Bogor, Jurnal Bogor
Bogor dikenal dengan julukan Kota Hujan, karena sering turun hujan di kota itu. Dalam musim hujan, kadang hujan turun sampai dua hari tanpa henti. Hal itu, biasanya membuat tetangga terdekat, Jakarta mencak-mencak karena mendapat kiriman yang biasa diterima setiap musim penghujan.
Sejenak kita berada di dimensi berbeda. Dalam kondisi hujan, biasanya orkes keroncong dalam perut lebih sering dan lebih nyaring berbunyi. Mungkin ada hubungan yang erat dan terkait, antara hujan, suhu udara yang dingin, dengan rasa lapar, sehingga membentuk sinergi yang mampu membangkitkan selera.
Beberapa hari lalu, hujan turun sejak pukul 2.00 dini hari, nonstop tanpa henti, hingga sore hari. Bagi sebagian besar orang, kondisi seperti itu membuat pikiran membayangkan beragam masakan yang hangat dan lezat.
Di tengah rinai hujan, seorang penjaja jagung rebus pun menjadi sangat menarik. Kepulan asap yang keluar dari jagung yang sudah siap santap berwarna kuning menyala, menjanjikan satu kenikmatan bagi perut yang terus berbunyi.
Asep, penjual jagung rebus kelilingan itu mengatakan, sedikitnya dalam sehari berhasil menjual 10 kilogram jagung. Jagung manis tersebut direbus bersama kulitnya, kemudian dijajakan berkeliling. Supaya jagung tetap hangat, jagung itu diletakkan di atas uap air, sehingga asap yang mengepul menyebarkan wangi harum khas jagung.
Satu buah jagung yang dijual dengan harga Rp 2.500 itu, nyatanya mampu membuat lidah bergoyang menahan panas. Gigi yang menggerogoti biji-biji jagung yang empuk dan manis, sambil sesekali menghisap sari jagung yang terasa manis.
Sambil berteduh karena hujan mulai turun dengan deras, sebaris demi sebaris lajur biji-biji jagung pun berangkat menuju pentas musik di dalam perut. Masih belum puas, bonggol jagung yang putih bersih, sempat diseruput, mereguk sisa-sisa air. Dan di dalam perut pun jagung rebus berdansa.
Rudi D. Sukmana
Jumat, 28 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar