Minggu, 27 April 2008

Hidangan Maulidan Bukan untuk ‘Muludan’

Bogor, Jurnal Bogor

Pada satu kesempatan seusai menghadiri acara memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di salah satu masjid di dekat rumah. Saya dan Ki Batin terlibat diskusi yang cukup serius, membahas tentang semangat umat untuk memperingati hari kelahiran Nabi Besar umat Islam.

Saya menyampaikan unek-unek, banyak umat Islam saat ini seperti anak kecil. Menghadiri acara ‘muludan’ bukan ‘maulidan’ lagi. Karena berkosakata ‘muludan’ itu, yang ada hanyalah acara untuk mulut saja. “Saya tadi melihat, masing-masing sibuk mengurusi mulutnya sendiri-sendiri. Ada yang asyik ceramah, ada yang sibuk mengobrol, sampai yang sibuk memenuhi mulutnya dengan beragam santapan yang terhidang,” ujar saya sedikit kesal.

Ki Batin hanya tersenyum mendengar keluh kesah saya dengan menampilkan garis senyumnya yang khas. “Coba Kang, kita bikin acara ‘Maulidan’ yang engga usah pake suguhan-suguhan segala. Biar kita bisa menilai, manusia-manusia mana yang memang ikhlas mendatangi acara, dan mana yang hadir hanya untuk tujuan lain,” sambung saya.

Lagi-lagi, Ki Batin tersenyum, membuat saya semakin penasaran dengan sikapnya. “Kang, ngomong dong. Apa kek, kasih tanggapan kek, komentar kek, jangan diam aja,” sahut saya sedikit sewot. “Ah, si Aa, nanti kalau saya ngomong atau kasih komentar, ditulis lagi sama Aa,” jawabnya lalu tersenyum.

Mendengar jawaban Ki Batin, saya lalu tersenyum. “He he, maaf ya, Kang. Soalnya omongan Akang bagus banget buat saya tulis dan dibaca banyak orang. Mohon ijinnya, Kang,” tutur saya merendah. Ki Batin hanya menganggukkan kepalanya perlahan kemudian tersenyum kembali.

Sejenak kami terdiam, kemudian Ki Batin pun membuka suaranya. “Itu juga sae, A. Memperingati Maulid dengan atau tanpa suguhan, sama-sama bagus. Tergantung masing-masing individu, ingin mendapatkan hikmah Maulid dari luar atau dari dalam dirinya,” ujarnya.

“Sok atuh, dikaji deui A. Ketika perut sedang dalam keadaan lapar, diri merasa seakan-akan kita tengah dalam derita. Derita itu hanya ada di dalam neraka. Lalu, setelah perut terisi makanan, diri seakan nikmat. Nikmat itu hanya ada di dalam surga,” lanjut Ki Batin.

Padahal, imbuh Ki Batin, nikmat perut yang kenyang itu timbul akibat derita perut yang lapar. “Kami pernah katakan, surga itu adanya di masa lalu, masa kini adalah neraka dan masa depan adalah Tuhanmu,” ungkapnya.

“Nah, rasa kenyang yang nikmat serasa di surga itu sebenarnya neraka, dari surga rasa lapar sebelumnya yang serasa neraka. Neraka membuatmu jauh dari Tuhanmu, sedangkan surga membuatmu dekat dengan Tuhanmu. Sok coba si Aa renungkan tah ka acara Maulidan,” tandas Ki Batin.

Rudi D. Sukmana

Tidak ada komentar: