Bogor, Jurnal Bogor
Gemblong sebagai jenis makanan, kadang sering ditulis dengan kata gemlong. Dari namanya, kue yang satu ini lebih saya yakini berasal dari daerah Jawa Tengah, khususnya Yogykarta. Tetapi, banyak juga orang yang mengatakan gemblong merupakan makanan khas dari Betawi.
Bagi saya, daerah asal sebuah makanan, kadang tidak begitu penting artinya. Semakin banyak orang yang tidak memperdulikan secara pasti satu jenis makanan berasal dari mana, berarti semakin universal jenis makanan itu. Layaknya nasi goreng, kuliner universal itu tak membutuhkan kajian historis.
Kue gemblong sendiri sebenarnya banyak yang dijual dengan eksklusif. Bila jajanan lain lebih banyak yang digabungkan, seperti tahu, pisang, singkong, dan ubi goreng, maka gemblong lebih ‘menyendiri’. “Hal itu karena gemblong lebih khusus cara pembuatannya,” ujar Husein, salah seorang penjual gemblong ketan kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Gemblong yang sering dijumpai di Kota Bogor, dijajakan dengan doger atau dorong gerobak. Kue manis itu terbuat dari beras ketan. Ada gemblong yang terbuat dari beras ketan putih, dan ada pula yang terbuat dari beras ketan hitam.
Kue seukuran kepalan tangan anak kecil itu, memang mempunyai penggemar tersendiri. Selain cocok untuk teman minum teh atau kopi, gemblong pun dapat dijadikan kemilan berat pengganjal perut. Beberapa penjual kue gemblong menjual dagangannya dengan harga Rp 500 hingga Rp 750 per satuannya.
Bagi saya, gemblong dengan penampilan lebih legam lebih menarik selera dibandingkan gemblong yang penampilannya pucat. Logikanya, gemblong yang warnanya lebih hitam menandakan rasa manisnya lebih kuat sebagai efek dari hasil proses menggoreng tentunya akan membuat gula menghitam seperti karamel. Dan juga, karena saya lebih menyukai gemblong yang rasa manisnya lebih kuat.
Ketika rasa manis kue gemblong kembali menyentuh lidah ini, saya menjadi teringat momen nostalgia waktu masih berpetualang di Yogyakarta. Pernah saya dijamu seorang kenalan di rumahnya dengan sajian yang serba manis, semanis keramahtamahan sang empunya rumah.
Pada waktu itu, suguhan yang dihidangkan sebenarnya sangat sederhana, sesederhana suasana keasrian rumah khas Yogyakarta yang penuh dengan barang-barang antik. Sajiannya hanya satu poci teh yang disertai dengan gula batu dan beberapa kue gemblong yang warnanya sangat legam.
Menyantap kelembutan gemblong itu, rasa manis seakan langsung pecah di lidah. Belum lagi air teh yang disajikan untuk memperlancar kunyahan gemblong meluncur ke dalam perut. Benar-benar nasgitel atau panas, legi, dan kentel. Sangat kental manisnya, sekental suasana Yogya.
Rudi D. Sukmana
Minggu, 27 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar