Bogor, Jurnal Bogor
Ketika singgah di sebuah rumah makan terkenal di Kota Bogor, saya dan Ki Batin memesan menu makanan yang konon merupakan favorit pengunjung di tempat makan itu. Sambil berbincang-bincang, tak berapa lama menu yang dipesan pun tersaji di hadapan. Dengan serta merta, saya pun segera menyenduk masakan-masakan itu dan langsung melahapnya.
Lain halnya dengan Ki Batin, ia hanya menyuap satu kali saja dari hidangan yang sangat mengundang selera itu. Saya yang heran dengan sikapnya pun bertanya, “Kenapa Kang, masakannya tidak enak ya?”
Ki Batin pun memperlihatkan senyumnya yang khas lalu mengatakan, menu yang dipesan dari tampilannya saja orang sudah mengatakan enak. “Apa sih yang disebut enak itu, A?” tanya Ki Batin. “Dan apa pula yang disebut tidak enak itu? Sok coba saya dikasih tahu,” lanjutnya.
Sejenak saya berpikir, lalu menjawab, bahwa rasa enak adalah rasa lezat dan nikmat yang datang dari citarasa makanan yang racikan bumbunya pas dan padu, sesuai dengan bahan utama yang diolah. “Gurame ini misalnya, benar-benar menyajikan rasa gurame bukan rasa ayam karena yang dipesan adalah masakan gurame,” ujar saya.
Ki Batin pun tersenyum lalu bertanya kembali, “Lantas, enak mana gurame atau ayam, A?” sahutnya. “Dan rasa gurame itu seperti apa, kenapa berbeda dengan rasa ayam?” tambah Ki Batin. Lagi-lagi saya hanya bisa menjawab dengan mengangkat bahu, sambil meminta Ki Batin untuk mau menjelaskan.
Ki Batin terdiam sejenak sambil menatap saya tajam. “Pernahkah Aa merasa tidak enak ketika berbuat salah? Bagaimana rasa enak yang Aa rasakan ketika memenangkan lomba? Menurut Aa, sama atau tidak, perasaan yang Aa rasakan itu?” tanyanya kembali.
“Wah, Kang. Tolong jangan tanya hal-hal yang saya susah jawabnya,” sahut saya sedikit complain yang membuat Ki Batin kembali tersenyum. “Begini, kasep. Rasa enak dan tidak enak yang dirasakan itu ada di jiwa. Enaknya gurame, ayam, dan dapat rejeki, serta tidak enaknya empedu, obat, dan musibah, semua menyentuh jiwa. Bisa tidak diri membawa semua rasa itu ke tingkat rasa jati? Rasa yang sejati, rasa yang sesungguhnya. Rasa yang sebenar-benarnya rasa,” ujar Ki Batin.
Seseorang yang merasa tidak enak karena diberitakan tidak benar dan seseorang yang merasa enak karena diberitakan kesuksesannya, lanjut Ki Batin, semua hanya sebatas memenuhi kebutuhan jiwa, di mana ego diri bersemayam. “Sok atuh dikaji tah, kalimat ‘nun, demi kalam dan segala apa yang dituliskannya’,” pungkasnya lalu tersenyum.
Rudi D. Sukmana
Kamis, 17 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar