Bogor, Jurnal Bogor
Siang yang terik itu seakan menandakan telah usainya musim hujan di Kota Bogor. Panasnya terasa begitu teungteungan, sangat menyengat. Ketika tengah berteduh di bawah rerimbunan pohon tua besar yang masih kokoh di pinggir Jl. Ir. H. Juanda, tiba-tiba ponsel bergetar mengganggu keasyikan menikmati semilir angin.
Satu short message service dari Ki Batin hadir di layar ponsel. Isi pesannya membuat saya tersenyum, karena menanyakan kenapa seminggu terakhir ini saya agak jarang memuat berita kuliner lagi. SMS pun segera dibalas dengan menjawab, bahwa satu minggu terakhir ini, kamera kesayangan saya, si Pentax sedang sakit dan harus diopname di tempat service kamera selama satu bulan.
Tak berapa lama setelah SMS terkirim, ponsel tua itu pun berdering. Ternyata, Ki Batin yang menelepon. Setelah saling menyapa di saluran telepon, Ki Batin mempertanyakan, kenapa mesti tergantung dengan kamera untuk meliput kuliner. “Bukankah dengan bertutur lewat tulisan, seperti di novel-novel, justru pembaca dapat lebih diajak terlibat dengan hasil liputan kuliner Aa?” tanyanya.
Penjelasan singkat pun diberikan, karena koran bukanlah novel. Dengan foto-foto sajian makanan yang ditampilkan, liputan lebih valid. Ki Batin pun mahfum dengan jawaban yang disampaikan. “Heu-euh, nya. Loba keneh anu can nepi ka pelebah deui. Masih banyak yang belum sampai pada rasa jatinya manusa,” komentarnya.
Penasaran dengan istilah rasa jati yang sering diucapkan Ki Batin, saya pun berusaha menyelidiki maksud istilah itu. Di seberang saluran sana, Ki Batin terdengar tertawa kecil. “Eleuh, si Aa. Can menang keneh kana rasa jatina? Ceunah ngakuna teh urang Sunda? Nga gawekeun naon wae atuh ti baheula teh?” canda Ki Batin dengan logat dan Basa Sunda yang kental.
Setelah didesak, akhirnya Ki Batin pun bersedia menjelaskan, rasa jati tidak sekedar rasa manis, asin, lezat, enak, dan nikmat karena rasa jati adalah rasa beyond rasa. “Seperti pada peteuy, kunaon aya bauna? Bagaimana caranya dapat menikmati peteuy tapi tidak terkena baunya?” tanyanya.
“Sekarang ini, semakin banyak orang yang tak berani membahas tentang rasa jati. Kenapa? Karena rasa jati eta teh, sajati ning malik tinggal. Anu ingeubkeun lawang dunya jeung mengeubkeun lawang akherat. Tah kitu, kasep,” ujar Ki Batin seraya menambahkan, membahas rasa jati berarti berada dalam koridor makrifat yang ruang lingkupnya adalah hakikat.
Rasa jati, imbuh Ki Batin, timbul saat semua indra lebur menjadi satu. “Susah dimengerti? Lamun kitu, anu gampang mah kieu, A. Tiasa teu, barang dahar teh anu dirasakeun nikmat syukur di setiap kunyahan? Bisa tidak Aa merasakan nikmat syukur di sebelum makan dan sesudah makan, atau di sebelum mendapat rezeki dan sesudahnya?” tanyanya.
Saya hanya bisa terdiam mendengar uraian pertanyaan sahabat saya yang satu ini. Belum habis saya mencerna pertanyaan yang diberikan, Ki Batin melanjutkan, “Bisa teu si Aa merasakan syukur ketika tidur lelap, dan pada setiap tarikan dan hembusan nafas Aa? Sok atuh direnungkeun deui, A” papar Ki Batin di seberang telepon sana.
Rudi D. Sukmana
Minggu, 27 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar