Sabtu, 11 Oktober 2008

Manisnya Kurma

Bogor, Jurnal Bogor

Bertandang ke kediaman Ki Batin memang tak pernah pulang dengan hati hampa. Oleh-oleh wawasan hati selalu diberikannya dengan sukahati. Demikian pula dengan pertemuan terakhir saya berkunjung ke rumahnya.

Pada waktu itu, Ki Batin menyuguhi saya dengan buah kurma dan segelas air putih. “Ayo, A. Silakan dinikmati. Ini pengasih dari tetangga sebelah yang baru saja pulang dari umrah,” ujar Ki Batin seraya menyorongkan piring berisi buah khas dari Timur Tengah itu.

Sambil menikmati kurma, saya mendengarkan Ki Batin yang bertutur, buah kurma merupakan salah satu buah yang memabukkan jiwa. “Coba Aa renungkan, hanya untuk oleh-oleh buah kurma ini, tetangga sebelah rela membiarkan salah satu tetangganya yang membutuhkan pertolongannya,” ujar Ki Batin sambil menghembuskan asap rokok.

Dikisahkan Ki Batin, dua hari sebelum tetangganya itu berangkat umrah ke Mekah untuk ketiga kalinya, salah seorang tetangganya yang lain pernah datang meminta bantuan keuangan untuk biaya berobat anaknya yang saat itu tengah menderita sakit.

Sebagai keluarga terpandang dan dicukupkan rezekinya, si calon umrah ini menampik dengan halus dan mengatakan bahwa ia telah lama mengumpulkan uang dan merencanakan untuk pergi umrah beserta seluruh keluarganya. Alhasil, tetangga yang membutuhkan bantuan itu kembali dengan tangan hampa.

Ki Batin menambahkan, terakhir setelah pulang dari umrah, tetangganya itu mendatangi rumah tetangga yang pernah membutuhkan bantuan darinya sambil membawa oleh-oleh kurma dan air zam zam untuk diberikan kepada seluruh tetangganya.

Sang tetanggga yang kini berpenampilan bak orang Arab itu, mengucapkan puji syukur setelah mengetahui kondisi si anak telah sembuh. Dikatakannya, ia telah berdoa di hadapan Baitullah, memohon kesembuhan bagi si anak yang tak bisa ditolongnya. “Alhamdulillah, doa saya dikabulkan Allah. Tidak sia-sia saya jauh-jauh datang ke tanah suci,” ujarnya lalu pamit.

“Aa tahu tidak?” tanya Ki Batin sambil mematikan rokok lalu mencomot satu buah kurma dan langsung dikunyahnya. “Kisah-kisah lain semacam ini banyak sekali terjadi di sekitar kita. Semua orang berlomba-lomba untuk meraih yang namanya kesalehan individual,” tuturnya.

Kesalehan individual, lanjut Ki Batin, tidak serta-merta membuat orang mampu berpikir logis. “Kesalehan semacam ini hanya sebatas ragawi, A. Sebatas adam yang harus terlihat dan dilihat oleh adam-adam lain, seperti cara berpakaian, cara beribadah, cara memberikan sumbangan atau sedekah,” terangnya.

Semua itu belum menyentuh pada esensi jiwa, bahkan masih jauh untuk larut dalam lautan cahaya. “Contoh kurma ini, A,” sahut Ki Batin sambil mengacungkan satu buah kurma. “Untuk apa orang makan kurma? Tentu untuk mendapatkan manis dan faedahnya,” tuturnya.

Ki Batin pun melanjutkan, ”Mana yang lebih manis, kurma Arab atau kurma Turki?” tanyanya lagi dengan nada jenaka. Lagi-lagi saya hanya dapat mengangkat bahu. ”Yang namanya manis, A. Itu bukan karena asal daerahnya. Bukan karena faktor luar, melainkan muncul dan terasa dari dalam,” imbuhnya.

Seseorang belum tentu memiliki sikap manis dengan mengenakan sorban dan jubah putih atau telah menyandang predikat dari tanah suci. ”Seseorang berkulit hitam, belum tentu hatinya pun hitam. Orang kaya dan terpandang pun, belum tentu hatinya sekaya hartanya,” pungkas Ki Batin.

Rudi D. Sukmana

Tidak ada komentar: