.

Pria asal Tasikmalaya berumur 54 tahun itu menuturkan, pertama kali berjualan soto mie harganya masih Rp 500 per mangkuk. “Sebelum ‘moneter’, jualan soto mie sungguh enak. Saya tidak bisa ngobrol seperti ini, selalu sibuk melayani pembeli,” sahut Yoyo yang mengistilahkan krisis ekonomi 1998 dengan kata moneter.

Ia menambahkan, sejak setahun lalu omzetnya cenderung menurun. Para pembeli, lanjutnya, semakin banyak berkurang. “Sekarang bila berjualan, menunggu pembeli sampai mengantuk,” ucapnya seraya menambahkan, setiap hari ia menyiapkan 50 porsi soto mie yang diberi harga Rp 4.000 per mangkuk.

Yoyo yang mengaku memiliki satu istri, satu anak, satu mantu, dan satu cucu itu lalu menyuguhkan semangkuk soto mie Bogor racikannya yang legendaris. Harum aroma kuah soto mie merebak memenuhi tempat makan yang cukup sempit itu. Penampilan soto mie Bogor itu sendiri cukup menggoda selera.

Semangkuk soto mie khas Yoyo terdiri dari berbagai bahan yang dipadu menjadi satu, yaitu bihun, mie kuning, kol cincang, potongan tomat buah, potongan kentang kukus, potongan kroket, potongan kikil, sesendok acar mentimun dan wortel, serta kerupuk. Bila menyukai selera pedas, beberapa tempat berisi sambal telah tersedia. “Kalau pembeli ingin makan dengan nasi putih, saya sediakan juga,” sahutnya.

Menikmati soto mie Bogor ala Soto Mie Raos hasil racikan Yoyo memang menyuguhkan citarasa yang berbeda. Kuah sotonya yang kental rasa kaldunya sangat menyegarkan setelah diseruput dalam keadaan masih mengepulkan uap. Pada saat sotonya diberikan komentar memiliki rasa yang enak, Yoyo hanya tersenyum kemudian menjawab, “Keur bejeuhna raos kana diri, nuhun atuh,” ucapnya.

Rudi D. Sukmana

Waroeng Bumi Khatulistiwa

Mencicipi Soto Khas Banjar

Bogor, Jurnal Bogor

Waroeng Bumi Khatulistiwa mungkin merupakan satu-satunya tempat makan di Kota Bogor yang menyediakan masakan-masakan khas Kalimantan Selatan sebagai menu utama bagi para petualang kuliner yang mendambakan kekayaan citarasa masakan Nusantara. Berlokasi di Jl. Raya Pajajaran No.28 A Bogor, penampilan Waroeng Bumi Khatulistiwa berkesan sederhana layaknya warung makan pada umumnya.

Pemilik dan pengelola Waroeng Bumi Khatulistiwa, Musfa Yazid yang berasal dari Banjar, Kalimantan Selatan mengatakan, usaha yang dijalankannya itu sudah dirintis sejak lima tahun lalu. “Saya tinggal di Kota Bogor sudah enam tahun lalu. Membuka warung makan dengan menu-menu khas Banjar untuk menawarkan rasa yang berbeda bagi warga Bogor,” ungkap Didit, sapaan akrab Musfa Yazid kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Menempati lokasi seluas 150 meter persegi, warung makan itu memuat sebelas meja yang masing-masing terdiri dari 4 bangku plastik. Dengan jumlah karyawan sembilan orang yang siap melayani para pengunjung, Waroeng Bumi Khatulistiwa dibuka setiap hari mulai pukul 8.00 sampai pukul 21.00.

Dengan misi awal mengangkat menu-menu khas Bangka sebagai alternatif kuliner di Kota Bogor, hingga saat ini Waroeng Bumi Khatulistiwa sudah memiliki banyak pelanggan. “Pada Sabtu dan Minggu, tempat kami cukup ramai dikunjungi pembeli. Kebanyakan datang dari luar Kota Bogor,” ujar Didit.

Alasan itulah yang membuat Didit menyediakan beberapa menu istimewa hanya pada Sabtu dan Minggu. “Beberapa menu, seperti Ketupat Kandangan dan Nasi Kuning, kami jual hanya pada hari-hari itu. Termasuk juga kue Bingka, yaitu Bika Banjar yang mirip seperti Bika Ambon,” terangnya.

Menu-menu yang disediakan, lanjut Didit, tidak lebih dari 50 makanan dan minuman, dengan menu-menu andalan, yaitu Soto Banjar, Ketupat Kandangan yang ditawarkan dua pilihan lauk, gabus dan telur, Nasi Kuning dengan tiga pilihan lauk, gabus, telur, dan ayam, serta Lontong Banjar. “Soto Banjar kami tawarkan dengan harga Rp 12.000, sedangkan Ketupat Kandangan Gabus dijual dengan harga Rp 15.000,” paparnya.

Harga yang ditawarkan warung makan itu, dikatakan Didit, mulai dari Rp 6.000 sampai Rp 30.000. “Untuk menu minuman, kami tidak menjual menu minuman khas Banjar, hanya menu minuman umum, seperti juice, soft drink, serta teh dan kopi,” jelasnya seraya menambahkan, menu minuman dijual dengan harga tidak lebih dari Rp 8.000.

Selain menu-menu di atas, Didit juga mengatakan, menu yang cukup digandrungi pengunjung tempatnya adalah Ayam Goreng Khatulistiwa dengan pilihan harga Rp 30.000 untuk satu ekor ayam kampung dan Rp 15.000 untuk setengah porsinya, serta menu Gabus Masak Habang yang dijual dengan harga Rp 8.000 per porsi.

Didit pun dengan ramah mempersilakan untuk mencoba Soto Banjar Lontong khas warung makannya. Satu porsi Soto Banjar itu tampak berukuran jumbo, sangat penuh. Bahan-bahan seperti lontong, telur bebek rebus, perkedel kentang, suwiran ayam kampung, dan soun terbenam dalam kuah soto yang hampir mencapai tepi piring.

Kuah soto khas dari Kalimantan Selatan itu ternyata hampir mirip seperti kuah sop, namun kaldunya terasa lebih kental dan segar. Berbeda dengan kuah soto bening yang kental dengan rasa kaldu sapi, kuah soto Banjar lebih terasa kaldu ayam. Potongan lontongnya pun disuguhkan dengan kelembutan yang pas, tidak terlalu keras juga tidak terlalu lunak.

Sambal yang disajikan ternyata cukup seuhah. Menurut Didit, sambal itu dibuatnya dari cabai rawit biasa yang dijual di pasar-pasar tradisional Kota Bogor. “Kalau saya memakai cabai rawit asli Banjar, satu buahnya pun orang langsung berteriak kepedasan, karena buah cabai asli Banjar lebih pedas dibandingkan buah cabai yang umum ada di sini,” terangnya.

Telur bebek yang disajikan, bukan berjenis telur asin seperti yang biasa dikenal. Dikatakan Didit, aslinya Soto Banjar memang menggunakan telur bebek sebagai lauknya bukan telur ayam. “Pelanggan saya pernah mencoba menyantap soto Banjar dengan lauk telur ayam rebus. Dia mengatakan, citarasa yang disuguhkan sangat berbeda,” sahutnya.

Selain memiliki rasa yang unik dan berbeda dari soto yang umum ditemukan di Kota Bogor, satu porsi Soto Banjar ala Waroeng Bumi Khatulistiwa cukup mengenyangkan. Warung makan itu sangat cocok dikunjungi untuk menambah pengalaman rasa terhadap menu-menu masakan bumi nusantara yang sangat kaya ragam.

Rudi D. Sukmana

Talas Bogor: Geus Koneng, Empruy Pisan Euy

Bogor, Jurnal Bogor

Talas Bogor atau dalam bahasa latinnya Colocasia gianteum Hook, termasuk dalam suku talas-talasan atau Araceae, merupakan tumbuhan penghasil umbi popular yang banyak ditanam di daerah sub tropis dan tropis. Di Indonesia tempat pengembangan talas adalah Kota Bogor dan Malang yang menghasilkan beberapa jenis talas yang enak rasa umbinya.

Tanaman yang sering juga disebut keladi atau taro itu telah dikenal sejak 100 tahun sebelum Masehi, dan diduga berasal dari India, Srilangka, atau dari Sumatera. Sejak permulaan sejarah perkembangan Bogor, talas sendiri sudah sangat berkembang dan banyak dikonsumsi oleh penduduk setempat.

Berbagai jenis talas terdapat di Bogor, tetapi tidak semua enak rasanya. Dari jenis-jenis talas itu, yang terkenal memiliki rasa enak dan banyak dijajakan di pinggir-pinggir jalan utama Kota Bogor, yaitu talas sutera dan talas bentul atau talas ketan. Selain itu, Bogor juga terkenal memiliki jenis talas lain yang disebut talas mentega atau talas gambir (talas hideung), talas balitung, talas kutil, dan talas laja yang cocok untuk sayur mayur.

Talas Bogor sendiri sudah terkenal dan menjadi salah satu buah tangan khas yang selalu dibawa para pendatang untuk oleh-oleh bagi sanak keluarganya. H. Soma, seorang penjual talas Bogor yang biasa mangkal di pinggir Jl. Raya Pajajaran mengatakan, talas yang dijajakannya banyak dicari para pembeli yang datang dari luar Kota Bogor. “Talas yang saya jual, jenisnya talas ketan. Geus koneng, empruy pisan euy karaosna,” ujar Soma kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Satu ikat talas berukuran kecil yang terdiri dari empat buah talas dijual Soma dengan harga Rp 10.000. Untuk ukuran sedang, dijualnya dengan harga Rp 15.000 sampai Rp 20.000. “Kalau ukuran besar harganya bisa mencapai Rp 30.000 satu ikat,” sahut Soma sambil menunjuk satu ikat talas berukuran besar yang terdiri dari tiga buah talas.

Kebanyakan para pendatang yang berjalan-jalan ke Kota Bogor, membeli talas untuk diolah di rumah masing-masing. Talas sendiri dapat dijadikan beragam penganan, seperti kue-kue, minuman, atau hanya digoreng saja, dengan rasa yang tidak kalah dengan umbi-umbian lain seperti singkong dan ubi jalar.

Saya pribadi lebih menyukai daun talas daripada umbinya. Terutama daun talas yang diolah sedemikian rupa menjadi salah satu menu favorit saya, yaitu buntil daun talas. Bagi saya, buntil daun talas memiliki citarasa yang lebih nikmat dibandingkan buntil daun singkong dan buntil daun papaya. Sayangnya sampai saat ini, penjaja buntil daun talas di Kota Bogor belum berhasil saya temukan di mana gerangan tempatnya.

Rudi D. Sukmana

Paradisso Café & Resto

Mencicipi Bread Flower Ala Eropa

Bogor, Jurnal Bogor

Food and Beverage Manager Paradiso Café & Resto Elly Palisunan mengatakan, restokafe yang terletak di dalam Country Club Bukit Cimanggu City itu pada awalnya hanya berbentuk kafetaria bagi para pengunjung Water Adventure Marcopolo. “Berbentuk kafetaria sudah sembilan tahun lalu, sedangkan menjadi Paradisso Café & Resto sejak empat tahun lalu,” uncap Elly kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Dikatakan Elly, Paradisso Café & Resto merupakan satu kesatuan usaha dari Country Club Bukit Cimanggu City yang memiliki beberapa unit usaha, seperti Water Adventure Marcopolo, Fit For Two Fitness Center, Function Room, dan fasilitas olahraga lainnya. “Untuk Paradisso, luasnya lebih dari 500 meter persegi dengan kapasitas yang mampu menampung hingga 200 pengunjung,” paparnya.

Tempat itu pun, imbuh Elly, sering menerima reservasi dari para pelanggan, seperti arisan dan family gathering. “Kami juga menerima pemesanan lunch box, delivery service, dan catering untuk berbagai acara, seperti pesta pernikahan, buffet, dan acara-acara kedinasan,” terangnya.

Selain berbagai pelayanan yang disediakan, Elly menambahkan, Paradisso juga menyediakan ruang karaoke yang dapat digunakan dengan gratis bagi pengunjung yang memesan makanan dan minuman di tempat yang turut dikelolanya. “Ruang karakoke ada di lantai atas, di dalam function room yang biasa digunakan untuk meeting perusahaan,” jelasnya.

Menu-menu yang disediakan Paradisso Café & Resto, dikatakan Elly, tidak lebih dari 50 makanan dan minuman. Menu unggulan restokafe itu, imbuhnya, adalah Mie Sapi Lada Hitam yang ditawarkan dengan harga Rp 17.500 dan Chicken Golden Blue yang memiliki harga Rp 27.500. “Chicken Golden Blue merupakan menu makanan Eropa berupa chicken filled gulung yang di dalamnya diberi smoked beef dan keju slice. Penyajiannya disertai dengan saus-saus dan mayones,” ucapnya.

Menu-menu yang disajikan, lanjut Elly, diracik oleh tiga orang Cook dan satu Chef. “Tempat kami memiliki satu Chef yang sudah sangat berpengalaman dan spesialis menu-menu Eropa bernama Radjiman. Sedangkan kafe ini sendiri memiliki jumlah karyawan sebanyak 26 orang, termasuk tiga orang supervisor,” paparnya.

Harga-harga yang ditawarkan untuk para pengunjung, tambah Elly, mulai dari Rp 11.000 sampai Rp 32.000 untuk menu-menu makanan. Untuk menu minumannya, dibandrol dengan harga yang tidak melebihi Rp 20.000. “Harga-harga menu makanan dan minuman di tempat kami, dijamin sangat terjangkau bagi para pengunjung. Sesuai dengan citarasa dan kenyamanan yang disajikan,” tukasnya.

Selain menu-menu yang ditawarkan, Elly menambahkan, Paradisso Café & Resto juga menyediakan beragam menu bakery yang dibuat sendiri oleh para krew masak kafe itu, dan diberi brand Bread Flower. Lebih dari 50 jenis roti, kue, dan donat disediakan bagi pengunjung dengan harga yang bervariasi, mulai Rp 5.000. “Kami juga menerima pesanan pembuatan kue ulang tahun atau kue pernikahan di sini,” lanjutnya.

Sambil menuturkan tentang Paradisso Café & Resto, segelas juice sirsak dan sepiring roti pun tersaji di hadapan. “Silakan dicoba, citarasa menu yang kami sajikan ini,” ujar Elly. Tiga potong roti di hadapan, terdiri dari dua potong roti keju dan sepotong roti coklat pun dicicipi. Rasa yang disuguhkan, sangat mirip dengan citarasa roti Bogor Permai. Citarasa roti ala Eropa yang memiliki tekstur padat, yang sangat berbeda dengan citarasa roti ala Amerika yang memiliki tekstur ringan, seperti roti yang disuguhkan BreadTalk.

Keunikan dari roti bercitarasa Eropa, terutama sangat sesuai dengan lidah dan kapasitas perut orang Indonesia. Mungkin, karena sejarah bangsa ini yang pernah menjadi daerah koloni salah satu bangsa di Eropa, sehingga roti ala Eropa terasa lebih akrab di lidah dan cepat membuat perut kenyang.

Juice sirsak yang disuguhkan, sebenarnya memiliki rasa yang segar. Kenikmatan buah sirsaknya sangat terasa dan tanpa pemanis tambahan. Hanya sayangnya, di siang hari yang panas, juice sirsak itu terasa kurang dingin di mulut. Mungkin ice cube yang diberikan tidak terlalu berani. Meski demikian, untuk menjadi penyejuk tenggorokan yang kering, juice yang disajikan mampu membawa kesegaran.

Dari sajian yang disuguhkan untuk menjadi tester itu, ditambah dengan suasana tempat dan pelayanan yang diberikan, Paradisso Café & Resto sangat layak untuk dijadikan salah satu tempat pilihan bagi warga Bogor yang mendambakan citarasa makanan dan minuman yang istimewa dengan suasana tempat yang nyaman.

Rudi D. Sukmana

Warung Girli Café & Resto

Menu Baru Bikin Seru

Bogor, Jurnal Bogor

Warung Girli yang terletak di kompleks Ruko Bantar Kemang Jl. Raya Pajajaran No.20 atau di seberang gedung Bale Binarum menawarkan menu baru sejak satu minggu lalu, yaitu Sup Buah dan Mie Bakso. “Menu baru Warung Girli pasti bikin suasana seru bagi pengunjung tempat kami,” ujar Agustianingsih, salah seorang pemilik Warung Girli Café & Resto kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Dikatakan Tia, sapaan akrab Agustianingsih, menu baru itu disediakan untuk menjawab animo para pengunjung yang sering menanyakan kedua menu tersebut. “Menu Sup Buah dan Mie Bakso yang kami sediakan, sudah melewati tahap inovasi dan kreasi dari para krew kami, sehingga memiliki rasa yang istimewa dan berbeda dengan tempat lain,” tukasnya.

Menu Mie Bakso sendiri, imbuh Tia, terdiri dari beberapa pilihan, yaitu Mie Ayam, Mie Bakso, Mie Bakso Pangsit, Mie Bakso Babat, Mie Bakso Spesial, Bakso Ikan Kuah, dan Bakso Kuah. Untuk Mie Ayam, Bakso Ikan Kuah, dan Bakso Kuah ditawarkan dengan harga Rp 10.000. “Mie Bakso Spesial kami tawarkan dengan harga Rp 15.000, sisanya per porsi kami beri harga Rp 12.000,” paparnya.

Sedangkan menu Sup Buah, lanjut Tia, diberi harga Rp 8.000. Sup Buah itu terdiri dari beragam buah, seperti alpukat, strawberry, jambu, apel, melon, mangga, dan pear. “Harga yang kami tawarkan sangat terjangkau bagi semua kalangan, termasuk para pelajar,” sahutnya.

Resmi dibuka tiga tahun lalu, tempat itu menyediakan 18 meja yang masing-masing terdiri dari empat kursi, dengan luas area makan lebih dari 200 meter persegi. “Girli dibuka setiap hari, mulai pukul 9.00 sampai 24.00,” terang Tia.

Konsep tempatnya sendiri, dikatakan Tia, mengambil konsep tempat terbuka, sehingga pengunjung dapat melihat pemandangan lalulintas di depannya. “Konsep tempat yang kami sajikan, sengaja memadu antara konsep kafe tenda dengan saung resto,” paparnya

Salah satu keunggulan tempatnya, dikatakan Tia, pengunjung akan merasa sangat nyaman untuk bersantai bersama rekan-rekan mereka. “Kami menyediakan live music yang libur tiap malam Jumat dan malam Selasa. Pengunjung yang ingin bernyanyi, silakan melantunkan suaranya diiringi pemain organ tunggal kami,” jelasnya.

Tia juga mengatakan, suasana Warung Girli sangat cocok dikunjungi beramai-ramai. “Kami menyediakan panggung dan peralatan organ tunggal untuk menghibur para pengunjung, sehingga tempat ini nyaman untuk melepas lelah,” ujarnya.


Selain menu baru itu, dikatakan Tia, Warung Girli tetap menyediakan menu andalannya yaitu Sop Buntut dan Nasi Goreng Keju. “Dua menu itu menjadi andalan tempat kami, karena sangat diminati para pengunjung Warung Girli,” jelasnya.

Sop buntut khas Girli, imbuh Tia, terdiri dari dua pilihan, yaitu Sop Buntut Kuah dengan harga Rp. 20.000 dan Sop Buntut Goreng yang dibandrol Rp. 25.000 per porsi. “Selain sop buntut, pengunjung tempat kami juga sangat suka dengan rasa sop iga dan sapi lada hitam yang kami sajikan,” paparnya.

Menu Nasi Goreng Keju, sebagai salah satu menu andalan Warung Girli, memiliki rasa istimewa yang sangat berbeda dengan rasa nasi goreng yang biasa ditemukan di tempat lain. Bumbu nasi gorengnya kental dengan nuansa oriental sea food, tetapi disajikan dengan potongan daging sapi yang bersembunyi di celah-celah nasi dan parutan keju.

Nasi goreng keju yang dijual dengan harga Rp. 12.500, dikatakan Tia merupakan nasi goreng kreasi Warung Girli. “Juru masak kami, Muhammad Howi merupakan juru masak andal yang berpengalaman lebih dari 20 tahun di bidang perkulineran, terutama masakan oriental,” jelasnya.

Selain menu makanan, resto kafe itu juga menyediakan menu minuman yang sangat diminati pengunjung, yaitu Girli Fantasy, yaitu racikan lemon, sprite, dan es batu yand diblended sehingga menghasilkan rasa juice lemon yang nyegrok, menyegarkan.

“Meski menu-menu masakan di sini, merupakan sajian yang umum, kami tetap melakukan kreasi inovasi sendiri, sehingga dalam hal rasa dan penyajiannya memiliki nuansa khas Warung Girli,” papar Tia.

Tia juga menambahkan, hanya dengan merogoh kocek rata-rata Rp. 25.000 per orang, pengunjung akan mendapatkan sensasi petualangan kuliner khas Warung Girli. “Resto kafe kami membidik semua kalangan, oleh karena itulah nama tempat kami Girli yang merupakan singkatan dari Pinggir Kali,” tandasnya.

Rudi D. Sukmana

MeetingPoint Coffee Corner

Browsing Santai Berteman Hot Chocolate

Bogor, Jurnal Bogor

MeetingPoint Coffee Corner yang terletak di Jl. Sancang No.4 Bogor, pada awalnya merupakan sebuah rumah yang seringkali dijadikan tempat berkumpul komunitas otomotif Kota Bogor.

“MeetingPoint sendiri baru dibuka sejak Januari 2008 lalu. Belum begitu lama, karena kami menggantikan usaha yang lama yang memang menempati lokasi yang sama,” ujar Adhi Surya, salah seorang pemilik dan pengelola MeetingPoint Coffee Corner kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Dikatakan Adhi Surya yang bermitra dengan Kareem Irawan itu, pada awalnya rumah kediaman H. Handi Purnama itu merupakan tempat berkumpul para penggemar motor gede dan komunitas otomotif lainnya di Kota Bogor.

“Kami menggantikan usaha yang lama dengan konsep awal menjadikan tempat ini sebagai tempat yang memiliki fasilitas Hot Spot yang dapat digunakan secara gratis. Selain itu, untuk menambah kenyamanan berinternet, kami menyediakan minuman dan makanan bagi para pengunjung,” papar Adhi.

Adhi mengakui, hingga saat ini tempat yang turut dikelolanya masih terus melakukan pembenahan internal. “Kami membenahi sambil menjalankan usaha ini. Hal itu membuat kami belum melakukan promosi-promosi ke luar,” ungkapnya.

Jumlah menu yang disediakan di kafe itu, lanjut Adhi, masih sekitar 30 menu yang dominan menyediakan menu minuman. “Harga yang kami tawarkan kepada pengunjung mulai dari Rp 5.000 sampai Rp 10.000. Untuk menu makanannya, kami baru menyediakan french fries dan nugget,” sahutnya.

Keunggulan kafe itu, imbuh Adhi, menyediakan fasilitas Hot Spot yang tidak perlu melakukan registrasi atau prosedur dan persyaratan apa-apa. “Pengunjung cukup membawa laptopnya sendiri dan silakan browsing di tempat kami sambil menikmati menu-menu yang kami sediakan,” ucapnya.

Meski MeetingPoint yang memiliki luas area makan lebih dari 200 meter persegi dengan 30 tempat duduk itu masih melakukan pembenahan internal usahanya, dikatakan Kareem, tempat itu sudah menjadi tempat pilihan para pengunjung. “Banyak mahasiswa IPB yang singgah dan menggunakan tempat kami sebagai ajang bertemu dan berdiskusi,” ujar Kareem.

Dengan jumlah karyawan sebanyak empat orang, Kareem menegaskan, usaha yang dikelolanya bersama Adhi akan mulai melakukan gebrakan dalam waktu dekat. “Sebagai awal, kami akan mengadakan acara nonton bareng Euro 2008 di sini,” tegasnya.

Selain menyediakan menu minuman dan makanan, dikatakan mereka, MeetingPoint pun menyediakan sisha bagi pengunjung yang menggemari jamuan ala Timur Tengah itu. “Untuk menu sisha dengan rasa biasa kami tawarkan Rp 30.000, sedangkan dengan rasa spesial harganya Rp 50.000,” ujar Adhi dan Kareem seraya menjelaskan, sisha special mengandung air soda yang lebih enak dibandingkan sisha biasa.

Menu minuman favorit khas tempat itu, lanjut Adhi, yaitu Hot Chocolate dan Ocean Blue yang harganya Rp 8.000. “Kedua menu itu banyak dipesan para pengunjung. Ocean Blue sendiri dibuat dari campuran berbagai bahan minuman diantaranya, Pepsi Blue, Sprite, dan Krating Daeng,” paparnya.

Tertarik dengan salah satu menu yang disediakan MeetingPoint Coffee Corner, segelas Hot Chocolate pun tersaji di hadapan. Uapnya yang masih mengepul dengan aroma coklat yang kental, mampu membangkitkan selera di tengah hujan yang turun dengan deras pada saat itu.

Rasa Hot Chocolate yang disuguhkan kafe itu, nyatanya benar-benar memberikan kesegaran bagi tubuh. Coklat yang kental dengan sedikit rasa susu yang masih panas, benar-benar memikat rasa dan mampu mengusir hawa dingin akibat hujan deras yang turun sejak siang hari.

Rudi D. Sukmana

Mochi, Kue Jepang Made In Sukabumi

Bogor, Jurnal Bogor

Omochi adalah sebutan dalam bahasa Jepang untuk apa yang secara umum dikenal sebagai kue mochi atau moci di Indonesia. Awalan ‘o’ di depan sebutan ‘mochi’ sebenarnya sekedar tambahan penghalus saja dalam bahasa yang biasa dipakai para wanita Jepang pada umumnya.

Di Indonesia atau di beberapa negara Asia, kue mochi dibuat dari tepung beras ketan putih, sedangkan di tempat asalnya, mochi dibuat dari beras khusus bernama mochigome, yaitu jenis beras Jepang yang termasuk jenis japonica. Mochigome bentuknya lebih pendek dan lebih bulat daripada jenis beras yang biasa di konsumsi di Indonesia, yang termasuk jenis indica. Jenis beras japonica ini lebih lengket, sehingga nasinya mudah dimakan dengan sumpit.

Nasi itu kemudian diuleni dengan cara ditumbuk dengan kine atau alu khusus dan dibolak-balik dalam sebuah usu atau lesung kayu tradisional Jepang dengan diberi tambahan air. Saat ini di Negeri Sakura, kue mochi diolah dengan mesin untuk produksi massal, sedangkan pembuatan mochi secara tradisional, kini lebih merupakan sebuah ritual pada rangkaian perayaan mochitsuki atau perayaan tahun baru Jepang.

Sebagai penganan kecil atau snack, mochi dapat diisi beragam variasi. Bentuknya pun dapat dibuat beragam. Di Indonesia, khususnya kue mochi buatan Kota Sukabumi yang biasa dijajakan para pengasong di beberapa titik persimpangan jalan besar di Kota Bogor, kue mochi berisi adonan kacang.

Dikemas dalam keranjang bambu yang diberi merk dalam tulisan kuo-i yang dibaca swang sie yang artinya banyak kebahagiaan, setiap keranjang kue mochi biasanya berisi 10 buah mochi berukuran sebesar kelereng, dengan harga mulai Rp 5.000 sampai Rp 7.500 per renteng yang berisi empat keranjang bambu.

Di Sukabumi sendiri, kue mochi yang terkenal adalah kue mochi yang dibuat di Jl. Otista No.39. Kue mochi ini bentuknya bulat, bertabur tepung sagu, dan terasa kenyal. Jika digigit, rasa manisnya akan terasa.

Di tempat itu dijual dua jenis kue mochi, yaitu kue mochi tanpa isi yang disebut kiathong dan kue mochi yang diisi dengan adonan kacang. Kue mochi dari tempat itu dibuat tanpa pewarna dan tanpa pengawet, sehingga tidak dapat disimpan lama-lama, harus segera dimakan.

Rudi D. Sukmana

Bumbu Desa

Ririungan Ngaraosan Kuliner Desa

Bogor, Jurnal Bogor

Menikmati sajian makanan atau mengunjungi tempat makan favorit merupakan salah satu kegemaran para wisatawan kuliner di Kota Bogor. Salah satu tempat yang membuat komunitas itu ingin kembali dan kembali lagi adalah kedai Bumbu Desa yang berlokasi di Jl. Pajajaran No.18 Bogor.

Outlet Manager Bumbu Desa Bogor Roni A. Umaren mengatakan, ada dua hal yang membuat para wisatawan kuliner diri ingin kembali dan kembali lagi, yaitu suasana tempat dan citarasa sajiannya. “Bagi para penghobi makan di luar rumah, Bumbu Desa memenuhi dua standar kriteria itu,” ujar Roni kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Dikatakan Roni, salah satu yang disuguhkan resto itu, adalah nuansa desa atau kampung yang sangat kental. Betapa tidak, sejak memasuki area parkir hingga memasuki ruang makan, senyuman dan sapaan hangat selalu ditemui di sini. “Bahkan ucapan selamat datang dalam Basa Sunda pun, kami sampaikan dengan cara berteriak, tidak sekedar sapaan biasa,” sahutnya.

