Jumat, 11 April 2008

Kenangan Indah Segelas Es Cincau Hijau

Bogor, Jurnal Bogor

Ketika kecil, penjaja minuman ini paling ditunggu kehadirannya, bila saya mengisi liburan ke rumah kakek dan nenek di Bogor. Pada waktu itu, saya masih bermukim di Jakarta, yang memang jarang sekali penjaja jenis minuman satu ini di Ibukota. Bila penjualnya datang dengan teriakan khasnya, kami bocah-bocah pun berlari menghampiri dan memesan minuman khas Sunda itu.

Hingga saat ini, cincau hijau masih bertengger di papan atas jenis minuman favorit saya yang paling disuka. Kelembutannya mampu menghadirkan nostalgia manis masa kecil. Bahkan, di tengah kenikmatan rasa dingin es serut yang menyerang hingga ke belakang kepala, tanpa sadar mata ini mengambang, rindu saat bahagia masa itu.

Cincau sendiri berasal dari dialek Hokkian, sienchau atau xiancao yang lazim dilafalkan di kalangan Tionghoa Asia Tenggara. Di bahasa asalnya, cincau sebenarnya merupakan nama tumbuhan dengan nama latin Mesona spp. Saat ini, kita lebih mengenal cincau sebagai gel serupa agar-agar yang diperoleh dari perendaman daun tumbuhan itu. Gel terbentuk karena daun tumbuhan tersebut mengandung karbohidrat yang mampu mengikat molekul-molekul air.

Cincau paling banyak digunakan sebagai komponen utama minuman penyegar, misalnya dalam es cincau atau es campur. Berdasarkan penelitian, cincau hijau terbukti dapat menyembuhkan panas dalam yang berpotensi membuat bibir sariawan, karena memiliki efek penyejuk serta peluruh atau diuretik.

Es cincau sebagai minuman, disajikan dengan es serut yang dicampur dengan air santan dan simple syrup yang terbuat dari gula pasir. Kadang, kita melihat simple syrup yang kental itu berwarna merah, karena diberi pewarna oleh penjualnya. Pada waktu kecil, warna merah pewarna itu sangat menggugah selera.

Sambil menikmati es cincau hijau yang dijajakan seorang penjual keliling seharga Rp 4.000, kembali kenangan indah masa kecil hadir dalam diri. Mungkin benar kata Ki Batin, sahabat saya itu, surga selalu ada pada masa lalu. “Detik ini lewat, berarti itulah surgamu. Penuh dengan keindahan, meski dilewati dengan derita,” ujarnya.

Bila surga ada di masa lalu hidup seseorang, lanjut Ki Batin, neraka adalah masa kini. “Apapun yang dikatakan orang, suka atau duka yang dialaminya pada masa kini, hakekatnya adalah neraka, sok atuh direnungkeun,” ucapnya.

Lalu bagaimana dengan masa depan? Ki Batin tersenyum kecil lalu berkata, masa depan adalah Tuhan. “Kemana lagi kau menuju ke masa depan bila bukan pada Tuhanmu, anaking?” jawabnya sangat mendalam.

Rudi D. Sukmana

Tidak ada komentar: