Bogor, Jurnal Bogor
Sahabat saya Ki Batin tersenyum kecil, ketika saya meminta pendapatnya tentang kehebohan berita susu formula yang tercemar bakteri. Dia hanya mengangguk-anggukkan kepala tanda mahfum. Beberapa saat saya menantikan apa yang akan diucapkannya, tetapi tak tampak Ki Batin mau untuk mengomentari hal itu.
“Jadi bagaimana, Abah? Susu termasuk dalam katagori kuliner, apa yang dapat Abah komentari tentang susu formula yang terkontaminasi itu?” tanya saya penasaran. Ki Batin membelalakkan matanya dengan jenaka. “Komentar apa? Susu formula itu memang buat apa dan untuk siapa?” tanyanya lalu kembali tersenyum kecil.
Saya pun menjelaskan, berdasarkan berita yang ditulis di koran-koran, seorang peneliti IPB pada 2006 telah menemukan enterobacter sakazakii dalam 22 produk makanan bayi dan 15 susu formula terkemuka yang ada di pasar, dengan hasil akhir terdapat 40 persen bakteri dalam MPASI dan 22,7 persen bakteri dalam susu formula.
“Lantas, kenapa mesti dibikin heboh tahun ini?” tanya Ki Batin lagi. Saya hanya menjawab dengan mengangkat bahu. “Sekali lagi Abah bertanya, susu formula itu memangnya buat apa dan untuk siapa?” sahutnya kembali, yang langsung saya jawab, susu formula diproduksi untuk para bayi berusia 0 sampai 1 tahun sebagai pengganti air susu ibu.
“Atuh.., kunaon kudu ngaganti ASI? Kenapa bayi yang baru ‘ceprot’ teh, diparaban ku sapi? Susu formula mah buatan jalma, laen buatan Gusti,” tukas Ki Batin dengan pertanyaan yang menggugah rasa.
Tak puas dengan jawaban berupa pertanyaan itu, saya berusaha mendebat Ki Batin bahwa tidak semua ibu dapat menyusui bayinya. Kadang para ibu yang bekerja pun harus menahan nyeri di seputar dadanya, akibat tidak dapat memberikan ASI kepada bayinya yang ditinggal bekerja. “Banyak juga kasus, para ibu yang memang ASInya tidak keluar, meskipun sudah melahirkan,” ujar saya.
Ki Batin tersenyum lucu melihat polah saya yang sewot dengan jawaban terakhirnya. “Lereus pisan, anaking. Eta oge sae,” sahutnya dalam Basa Sunda sambil menenangkan saya dengan senyumnya yang khas. “Abah mah ingat riwayat hidup kanjeng Nabi nu gaduh ibu susu. Bukan karena pada jaman baheula belum ada pabrik susu, ngan kanjeng Nabi teh sudah secara tersirat mengajarkan, walau bagaimana pun ASI tetap yang terbaik bagi bayi hingga berumur 2 tahun. Masalahnya, jaman sekarang mana ada ibu yang mau mencari ibu susu untuk bayinya. Atau sebaliknya, susah ada ibu yang bersedia menjadi ibu susu bagi bayi orang lain,” pungkasnya lalu kembali tersenyum.
Rudi D. Sukmana
Jumat, 11 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar