Jumat, 14 September 2012

Ia tak Pernah Selesai dengan Manusia

Ia tak Pernah Selesai dengan Manusia


Tiap kali telinga sebelah kiri ini mendenging, esok atau lusa yang terdapati adalah berita tragedi.Tiap kali telinga yang kiri ini berdengung hebat, esok atau lusa yang hadir adalah berita kematian.

Wahai, apakah ini pertanda atau hanya sekedar pengalaman religius semata?

Hanya dalam tragedi, kematian ditandai dengan aura. Tanpa itu, para santo tak akan ada, juga para hero. Seperti ditulis George Steiner dalam The Death of Tragedy, penderitaan tragis adalah “sebuah privilese yang murung yang didapatkan oleh mereka yang berada di tempat atas”.

Di bawah, yang membentuk kita adalah banalnya kematian. Tapi itu juga yang membuat kita tak berada dalam kemurungan yang radikal.

Aku teringat sebuah puisi Amir Hamzah yang sebenarnya tak bertanya, Junjunganku apatah kekal / apatah tetap / apatah tak bersalin rupa / apatah baka sepanjang masa

Lantas, kita tetap saja akan berjejal-jejal naik bus yang tak diketahui laik-tidaknya berjalan.

Tetap saja kagum laksana laron menatap lampu-lampu diskotik sambil sesekali terlena aroma sabu.

Tetap saja mengejar pembangunan mercu suar dan melupakan sekeping papan rapuh yang digunakan untuk jembatan bagi para anak-anak tak berdosa.

Kita tetap saja menantang maut lewat alam yang menderu dari balik derasnya kegelapan hujan dan kilatan gemuruh petir.

Di saat itu gelandangan pun merapat ke pojok-pojok. Para penjaga malam yang merasa sial. Para pelacur yang terhalau, dan bajingan yang beringsut siap.

Di dalam sejarah, di luar surga, manusia kecewa. Tapi seperti harapan, kecewa juga lahir dari rongga yang bisa menelannya kembali.

Mungkin rongga ini sebenarnya rasa syukur yang luas tapi tak selalu jelas.

Jika kita baca kata-kata Tuhan yang murka dalam Kitab Suci, si manusia itu seakan-akan bukan ciptaan-Nya lagi.
Dalam arti tertentu, ada sesuatu yang berhasil –manusia bisa menakjubkan dalam kemerdekaannya, dan sebab itu seakan ada sesuatu yang gagal.

Tak bisakah kita menyimpulkan, bahwa kegagalan itu sesuatu yang niscaya? Tuhan memperlihatkan kuasa-Nya dalam diri manusia di dunia tapi makhluk itu juga justru yang praktis membatasi kehendak-Nya dan membuat kehendak itu tak bisa jadi mutlak.

Artinya, Ia tak pernah selesai dengan manusia.

Mungkin Ia tak pernah puas.

Ia mencintainya tapi harus menyaksikan cacatnya.
RD Sukmana/* 23/2/2012

Ikhlas

Ikhlas


“Baru awal tahun aja, udah banyak banget kecelakaan dan korban jiwa ya, Kang..,” sahut seorang teman saya.
“Merinding saya jadinya.. Kayaknya ramalan kiamat di tahun 2012 bakal terjadi kalo udah begini,” lanjutnya.

Terdiam sejenak, teman saya itu lalu menlanjutkan. “Memang siapa sih orang yang tahu kalo maut datangt? Siapa yang tak mengira, ketika hendak berwisata melihat Monas, ketika pulang sehabis berolahraga, ketika sedang dalam sebuah perjalanan, ketika sedang tertidur lelap, bahkan yang baru-baru ini terjadi, ketika pulang sehabis menghadiri acara Maulid, sang maut datang?” tanya dia seolah untuk dirinya sendiri.

“Kalo saya, Kang.. saya susah buat ikhlas menerima kalo ternyata ada faktor kesalahan manusia ikut andil sebagai penyebab datangnya maut. Buat saya, seandainya manusia engga lalai, pasti ga akan berakibat pada kematian,” ucapnya mantap.

Haruskah diri ikhlas menerima?

Mm.. Ikhlas itu akan selalu ada, karena akan selalu ada masalah yang datang selagi masih hidup di dunia. Dengan logika yang menjadikan diri telah ikhlas, bisa jadi itu akan membuat diri segera menerima segala sesuatu yang telah terjadi untuk masuk ke dalam kehidupan yang belum dialami.

Bagi saya, ikhlas itu tidaklah lemah bahkan sebaliknya, ikhlas itu sangat tegas. Faktanya, korban atau bukan, ikhlas itu penting untuk menyelesaikan yang sudah terjadi, dan meneruskan kehidupan dengan potensi-potensi yang baru.

Ikhlas itu termasuk menerima bahwa kita tidak mungkin 100 persen benar, seperti orang lain tidak mungkin 100 persen salah. Dengan ikhlas justru diri dapat melihat secara jelas yang harus diperbaiki.

Ikhlas yang bersumber dari hati bukan dari logika akan membuat diri mensyukuri keterbatasan diri yang ada, sehingga diri menyadari ketiadaannya.

Mengapa? Karena hati itu mempunyai kemampuan menyembuhkan yang hebat sekali. Semua hal yang mengecewakan hidup, semua hal terindah dalam hidup dan semua impian dalam hidup ini akan tenggelam dalam hati.

Jika diri mengatakan bahwa diri ikhlas, itu bisa jadi pertanda bahwa diri belum ikhlas. Ikhlas itu menerima keadaan dengan satu hukum.

Ikhlas adalah hanya menerima Tuhan dengan seluruh kebenarannya.

Tetapi orang yang paling mengerti bahwa menerima keikhlasan adalah menerima Tuhan beserta seluruh kebenarannya, bahwa yang melakukan baik dapat kebaikan, mendoakan baik dapat kebaikan, membalas kejelekan membuat kita sama jahatnya dengan orang yang menjahati kita, tetapi memaafkannya menjadikan kita lebih anggun.

Semua ini adalah kebenaran, dalam penerimaan kita atas kebenaran Tuhan.  
RD Sukmana 20/2/2012

Kami Miskin, Kami Mati Duluan

Kami Miskin, Kami Mati Duluan


Negeri ini sungguh luar biasa. Negeri dengan garis laut terpanjang. Negeri dengan kekayaan sumber alam yang menakjubkan dan membuat negara lain iri.

Negeri yang konon dikatakan tongkat kayu ditanam pun akan menjadi pohon.

Negeri ini memang luar biasa. Kekinian dari anggota dewan yang sangat terhormat, bergelimang dalam intrik korupsi. Hanya di negeri ini wakilnya rakyat lebih berkuasa daripada rakyat itu sendiri.

Pamer kekayaan yang lalu lalang di jalanan pun seolah mempertegas, saya orang kaya, kamu orang miskin.

Hanya di negeri ini pencuri sandal, piring, dan buah busuk, diadili dengan penghamburan uang negara jutaan, jauh lebih besar dari barang bukti yang dicuri, seolah ingin menunjukkan hukum itu tak pandang bulu, yang salah harus dihukum bahkan bila perlu seberat-beratnya.

Hanya di negeri ini maling uang rakyat jutaan hingga miliaran rupiah yang lazim diperhalus dengan sebutan koruptor mendapat perlakuan istimewa. Penjara bak hotel, layanan berwisata ke Bali, hingga fasilitas pemberian remisi, amnesti ataupun grasi telah tersedia.

Miskin adalah predikat yang lazim disandang rakyat Indonesia dewasa ini. Miskin adalah penyakit paling menakutkan bagi mereka yang merasa kaya di negeri ini. Entah kekayaannya itu didapat dari apa, yang pasti jangan miskin, karena miskin itu menular dan mematikan, demikian pikir mereka.

Tanpa merasa bersalah, si kaya di negeri ini pun menyalahkan si miskin, kenapa mereka bisa jadi miskin.

Negeri ini sungguh malang, miskin membuat orang tua membunuh anak-anaknya sebelum akhirnya membunuh diri sendiri. Miskin membuat entah berapa jiwa melayang dalam tragedi kecelakaan lalu lintas.

Miskin pula yang membuat rumah-rumah sakit tak ingin menanggung renteng untuk membiayai bila ada pasien miskin yang membutuhkan perawatan dan pengobatan. “Kami lagi ikhtiar dan berusaha supaya keluarga kami tidak miskin. Kok enak saja datang berobat minta gratis,” mungkin begitu pola pikir mereka.

Miskin juga yang membuat maut lebih akrab membayangi saat melintasi sebuah trotoar atau sebuah jembatan. Dan miskin pula yang membuat pelajar SD, SMP, SMA hingga mahasiswa menjadi beringas bak binatang saling bunuh.

Miskin pula yang akhirnya membuat si kaya dengan pongah mencanangkan gerakan sehari tanpa nasi. Gerakan yang seolah menjadi pengingat bagi para pencanang itu untuk jangan sekali-sekali jadi miskin yang harus dengan terpaksa tanpa pencanangan memang tak lagi kenal nasi.

Sementara si kaya semakin aman dengan kawalan petugas lalu lintas miskin yang harus menutup jalan agar si kaya bisa berplesir dari Jakarta ke vila-vila mewahnya di kawasan Puncak. Penutupan jalan yang membuat si miskin semakin miskin dan menderita karena omzet jualan buah-buahannya menurun. Vila-vila mewah yang membuat si miskin di sepanjang DAS harus nrimo dengan banjir langganan.

Negeri ini memang sungguh berbiadab, karena semakin hari semakin terasa pembiaran yang melanggengkan pemiskinan. Menyengsarakan saudara sendiri dengan korupsi, ketidakpedulian, dan egoisme. Omong kosong dengan kesetiakawanan sosial, persetan dengan toleransi dan tolong menolong.

Kamu miskin maka siap-siap mati duluan. Wahai, selamat datang kematian kemanusiaan.  
RD Sukmana 19/2/2012

Tawuran

Tawuran


Saya memiliki satu orang sepupu lelaki yang masih bersekolah di salah satu SMK di Kota Bogor. Setiap harinya, ia terpaksa harus berganti baju dulu dengan baju non seragam bila hendak berangkat dan pulang sekolah. Alasannya, biar aman di jalan, tidak digebukin anak sekolah lain.

Saya menilai, ini sebuah kondisi yang sudah parah dan tak lagi harus dibiarkan.

Pada saat saya masih duduk di bangku SMA di Jakarta pada 1985 silam, belum ada yang namanya tawuran pelajar antar sekolah. Yang ada pada masa itu adalah jagger-jagger, istilah bagi para jagoan sekolah tukang berkelahi yang memang hobinya berkelahi.

Namun, para jagger biasanya lebih suka berkelahi secara jantan bila ada perselisihan dengan sekolah lain. Biasanya, kami ditantang atau menantang jagger sekolah lain untuk adu fisik antar jagger di sebuah tempat tersembunyi dari keramaian, sehingga tidak ada satu pun warga yang bisa melerai.

Cara berkelahi pun cukup mendatangkan nyali. Dengan tangan kosong, dua jagoan itu bergantian memukul satu demi satu. Jagger satu memukul lawannya tanpa ditangkis, setelah itu lawannya pun akan gantian memukul. Pemenangnya adalah jagger yang berhasil membuat lawannya terjatuh atau mengaku kalah.

Karena ketidakamanan dan ketidaknyamanan dalam menuntut ilmu, orang tua pun memindahkan saya untuk bersekolah di Kota Bogor yang pada waktu itu dikenal sebagai Kota Pelajar dan sangat tidak tersentuh oleh berbagai kenakalan pelajar seperti sekarang.

Nah, kalau dibandingkan dengan cara pelajar untuk diakui kadar “kejagoannya” oleh pelajar sekolah lain, tentunya era sekarang hanya menjadi bahan tertawaan bagi kami sang jagger di sekolah kami dulu.

Entah apa alasannya, pelajar sekarang lebih senang berkelahi bersama-sama, keroyok satu pelajar yang kebetulan tertangkap, dan lebih senang menggunakan senjata berbahaya dan mematikan. Namun di luar itu, tawuran pelajar menjadi permasalahan sosial terutama di kota-kota yang tumbuh menjadi kota besar.

Sayangnya, meski para pelajar yang tawuran mengusung nama sekolah mereka, pihak sekolah acapkali berkelit dengan berkilah, para pelajar yang tawuran tersebut berada di luar lokasi sekolah sehingga tidak mampu untuk diawasi pihak sekolah. Pihak sekolah pun tak ingin tanggung jawab dibebankan sendirian dengan memaksa pihak orang tua wali murid pun harus turut mengawasi masing-masing putra-putri mereka untuk tidak terlibat tawuran.

Anehnya, dari pantauan saya, nama-nama sekolah yang tampak dalam setiap tawuran pelajar di Kota Bogor, selalu nama-nama sekolah yang itu-itu saja. Apakah itu berarti ada sesuatu yang salah dalam sistem belajar mengajar di sekolah-sekolah itu? Sejauh mana tanggung jawab para pendidik di sekolah yang namanya semakin rusak oleh para siswanya tersebut?

Para pelajar tentu saja anak-anak yang harus dibina, bukan dibinasakan. Bila memang hanya sekolah-sekolah yang itu-itu saja, kenapa tidak pihak pengurus sekolah lebih intensif menjalin koordinasi dengan sekolah “lawan” bagi siswanya? Banyak cara untuk menuntaskan masalah tawuran pelajar, tinggal tergantung pada para pihak yang berkompeten, mau atau tidak menuntaskannya.  
RD Sukmana 19/2/2012

Simbol

Simbol


Iseng, saya pernah bertanya pada sahabatku yang unik, Abah Bujal, apakah yang dimaksud dengan ucapannya “..lantas apa bedanya surga dan neraka bila penghuninya masih menginginkan kenikmatan dunia?”

“Dalam Al Quran juga sudah disebutkan, neraka itu terbuat dari api yang membara dan berkobar. Berbagai siksaan pedih tak terkira didapat manusia karena amal buruknya, seperti cairan timah yang membara, kubangan nanah dan darah, dan macam-macam hal-hal buruk dan seram,” kata saya.

“Wah, tampaknya si-Aa sudah yakin bakal masuk surga nih,” balas Abah Bujal malah mencandai saya.

“Iya dong, Kang. Kita harus optimis masuk surga. Sekarang ini, kebanyakan orang sudah pesimis masuk surga, tapi tidak mau masuk neraka. Dengan optimisme bisa memotivasi diri kita untuk terus mengumpulkan pahala dan kebaikan,” timpal saya.

“Sae, A. Saya mah, tak ada maksud apa-apa, kecuali mengajak untuk berpikir dengan akal sehat, A. Tapi ya sudah, tak apa-apa kalau memang itu menjadi keyakinan Aa, teruslah dengan keyakinan itu,” kata dia.

“Memangnya keyakinan Akang bagaimana?” selidik saya.

Dia lalu menerangkan, bila di surga segala keinginan penghuninya yang notabene mantan penghuni dunia terpenuhi, lantas bagaimana? Ingin ini, ingin itu, semua langsung diberikan, seolah-olah, sebelum keinginan itu muncul terbersit dalam keinginan si penghuni surga, sudah diwujudkan.

Pengertian seperti itu tidaklah seratus persen salah, hanya saja bila itu terus didoktrin, maka yang terjadi adalah, surga sebagai tempat untuk memuaskan keinginan yang mungkin tidak bisa dicapai atau diwujudkan dalam kehidupan di dunia.
Hakikatnya, dengan demikian surga telah menjadi simbol dari nafsu duniawi manusia yang dihalalkan, karena surga bisa memenuhi sifat dasar manusia yakni pemuasan keinginan yang terus meningkat.

Bila itu merupakan balasan setimpal yang diberikan Sang Maha Pengasih kepada penghuni surga atas segala amal kebaikannya selama menjalani hidup di dunia, maka penghuni surga baginya adalah mereka yang sudah tidak memiliki keinginan lagi.

Alhasil dengan tak ada lagi keinginan, maka yang ada hanyalah kepuasan dan rasa syukur, karena bila diri sudah terpuaskan keinginannya, maka rasa syukurlah yang muncul.

Setelah itu apa? Kedamaian yang hakiki pun mawujud, yang hanya bisa dirasakan dalam keheningan.

“Nah, mewujudkan surga tak perlu harus mati dulu, A. Di dunia pun kita bisa wujudkan surga bagi kehidupan kita masing-masing. Kuncinya apa? Keinginan,” kata dia berhenti sejenak setelah penjelasan panjang.

“Keinginan adalah neraka yang sesungguhnya, A. Neraka nyata dalam kehidupan di dunia, karena di dunia ini, keinginan yang tak tercapai saja akan membuat hidup bagai di neraka, apalagi keinginan yang tercapai, tanpa disadari suatu saat akan melahirkan keinginan lain, terus begitu bagaikan siklus,” pungkasnya.  
RD Sukmana 17/2/2012

Valentine Day

Valentine Day


“Selamat palentin dei, A,” ujar Abah Bujal sore itu memecah keheningan yang tengah saya alami kala berteman angin sejuk.

Saya sempat terkejut. Ada rasa ingin tertawa mendengar aksen Sunda teramat kental dari sahabat saya yang satu itu pada saat menyebutkan valentine day menjadi palentin dei. Namun, satu sisi hati saya protes.

“Punten, Kang.. kunaon pake ngucapin valentine day segala? Emangnya si Akang sekarang udah ikut-ikutan bergaya barat?” selidik saya tajam.

Abah Bujal tersenyum mendengar pertanyaan saya. Senyuman yang khas itu lagi. Ia hanya manggut-manggut membuat saya semakin penasaran terhadap sikapnya.


 “Bagus itu,” kata Abah Bujal pendek.

“Loh, bagusnya di mana, Kang?” serang saya. “Saya mah suka nggak habis pikir, Kang. Orang zaman sekarang pake ngerayain Valentine Day segala rupa. Katanya hari untuk mengungkapkan rasa kasih sayang. Halaahh.. kalau menurut saya sih, semua hari itu untuk mengungkapkan rasa kasih sayang kita,” ujar saya mengemukakan buah pikir.

Kembali Abah Bujal hanya tersenyum. Dia sama sekali tidak berkomentar dan asyik menatap matahari jingga yang semakin terbenam di ufuk barat.

“Bagus itu,” jawab Abah Bujal lagi, pendek. Mengulang komentarnya yang pertama.

“Apanya yang bagus sih, Kang?” desak saya mulai tak sabar.

“Ini begini, A,” kata Abah Bujal memulai.

“Dengan apa yang Aa tadi omongin sebenarnya bagus banget, dilihat dari sudut pandang Aa dan itu idealnya menurut Aa. Tapi masih banyak orang memandang palentin yang ideal itu ya seperti kondisi yang sudah ada saja,” kata dia.

“Ngan Itu lah hidup, A. Baik buruknya, halal atau haramnya, suci atau tidak, berkah atau tidak, sebenarnya berasal dari diri sendiri. Diri sendiri lah yang membuat palentin penuh barokah atau tidak, diri sendiri yang membuat palentin jadi satu hari istimewa atau tidak.

Palentin jadi dibutuhkan karna hingga kini memang masih banyak manusia yang terpuaskan dengan rasa raga dan rasa jiwa yang sifatnya fana, misalnya ketika palentin serba warna kesumba. Memang masih sedikit banget yang sampai pada pemuasan rasa sejati.

“Tapi kan, pencapaian ke poin itu kayaknya suatu hal yang mustahil, Kang?” sergah saya.

Abah Bujal lagi-lagi tersenyum.

“Kalau diri sendiri menilai seperti itu, ya seperti itulah jadinya, A,” jawabnya.

“Lagi pula kalau semua umat manusia sudah sampai di titik pemuasan sang rasa sejati, lantas buat apa lagi adanya aturan agama? Hidup justru jadi lebih indah dengan keberagaman dan keberagamaan. Hidup jadi lebih bermakna bagi diri, bila diri terus berjuang untuk menyaksikan, karena memang untuk itulah manusia diciptakan, A, menyaksikan Sang Ahad,” tutup Abah Bujal.

Dan bedug magrib pun berbunyi.
RD Sukmana 14/2/2012

Takhayul

Takhayul


Takhayul, klenik, mistisisme memang menjadi tradisi bagi bangsa yang baru berumur 66 tahun merdeka ini. Kadang, apa yang kita lakukan selalu dikaitkan dengan segala sesuatu berbau aneh tersebut.


Kadang terlintas pikiran nyeleneh, cerita-cerita seram yang sering dikisahkan orang-orang tentang perhantuan justru menjadi cerita humor yang membuat logika akal pikiran sehat tertawa. Bayangkan saja, kenapa pula si suster ngesot harus berpayah-payah ngesot untuk menakut-nakuti orang? Atau si pocong yang kecapekan harus berlompat-lompatan ke sana kemari? Atau si kuntilanak harus tertawa cekikikan, meski tak ada sesuatu yang lucu? Kasihan juga jadinya dengan para hantu itu. Hahaha..

Berpikir logis merupakan dasar menuju keislaman sejati. Jadi, bila meyakini adanya makhluk halus semisal tuyul, berarti meyakini adanya jin. Bila meyakini adanya jin, berarti meyakini adanya alam ghaib. Dan bila meyakini alam ghaib berarti meyakini pencipta perkara ghaib, yakni Gusti Sang Maha Ghaib.

Ghaib adalah unindefinitely – tak terdefinisikan. Ghaib secara logis tidak berada pada dimensi ukuran hukum-hukum alam manusia maupun jin. Itu perkara yang hanya penguasaannya ada pada Sang Mahakuasa, Maha Pencipta saja, di mana dalam Al Quran pun sudah jelas-jelas difirmankan, bahwasanya perkara ghaib itu adalah urusan-Ku, jadi sebagai makhluk, ya sudah. Manut thok..

Jin menjadi terkategori ghaib, menjadi unindefinitely level dan perkara di luar perkara alam, bagi orang awam yang memang belum menyentuh sisi pengetahuan dan ma’rifat tentang jin.

Juga termasuk malaikat, alam malakut, tajali, akherat, pertenungan, dan masih banyak lagi, menjadi perkara-perkara ghaib bagi manusia karena tidak ada bukti empiris secara kasat mata, sehingga bisa dijabarkan dalam urutan kalimat ilmiah yang logis, karena pengetahuan membutuhkan hukum evolusi dan sebab akibat yang berada dalam koridor dimensi ruang dan dimensi waktu.

Apapun itu, entah tuyul, pocong, kuntilanak, dan sejenisnya yang populer di masyarakat kita, seyogyanya menjadi kecemasan sang jati diri untuk tidak berkubang pada sifat-sifat tuyul, pocong, kuntilanak yang bersemayam di hati tiap individu.

Yaitu, sifat-sifat kekanak-kanakan, mengambil barang orang lain yang bukan haknya, ingin tampil putih seakan bersih suci atau ingin tampil rupawan. Terlebih dari itu, sifat arogan yang membuat perasaan orang lain tak nyaman dengan kehadiran kita, bahkan tak nyaman ketika menyebut nama kita.

Dengan kata lain, sifat jin atau sifat api dan angin yang selalu meninggikan dan menuhankan ego diri dalam ketakaburan harus selalu ditangkap, dikekang, dan dijaga agar tidak gentayangan baik malam maupun siang.
RD Sukmana 9/2/2012

Titik Nadir Nan Lebay

Titik Nadir Nan Lebay


Sosok sahabat saya yang satu ini, pagi itu kedapatan asik membolak-balikkan halaman surat kabar. Saya pun lantas menghampiri dan menggodanya. “Tumben baca koran. Ada berita seru, Kang? “ canda saya.

Abah Bujal mengangkat kepala dan menatap saya. “Sae A, leures.. satu koran ini cuma ada satu berita. Judulnya Titik Nadir Dekadensi...” jawab dia santai.

Tanpa mempedulikan sikap saya yang berniat protes, Abah Bujal melanjutkan. “Sok coba Aa kaji, berita-berita tingkah polah manusa yang terjadi sekarang, mulai dari tingkat pamerentah sampe yang terakhir ada kecelakaan maut segala, itu mah titik nadir dekadensi, A.. kondisi paling rendah dari kemerosotan. Urang Indonesia banyak yang teu sadar kalau kita semua ini udah di posisi ini. Titik Nadir Dekadensi..,” terang Abah Bujal lalu menyalakan rokok kretek kesayangannya.

“Jaman sekarang mah A, namanya jaman edan bin lebay. Kunaon? Soalna.. edan jeung lebay udah jadi konsumsi harian yang ngehibur hati,” ujar Abah Bujal lalu menghisap rokok kreteknya. Nikmat.

Saya terdiam mendengar ucapan Abah Bujal dan sengaja tak buru-buru menanggapi, karena ingin mencerna apa maksud dari yang telah diutarakan. “Coba si Aa lihat. Banyak orang sekarang berorientasi pada hal yang lebay. Berlebih-lebihan. Berbagai macam dalih dan alasan dibuat untuk membenarkan tingkah laku lebay. Jadinya, musibah dan kematian pun sekarang, yaa.. lebay, A..” ucapnya perlahan.

Abah Bujal menjentikkan abu rokok ke dalam asbak kaleng yang warna ungunya sudah semakin memudar. “Bisa dikatakan, ucap laku lampah, kalau tidak lebay, jaman sekarang rasanya nggak afdol, A”.

“Sok coba si Aa perhatikan, semangat lebay dibina sebagian besar orang, dari gelandangan sampe orang gedean, dari pengemis sampe pejabat. Sok coba di tipi, A.. acara mana yang nggak lebay, sebut satu pasti teu bisa. Kunaon? Puguh lebay teh komoditas, karena lebay merupakan jiwa interaksi jaman sekarang.” katanya lagi.


“Sok coba Aa lihat, lalakon manusa sekarang ini mah lebay dengan apapun peran yang dipegangnya. Oper ekting… Yang hidupnya kaya, lebay dengan kekayaannya. Yang hidupnya tanggung, lebay dengan ketanggungannya. Yang miskin juga kepaksa lebay dengan kemiskinannya. Makanya jangan heran, peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sampe musibah, bencana dan kematian pun lebay kepada manusia,” tambah dia.

Abah Bujal terdiam sejenak sembari menghisap rokoknya dalam. Hembusan asap rokok pun memenuhi teras sempit. “Tapi, ya memang kudu kitu, A. Supaya manusa-manusa nu masih waras, eling, dan waspada, mau nggak mau juga kudu ikut lebay dengan kewarasan, keelingan, dan kewaspadaannya,” tutup dia lalu tersenyum. Sangat khas.

Mendadak saya jadi termenung berusaha mengkaji beratnya kandungan yang dituturkan sahabat saya itu. Pagi itu, diri saya seolah berada di titik nadir.
RD Sukmana 3/1/2012

Paling Benar Sendiri

Paling Benar Sendiri


Ngotot untuk mencari suatu kebenaran adalah salah satu upaya yang bagus dan seharusnya dilakukan. Namun acapkali upaya yang didasari niatan yang baik itu terjebak ke dalam kesalahkaprahan, sehingga menjadi ngotot untuk mempertahankan diri lah yang benar.

Itu pula yang saya alami beberapa hari lalu pada waktu menghadapi seorang yang penuh kekecewaan dan menularkan kekecewaan dirinya itu kepada orang lain sehingga membuat orang lain menjadi demotivasi.

Memang, emosi dipertaruhkan dan hati sudah mulai bergejolak bila bertemu dengan situasi seperti itu. Namun begitulah, setiap orang nyatanya sedang diuji setiap saat dan setiap waktu baik disadari maupun tidak.

Merasa diri paling benar selalu ada di dalam diri setiap orang. Sesadar apapun ia melakukan kesalahan, masih saja ada rasa sedikit kebenaran dalam dirinya. Rasa benar yang terkadang menjadi alasan untuk melakukan kesalahan yang sama atau pun menambah dengan kesalahan berbeda.

Bila individu sudah berada dalam kondisi seperti itu, maka bagi dirinya, salah menurut orang belum tentu salah menurutnya. Bahayanya, benar menurutnya harus pula diakui kebenarannya oleh orang lain.

Merasa diri paling benar sungguh sangat menyita energi. Berapa kalori saja yang harus dibuang untuk mempertahankannya. Kalau memang benar tak apalah dipertahankan dan dibela seperti apapun. Masalahnya lagi, benar bagi tiap orang berbeda-beda.

Namun yang paling menyedihkan adalah mempertahankan kebenaran yang sudah jelas-jelas bahkan dirinya sadar bahwa itu salah. Itulah kenapa pengadilan tidak pernah tutup. Itulah mengapa banyak konflik terjadi. Banyak orang merasa paling benar.

Andaikan setiap orang tidak selalu merasa benar. Andaikan setiap orang mau mengakui salah saat memang melakukan kesalahan. Andaikan setiap orang tak terlalu sombong untuk bersikap merendah dan menjadi pihak yang mengalah.

Namun, orang seperti itu pun tak akan lepas dari perasaan merasa benar, karena apa yang dilakukannya itu menurutnya adalah yang paling benar. Hehe.. ujung-ujungnya jadi serba salah nih, bukan serba benar.

Sampai kapan pun, orang akan punya rasa untuk merasa dirinya lah yang paling benar. Sebab dengan begitu orang tersebut tetap ada. Orang tersebut masih memiliki rasa bahwa dirinya ada. Dirinya harus ada.

Mempertahankan kebenaran-nya baik benar-benar benar ataupun benar-benar salah membuktikan bahwa manusia itu masih eksis. Terlepas dari apakah itu salah atau benar. Entah itu buang energi atau tidak. Atau entah itu untuk kebenaran itu sendiri atau sekadar demi harga diri.
RD Sukmana 3/2/2012

Pancasila Versi 2012

Pancasila Versi 2012


Sebagai ayah yang bertanggungjawab (cieee..), mau tak mau secara berkala dan diam-diam saya selalu mengecek facebook milik anak-anak saya. Bukannya apa-apa, kebebasan informasi lewat internet memang salah satu kebebasan yang harus benar-benar diwaspadai agar anak-anak tidak salah menerima informasi.

Ketika saya membedah facebook milik si sulung, mata saya sempat tertegun membaca sebuah status yang dikirimkan seorang teman facebooknya yang notabene masih sebaya usia. Masih duduk di bangku sekolah dasar.

Di status itu tertulis “..pancasila 2012 1. keuangan yang maha kuasa 2. korupsi yang adil dan merata 3. persatuan mafia hukum indonesia 4. kekuasaan yang dipimpin oleh nafsu kebejatan dalam persekongkolan dan kepura-puraan 5. kenyamanan sosial bagi seluruh keluarga pejabat dan wakil rakyat indonesia ..”

O..oo.., sejenak saya tertegun membacanya.

Menurut saya, tak mungkin anak yang usianya masih belia mampu mengubah dan memelesetkan rumusan Pancasila sebagai nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Ini pasti ulah orang dewasa dan dikutip oleh si anak, pikirku.

Saya berusaha untuk tidak mempedulikan status miring itu. Namun, sekali lagi dan sekali lagi mata ini kembali membaca status tersebut.

Lha.. kok ya sesuai kenyataan yaa..? Batin saya.

Ahh.. tidak, harus ada hal yang bisa membantah itu..! Tapi, kok.. ya memang sulit untuk bisa dibantah, yaa..?

Mau tak mau, dan saya malu untuk harus mengakui, apa yang tercantum itu menggambarkan apa yang memang menjadi kondisi bangsa kita sekarang ini.

Betapa seorang bocah belia pun memahami dengan jelas kondisi bangsa yang sudah semakin amburadul ini, meski mungkin bagi mereka baru dalam tahap candaan semata. Wahai, apakah mereka, di tangan mereka nanti nasib bangsa ini ditentukan..?

Lantas, kemana nurani mereka? Subyek-subyek yang dimaksud dalam rumusan Pancasila versi 2012 itu? Begitu sulitkah untuk mengubah sikap sehingga menjadi seseorang yang memang patut dan layak untuk dijadikan teladan?

Mendadak saya jadi teringat satu ayat dalam al-Quran suci..

“..Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir (tertutup). Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang lalai..” (QS.16:107 - 108).

Na’udzubillah..
RD Sukmana 1/2/2012

Ambillah... Atau Bersiaplah Kehilangan

Ambillah... Atau Bersiaplah Kehilangan


Dalam sebuah kelas pelatihan motivasi, saya pernah mendapat pelajaran berharga saat sang motivator ulung mengambil selembar Rp100.000 dari saku kemejanya lalu diacungkan kepada seluruh peserta termasuk saya.

“Perhatian, saya ingin menukar uang ini dengan uang Rp1.178. Jadi barang siapa yang memiliki Rp1.178 silakan segera maju ke depan, saya akan menghitung sampai sepuluh,” ujar motivator sambil melambai-lambaikan lembar kertas berwarna merah menggiurkan tersebut.

Sontak semua peserta pelatihan merogoh dompet masing-masing dan berusaha mengumpulkan uang seperti yang diminta sang motivator. Namun, tentunya semua kesulitan, karena sejumlah uang yang diminta tidak ada dalam pecahan uang Indonesia.

Ketika sang motivator menyebutkan angka enam, tiba-tiba salah seorang peserta lelaki berperawakan pendek maju ke depan dan menghampiri sang motivator. Ia memberikan uang Rp2.000 kepada sang motivator.

“Lho.., saya minta Rp1.178 saja mas, kenapa Anda memberikan saya lebih?” ujar sang motivator. “Tidak apa-apa pak, kelebihannya ambil saja untuk bapak,” tangkis peserta itu lalu mengambil selembar uang Rp100.000 dan berjalan kembali ke tempat duduknya dengan santai.

Saya termenung kagum dengan pertunjukan yang saya lihat itu. Mmm.. that’s life..! Anda ambil peluang yang ada atau Anda akan kehilangan peluang itu. Dan tak mudah peluang datang ke hadapan Anda.

Soal rezeki misalnya, saya percaya rezeki tak pernah datang sendiri menghampiri orang-orang yang lelap tertidur meski matahari sudah terik. Saya percaya bahwa orang-orang yang lebih cepat berupaya meraihnya lah yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan rezeki yang lebih banyak.

Saya sering mendengar teman saya berkomentar negatif tentang apa yang ditulis oleh saya di artikel Batu Tulis ini, "Ah, kalau cuma tulisan begini sih saya juga bisa melakukannya" atau "Saya bisa melakukan yang lebih baik."

Wahai, saya yakin teman saya itu bisa melakukannya. Masalahnya, kenapa dia hanya terus berbicara dan tak melakukan apa pun?


Hanya orang-orang yang berbuatlah yang diakui keberadaannya. Saya tidak berhak mengatakan bahwa orang yang lebih tepat waktu akan mendapatkan pahala lebih besar, karena itu hak Allah dan juga tergantung dengan kualitas ibadahnya itu sendiri.

Tapi bukankah setiap orang tua akan lebih menyukai anaknya yang tanggap dan cepat menghampiri ketika dipanggil ketimbang anak lainnya yang menunda-nunda? Jika demikian, buatlah Allah suka kepada Anda. Karena suka mungkin saja awal dari cinta. Semoga.
RD Sukmana 30/1/2012

Generasi 'O Atuh..'

Generasi ‘O Atuh..’


“O atuh..” demikian sebuah jawaban singkat yang sering saya dengar belakangan ini. Betapa tidak? Anak kedua saya, si penuh pesona Tiara Aishabrina yang mulai menginjak remaja pun tak luput dari tertularnya virus kalimat gaul semacam itu.

“O atuh..” mungkin hanya popular di lingkungan pergaulan remaja Kota Bogor saja, karena memang kental dengan basa Sundanya (menggunakan kata ‘atuh’ yang dalam pengertian Bahasa Indonesia bisa berarti akhiran ‘lah’ atau ‘deh’.

Namun, bagi saya yang kini merasa semakin tua, ‘o atuh’ yang awalnya sebagai ungkapan penuh canda,  bagai ucapan tanggapan yang menunjukkan ketidakpedulian seseorang terhadap suatu hal yang tengah dibicarakan.

Sama seperti beberapa tahun lalu, sempat popular juga kalimat ‘so what gitu loh’ dan melongok ke belakang lagi ada ungkapan pula yang bernada sama, yaitu ‘au ah.. gelap’.

Flash back jauh ke belakang, ada juga istilah ‘emang gue pikirin’ dan lebih jauh lagi, kira-kira semasa saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dan sekolah dasar, ada juga ungkapan popular, yakni ‘cuek bebek’ dan ‘ga taaaau’ dengan aksen penyebutan yang mampu membuat orang yang mendengarkannya bersungut kesal.

Hehe.. nyatanya setiap generasi memiliki satu ungkapan sebagai simbol ketidakpedulian generasi tersebut terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.

Generasi muda memang memiliki satu sikap tersendiri yang kadang memang bertentangan dengan generasi sebelumnya. Sikap yang berpotensi membuat kesenjangan menjadi melebar dan akhirnya generasi tua pun tak mampu lagi menjangkaunya.

Yang saya takutkan, bila pengawasan sudah tak lagi dirasakan ada, dapat dipastikan kontrol sosial pun menghilang dari kalangan masyarakat generasi tua terhadap generasi muda. Dan itu semakin kentara terjadi dalam kehidupan sehari-hari akhir-akhir ini. Bisa dikatakan, badungnya saya semasa remaja mungkin hanya menjadi bahan lelucon bagi badungnya generasi muda masa kini.

Ingin rasanya meminimalisir generasi ‘o atuh’ yang kini semakin menjamur dan mencegah timbulnya generasi baru dengan ungkapan istilah baru yang akan muncul nanti. Tapi untuk mengajak generasi seangkatan, lagi-lagi saya khawatir kalau nanti ajakan saya itu ditanggapi dengan kata-kata senada seperti “O atuh..”
RD Sukmana 28/1/2012

Manusia Bernama Sang Ayah

Manusia Bernama Sang Ayah


Kemarin saya menerima tautan facebook dari beberapa teman. Sebuah tragedi yang belum lama terjadi di sebuah jalan antara Stasiun Gambir dan Patung Pak Tani, Jakarta.

Dalam tautan itu, tampak sebuah foto seorang lelaki tengah memangku dan memeluk seorang anak kecil yang sudah tak bernyawa, sementara di sekelilingnya pun bergelimpangan tubuh-tubuh manusia. Sungguh tragis.

Yang tambah membuat hati saya seperti disayat sembilu adalah rangkaian puisi tanpa judul, isinya seolah ungkapan perasaan sang anak, yang meskipun hanya sebentar berkumpul dengan ayahnya berjalan-jalan bersama keluarga untuk melihat Monas, akhirnya sang anak harus mengatakan akan menunggu ayahnya, karena ternyata Tuhan lebih sayang kepada dirinya.

Jujur, menyimak tautan tersebut mata saya sempat berkaca-kaca, hidung saya mendadak menjadi tersumbat, tenggorokan pun seakan sulit menelan ludah.

Saya terpana, karena saya sudah dihadapkan pada satu kesedihan nan teramat pedih namun indah, meski itu berasal dari satu peristiwa mengenaskan.

Saya berharap, semoga yang menayangkan pertama kali tautan itu merupakan orang yang berhati bersih dan berangkat dari sebuah citra karya seni murni, bukan sekedar mengeksploitasi tragedi.

Belum lama saya terpana dengan tautan tersebut, sebuah salam di kotak chat muncul.

“Assalamu’alaikum warahmatullah..”

Ternyata, sahabat saya Abah Bujal mencoba membuka komunikasi langsung dengan saya.

“Wa’alaikum salam, Kang..” balas saya. “Lagi apa nih, A..?” sahutnya di sebuah tempat di sana.

“Saya barusan lagi liat tautan dari temen FB yang bagus, Kang.. Foto seorang ayah lagi memeluk anaknya yang udah meninggal ditabrak supir teler. Itu tuh.. kejadian yang di Jakarta tea, Kang..” jawab saya.

“Sae A..,” sahutnya lagi.

“A.. ini mah hanya umpama, mugi engga terjadi pada Aa dan kita semua. Kalo Aa adalah ayah difoto itu dan itu anak Aa sendiri, apa yang Aa akan lakukan?” tanya Abah Bujal dalam tulisannya.

Pertanyaan yang mengusik diri saya. Membuat saya hanya bisa tertegun. Ya.., saya sepertinya tidak akan sekuat lelaki di foto itu. Tak mungkin saya sekuat dia. Salam takzim saya untuk sang ayah itu, karena mungkin bila itu saya, saya akan menjadi binatang liar, sehingga semua koran dan media mendapatkan berita tambahan, si perempuan gendut supir teler itu tewas tercabik-cabik oleh saya.

Perlahan saya ketik, “Engga tau lah, Kang.. Sama sekali jauh dari pengandaian saya.”

Saya tekan ENTER dan pesan pun terkirim.

Agak berapa lama saya menunggu reaksi jawaban teman saya yang satu ini.

Akhirnya, muncul satu balasan.. “Sae A.., manusa emang manusa..”

Terhenti.. namun tak lama kemudian muncul kembali. “Melalui kejadian tersebut, rupanya banyak hal tak terduga yang Gusti berikan sebagai pelajaran yang sangat bernilai untuk manusa, yaitu tentang menjadi manusa..”
RD Sukmana 25/1/2012

Naik Atap Kereta.. Siapa Hendak Turut?

Naik Atap Kereta.. Siapa Hendak Turut?


Saya pernah menjadi atapers.

Itu dulu ketika saya masih duduk di bangku SMA. Pada waktu itu bersama rombongan teman sekolah, kami berangkat untuk melihat keramaian PRJ.

Ternyata, meski ada perasaan takut setengah mati, naik di atas atap gerbong yang sedang berjalan memang mengasikkan bagi mereka yang memiliki jiwa muda dan jiwa petualang.

Ada sensasi adrenalin tersendiri, pada saat kereta memacu dengan kecepatan tinggi, sementara saya dalam kondisi tanpa sabuk pengaman, tanpa helm, bahkan tanpa ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan kuat. Uji nyali itu seolah mengalahkan uji nyali menantang makhluk dunia lain.

Masih membekas dalam ingatan, sepulang dari Jakarta, dengan bangga saya ceritakan pengalaman itu kepada kedua orangtua. Pada waktu itu saya tak habis mengerti, kenapa saya malah dihukum gara-gara jadi atapers.

Tapi itu hanya kisah dulu, kira-kira lebih dari dua dekade dari sekarang.

Para atapers kini bukan lagi para jiwa petualang yang butuh menikmati sensasi.

Para atapers  kini dikuasai orang-orang pinggiran yang berjuang untuk tidak tersingkir. Tersingkir dari kehidupan yang mereka rasakan semakin sulit. Tersingkir dari apa yang mereka katakan pengzhaliman ekonomi terhadap diri mereka dan keluarga mereka yang semakin hari semakin sadis menggila.

Jadi, apapun cara yang dilakukan pemerintah melalui pengurus perkereta-apian tanah air, seolah tak cukup untuk menyingkirkan para atapers. Upaya-upaya pencegahan yang dilakukan seolah menambah daftar panjang penzhaliman ekonomi yang mereka rasakan.

Saya tidak sedang berusaha membela para atapers. Bahkan bila mereka para atapers itu mau mendengarkan, saya ingin menyarankan untuk tidak menjadi atapers.

Entahlah.., semenjak berkeluarga dan memiliki buntut yang ganteng cantik (menurut saya tentunya), segala kegilaan masa muda telah saya tinggalkan. Jadi, bila harus naik KRL, saya lebih memilih cara-cara aman meski tak nyaman, yang penting kans atau jaminan untuk dapat berkumpul kembali bersama keluarga tercinta lebih besar.

Sebuah ironi memang bila pengurus perkereta-apian menerapkan ide-ide gila untuk menghadapi perilaku kegilaan.
Mungkin itu pula yang akhirnya membuat pers dunia mengkritik kebijakan yang diambil pengurus kendaraan rakyat ini.
Wahai, rakyat kecil selalu menjadi korban ternyata memang benar adanya. Nyawa selalu menjadi sesuatu yang murah di sini.

Tak usah menyangkal dengan berbagai dalih untuk kalimat di atas. Bila kita bisa melihat dari kacamata lain.. para “atapers politik” hingga kini masih leluasa menikmati jiwa petualang mereka dengan gagah berani, tak perlu takut dihadang semprotan cat, pintu koboi, ataupun bandul baja yang akan mencelakakan jiwa mereka.

Kalau untuk yang satu ini, entahlah..? Saya belum pernah merasakannya.
Dan tak ingin untuk merasakan itu.
RD SUKMANA 18/1/2012