Hal itu, imbuh Roni, mengingatkan suasana kampung-kampung di pelosok Pasundan yang memang sudah menjadi satu tradisi untuk memberikan senyum kepada setiap orang dan berbicara dengan berteriak, bila satu orang bertemu dengan orang lain. “Kami justru sangat bangga dengan nilai-nilai kampungan itu,” tukasnya.

Kesan akrab dan bersahaja yang diciptakan Bumbu Desa, dikatakan Roni, sampai saat ini berhasil menarik hati para pengunjung. Antara pengunjung dengan pramusaji, bagaikan tetangga di kampung yang ramah dan tidak ada batasan. “Ririungan urang kota sambil ngaraosan kuliner kampung di Bumbu Desa, merupakan suasana yang dicari,” ucapnya.

Benturan budaya antara kota dengan desa itulah, lanjut Roni, mampu memunculkan Kedai Bumbu Desa sebagai ikon kuliner bagi pelanggannya. Keunikan benturan itu pun berlanjut pada sajian menu yang dihidangkan. “Bagaimana ‘orang kota’ yang sehari-harinya terbiasa menyantap roti, dipertemukan dengan hidangan khas Sunda,” katanya.

Roni mengatakan, di Bumbu Desa display menu tidak sekedar rangkaian tulisan saja melainkan benar-benar disusun sesuai menu aslinya. “Pengunjung bisa melihat bentuk dan sajian menu Bumbu Desa secara langsung, sehingga rasa penasaran akan nama sebuah menu menjadi tuntas dengan melihat langsung,” ujarnya.

Ditambahkannya, Bumbu Desa tidak menjual makanan melainkan menjual pengalaman, yaitu pengalaman menikmati makanan dengan sentuhan unik, di mana pengunjung yang datang akan mendapatkan pengalaman berbeda dibandingkan berkunjung ke restoran lain. “Siapa saja yang datang ke Bumbu Desa dijamin akan mendapat pengalaman tersendiri, yang tidak saja terkesan dengan menu masakannya, juga dengan kenyamanan tempatnya,” ujar Roni.

Jargon menjual pengalaman yang dikatakan Roni memang masuk akal. Saat menikmati menu-menu yang disuguhkan Bumbu Desa, pandangan mata kita akan terarah pada desain interior yang minimalis, tradisional, modern. Aneka hiasan berupa foto-foto suasana kampung dan properti tradisional tampak jelas mengakrabi sisi visual kita.

Dengan interior khas bernuansa kayu, berkapasitas 188 kursi dan parkir yang memuat 40 mobil, pengunjung yang datang akan langsung mendapatkan nomor meja berkonsep all you can seat, atau bisa memilih tempat duduk di mana saja yang kosong. Pengunjung, dapat memilih makanan setengah matang yang disajikan. “Makanan yang dipilih akan kami goreng dan diantar ke meja. Sambal dan lalapan disediakan free,” ujarnya.

Koleksi menu dan minuman yang dimiliki Bumbu Desa Bogor yang berada dalam holding company PT. Tirta Gangga Gita Maya Bandung ini, berjumlah lebih dari 100 koleksi menu makanan dan minuman. “Agar tidak bosan, setiap minggu kami selalu mengganti menu. Kami pun hanya menyajikan sekitar 50 menu makanan-minuman per harinya. Semuanya khas masakan Sunda,” terang Roni.

Menu masakan yang ditawarkan di tempat itu, lanjut Roni, merupakan masakan kampung yang jarang didapatkan di restoran lain. Selain menu sunda komplit standar, ada juga menu spesial yang jarang ditemui seperti tutut koneng, tumis keciwis, ikan paray dan udang rarong. “Udang rarong adalah sejenis udang tapi bukan udang. Rarong ini hanya bisa didapatkan di daerah Garut saja,” ucapnya.

Untuk menikmati citarasa dan kenyamanan ala Bumbu Desa, menurut Roni, pengunjung rata-rata mengeluarkan Rp 40.000 per orang. “Bila melihat dari serunya pengalaman kuliner yang didapat, harga itu tidaklah mahal,” tandasnya.

Rudi D. Sukmana