Sabtu, 11 Oktober 2008

Memuaskan Rasa Lapar

Bogor, Jurnal Bogor

Sosok Ki Batin kala itu tampak kurus dalam penglihatan saya. Sakitkah? Ki Batin hanya menyunggingkan bibir keringnya. Dikatakannya, ia telah beberapa hari ini tengah melakukan puasa. “Puasa sunnah apa, Kang?” tanya saya ingin tahu. Ki Batin menjawab dengan gelengan kepala. Dikatakannya, ia tidak sedang melaksanakan laku puasa sunnah apapun. “Saya sedang memuaskan rasa lapar saya, A,” ujarnya perlahan.

Kembali, saya dalam kebingungan dengan perkataan Ki Batin. Mengapa pula berpuasa dikatakannya sedang memuaskan rasa lapar? Memang sahabat saya yang satu ini selalu tak mudah dimengerti.

Ki Batin menatap saya lalu tersenyum, seakan tahu dengan apa yang saya pikirkan. “Apakah Aa tahu seberapa banyak masalah yang Aa alami, sebenarnya hanyalah demi sejengkal perut?” tanyanya kepada saya. Dikatakannya, perut selalu menuntut untuk diberi makan. “Sekalipun perut itu sangat kecil ukurannya, pernah tidak Aa merenungkan, bahwa seluruh hidup Aa dihabiskan untuk memberi makanan kepada perut?” tanyanya kembali.

Dalam keadaan bagaimanapun manusia mencari makanan, lanjut Ki Batin, dan seberapa banyak manusia mengatur untuk memberi makanan pada perutnya, sekalipun harus mencuri atau berdusta, atau menggunakan kecurangan dan tipu muslihat. Semua usaha itu dibuat untuk memuaskan sejengkal perut.

Ki Batin melanjutkan, sebenarnya di balik semua itu, disebabkan karena adanya jenis kelaparan yang lain, kelaparan jiwa, yakni kelaparan demi harta berlimpah yang telah dialami manusia jutaan tahun lamanya. Segala permasalahan, kesulitan, dan kesedihan, dikatakan Ki Batin akan meninggalkan manusia, dan manusia akan mencapai kedamaian. “Jika kelaparan jiwa itu terpuaskan, maka semua kelaparan akan berakhir, tetapi, banyak manusia yang tak mengetahui dan belum mau berbuat menuju tujuan itu,” urainya.

“Coba Aa lihat, sekarang ini manusia tak bisa lepas dari sifat boros. Untuk menyembuhkan penyakit gawat tersebut, dibutuhkan kerja keras yang cukup memusingkan kepala. Menurut anda, penyakit boros ini ada obatnya atau tidak?” ungkap Ki Batin yang saya jawab dengan bahu terangkat.

Ki Batin memberikan pilihannya, dikatakannya langkah pertama, manusia harus mengkaji sumber penyakit ini dengan meninggalkan teori-teori para ilmuwan dan ahli. “Pada dasarnya, penyakit boros tidak banyak berbeda dengan penyakit mana pun, karena ada prinsip yang mengatakan, perut adalah sumber penyakit dan diet adalah obat segalanya,” tuturnya.

Betapapun sebab ekonomi atau sebab lain yang mempengaruhi pasar dan melonjaknya harga begitu hebat, tambah Ki Batin, tetapi sebab terbesar ada di hadapan bahkan di dalam perut kita sendiri. “Bahan makanan, semisal daging, buah, dan beras, kapan pun juga, harganya tidak banyak turun, selama kita masih punya keinginan untuk menghidangkannya ke meja makan setiap hari,” katanya.

Bahkan, timbulnya kerakusan produsen dan penjual semata-mata karena adanya konsumen dan pembeli yang rakus. “Silakan Aa lakukan eksperimen yang bisa menguatkan anggapan itu. Coba, bisa tidak Aa melakukan gebrakan di surat kabar Aa sebagai sarana publikasi, untuk membatasi jenis maupun mengatur macam makanan bagi setiap orang?” tantangnya.

Konsumen, tambah Ki Batin, diwajibkan untuk tidak boleh makan buah-buahan lebih dari dua kali seminggu, jangan makan daging lebih dari tiga kali dalam seminggu, atau jangan makan nasi lebih dari dua atau tiga kali dalam sekali makan. “Bisakah manusia diarahkan untuk melakukanlah gerakan anti konsumsi yang berlebih-lebihan,” tanyanya lagi.

Sebagai gantinya, lanjut Ki Batin, publikasikanlah gerakan puas diri dan sederhana. “Tetapi saya sedang tidak mengajak untuk menjadi seorang zuhud atau pertapa. Bila masing-masing individu ingin, ini akan berhasil dalam memerangi keborosan dan akan berdampak dalam mengatasi krisis ekonomi. Sok, buktikan saja sendiri konsep ini dengan melakukannya,” ucap Ki Batin.

Dengan melakukan hal itu, imbuh Ki Batin, manusia yang melakukannya akan melihat kenyataan yang menarik. Perut-perut akan mengecil. Kelesuan, penyakit gula dan tekanan darah tinggi akan berkurang. Kantong-kantong menjadi tebal, baik orang miskin maupun kaya bisa makan.

Ki Batin terdiam sejenak setelah berbicara panjang lebar. Sambil menerawang, ia pun mengatakan, “Memang, sia-sia saja mengobati sifat boros sebelum manusia bisa mengobati penyakit perut dan kemewahan diri sendiri. Tidak ada yang bisa membunuh sifat tamak seorang pedagang, kecuali pembeli yang sederhana dan puas diri,” pungkasnya.

Rudi D. Sukmana

Tidak ada komentar: