Senin, 07 Juli 2008

Memilih Tiga Jengkol dengan Rasa

Bogor, Jurnal Bogor

Urusan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) Jawa Barat pun sempat saya gulirkan dalam perbincangan dengan Ki Batin pada suatu malam. Secara iseng saya menanyakan, pasangan mana yang bakal dipilih sahabat saya yang satu ini dalam pemungutan suara yang digelar Minggu, 13 April 2008, hari ini.

Ki Batin dengan tenang menyeruput kopi panas yang terhidang di hadapannya. Setelah meletakkan kembali gelas kopi di atas piring kecil yang digunakan sebagai alasnya. Ki Batin menyenderkan tubuhnya pada kursi sambil menyedot rokoknya dalam. Saya dengan sabar menanti jawaban Ki Batin sambil memperhatikan sikapnya.

“Kumaha Kang, mau pilih nomor berapa nih si Akang?” tanya saya kembali meminta jawaban dari Ki Batin dengan segera. Ki Batin menatap saya dengan pandangan jenaka. “Nomor sabaraha wae sae, anaking,” jawabnya pendek.

Saya mengerutkan kening mendengar jawabannya. Sebelum saya sempat mengajukan protes atas jawabannya, Ki Batin pun segera melanjutkan penuturannya. “Yeuh, ieu kieu. Aya tilu jengkol. Jengkol nomor hiji, jengkol nomor dua, jengkol nomor tilu. Diasongkeun ka hareupen urang. Nah, jengkol anu mana nu pang bauna?” tanyanya.

Saya terdiam mendengarkan. “Nah, eta jengkol teh sa acanna, geus santer bauna kamana-mana,” ujar Ki Batin. “Jengkol hiji geus bau kamana-mana, jengkol dua oge sarua, teu beda jeung jengkol ka tilu,” lanjutnya.

“Ngan, urang teh teu nyaho yeuh, jengkol mana anu pang busukna. Upami henteu pinter milih, urang teh bakal menangkeun jengkol anu pang busukna,” imbuh Ki Batin lagi. Padahal, tambahnya, kita hanya dihadapkan kepada wujud luar tiga jengkol itu. Wujud luar yang nyaris mirip. Kepingan bundar berwarna putih bernuansa hijau kekuning-kuningan.

Dikatakan Ki Batin, dalam hidupnya manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan di setiap waktu yang dijalaninya. “Pilihan-pilihan itu merupakan jaring-jaring nasib yang akan menentukan akan menjadi apa manusia itu nantinya. Bahkan, memilih untuk tidak memilih pun, itu sudah merupakan pilihan,” terangnya.

Dalam hidup yang dijalaninya, tambah Ki Batin, manusia memiliki konsekuensi dan tanggung jawab dari apa yang telah dipilihnya. Bila sudah memilih, maka apapun yang dipilihnya akan memiliki dampak positif atau dampak negatif bagi dirinya. “Ngan sabaraha gede atawa leutik akibatna, eta mah kumaha manusa narima jeung ngajalankeunna,” ujarnya.

Pilihan, menurut Ki Batin, merupakan kemahakuasaan Tuhan yang telah diserahkan kepada manusia yang notabene memiliki raga dan jiwa. “Gusti nu welas asih teh, teu pernah turut campur ka pilihan manusa. Eta manusa teh mahakuasa lamun geus keur milih. Arek milih sorga mangga, rek milih naraka hayu,” ujarnya.

Namun demikian, imbuh Ki Batin, saking mahakasih dan mahasayang kepada manusia, Tuhan pun menyertakan rasa jati yang bersemayam jauh di dalam diri manusia supaya manusia tak salah dalam memilih. Hanya saja, sekarang ini kebanyakan pilihan yang dilakukan manusia selalu didasari oleh kulit rasa atau rasa di bagian luar. “Loba jelema anu milih teh, nganggo raga jeung jiwa. Eta oge sae, ngan lamun medal dina raga jeung jiwa teh, loba anu ngabawakeun derita di tukanganna,” tuturnya.

Dalam memilih jengkol, tutur Ki Batin, rasa pun turut bermain di situ. Rasa raga, rasa jiwa, dan rasa jati akan muncul bersamaan. Bahkan, sebelum memilih jengkol mana yanga akan dipilih, diri pun dihadapkan pada pilihan, apakah memakai rasa raga yang diwakili oleh empat indra, rasa jiwa yang diwakili oleh akal, atau rasa jati? “Kumaha kudu bisa milih kana rasa jatina? Sok atuh, ulah neangan kaluar bae, gera teangan ka jero. Atuh direnungkeun deui, anaking,” tandasnya.

Rudi D. Sukmana

Tidak ada komentar: