Sekali Dirasa Langsung Disuka
Bogor, Jurnal Bogor
Bubur Ayam Kabita yang berlokasi di Jl. Mayjen Ishak Djuarsa Gunung Batu Bogor, sejak 1972 rasanya tidak pernah berubah. Usaha yang dirintis oleh Haji Lukman itu, pada awalnya menempati kios di Pasar Anyar. Hingga kini, Bubur Ayam Kabita masih banyak dikunjungi para penyuka kudapan bubur ayam.
“Dahulu di Pasar Anyar, orangtua hanya buka selama dua tahun. Dari 1974 sampai sekarang, kami hanya buka di sini,” ungkap Julius Lukman, penerus usaha Bubur Ayam Kabita kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Menurut Juli, cita rasa bubur ayam yang tetap dijaga itu sebagai kekuatan dari penganan yang dijualnya. “Kebanyakan pelanggan datang ke sini untuk bernostalgia rasa. Jadi, kalau rasanya berubah sedikit saja, pembeli langsung tahu,” ujarnya.
Pelanggan bubur ayamnya, tutur Juli, berasal dari berbagai pelosok. “Pernah ada pelanggan saya yang menelepon, tentang cita rasa yang berbeda di Bubur Ayam Kabita cabang Yogyakarta. Saya katakan, bahwa saya tidak pernah membuka cabang di tempat manapun,” tukasnya.
Dari masukan para pelanggan, menurut Juli, kekhasan cita rasa jualannya terletak pada kuah kaldu yang membanjiri bubur nasi dalam mangkuk. Kuah kaldu itu, lanjutnya, dibuat dari bahan-bahan dengan ramuan khusus.
“Mohon maaf, resepnya itu rahasia dapur,” ujar Juli seraya menambahkan, bumbu-bumbu kaldunya sudah umum digunakan para penjual bubur ayam lain. Ramuan tersebut, lanjut Juli, merupakan hasil racikan ayahnya, Haji Lukman yang diturunkan kepadanya. “Kebetulan saya memang hobi memasak, jadi saya teruskan usaha ayah saya ini,” ujarnya.
Selain bubur ayam, dijual pula lauk pendukungnya, seperti sate usus dan sate telur puyuh. “Soto ayam juga kami sediakan sebagai menu tetap,” tukasnya. Juli pun menambah dagangannya dengan telur asin, serta penganan-penganan kecil, seperti rempeyek, balado singkong, emping, krupuk kulit, yang dipesannya dari kolega-koleganya.
Meskipun kapasitas tempat makannya hanya mampu menampung maksimal 30 pembeli, Juli menuturkan, hingga saat ini belum ada niat untuk mengembangkan usahanya. “Untuk urusan kenyamanan tempat, kami mempersilakan pembeli memilih kafe dan restoran,” tukasnya. Untuk urusan rasa, lanjut Julius, bubur ayam jualannya tidak akan ditemui di kafe atau restoran manapun.
“Saya selalu mengutamakan kebersihan dari proses pembuatan hingga ke penyajiannya,” tegas Juli. Hingga saat ini, tambahnya, belum pernah ada pembeli yang mengeluh setelah menyantap bubur dagangannya.
Selain bubur ayam, dijual pula lauk pendukungnya, seperti sate usus dan sate telur puyuh. “Soto ayam juga kami sediakan sebagai menu tetap,” tukasnya. Juli pun menambah dagangannya dengan telur asin, serta penganan-penganan kecil, seperti rempeyek, balado singkong, emping, krupuk kulit, yang dipesannya dari kolega-koleganya.
Untuk menikmati cita rasa Bubur Ayam Kabita, pembeli cukup merogoh kocek Rp. 6.000 saja. Semangkuk bubur yang masih mengepul, dapat kita nikmati. Bubur yang terendam kuah kaldu istimewa itu, bertabur rajahan daging ayam goreng yang menutup bagian atas buburnya, serta tambahan krupuk renyah, sangat mengundang selera untuk disantap. Apalagi di pagi hari, setelah melepas lelah berolahraga. “Paling ramai, setiap Minggu pagi. Kami sering kewalahan melayani pengunjung yang membludak,” katanya.
Dikatakan Juli, usaha yang diteruskannya itu bukan untuk bersaing dengan penjual bubur ayam lainnya. Pembeli, lanjutnya, dipersilakan menilai sendiri kenikmatan rasa bubur ayamnya. “Yang jelas, bubur ayam kami rasanya disuka dari bayi sampai kakek-nenek,” ujarnya sambil tersenyum.
Rudi D. Sukmana
Jumat, 28 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar