Jumat, 14 September 2012

Valentine Day

Valentine Day


“Selamat palentin dei, A,” ujar Abah Bujal sore itu memecah keheningan yang tengah saya alami kala berteman angin sejuk.

Saya sempat terkejut. Ada rasa ingin tertawa mendengar aksen Sunda teramat kental dari sahabat saya yang satu itu pada saat menyebutkan valentine day menjadi palentin dei. Namun, satu sisi hati saya protes.

“Punten, Kang.. kunaon pake ngucapin valentine day segala? Emangnya si Akang sekarang udah ikut-ikutan bergaya barat?” selidik saya tajam.

Abah Bujal tersenyum mendengar pertanyaan saya. Senyuman yang khas itu lagi. Ia hanya manggut-manggut membuat saya semakin penasaran terhadap sikapnya.


 “Bagus itu,” kata Abah Bujal pendek.

“Loh, bagusnya di mana, Kang?” serang saya. “Saya mah suka nggak habis pikir, Kang. Orang zaman sekarang pake ngerayain Valentine Day segala rupa. Katanya hari untuk mengungkapkan rasa kasih sayang. Halaahh.. kalau menurut saya sih, semua hari itu untuk mengungkapkan rasa kasih sayang kita,” ujar saya mengemukakan buah pikir.

Kembali Abah Bujal hanya tersenyum. Dia sama sekali tidak berkomentar dan asyik menatap matahari jingga yang semakin terbenam di ufuk barat.

“Bagus itu,” jawab Abah Bujal lagi, pendek. Mengulang komentarnya yang pertama.

“Apanya yang bagus sih, Kang?” desak saya mulai tak sabar.

“Ini begini, A,” kata Abah Bujal memulai.

“Dengan apa yang Aa tadi omongin sebenarnya bagus banget, dilihat dari sudut pandang Aa dan itu idealnya menurut Aa. Tapi masih banyak orang memandang palentin yang ideal itu ya seperti kondisi yang sudah ada saja,” kata dia.

“Ngan Itu lah hidup, A. Baik buruknya, halal atau haramnya, suci atau tidak, berkah atau tidak, sebenarnya berasal dari diri sendiri. Diri sendiri lah yang membuat palentin penuh barokah atau tidak, diri sendiri yang membuat palentin jadi satu hari istimewa atau tidak.

Palentin jadi dibutuhkan karna hingga kini memang masih banyak manusia yang terpuaskan dengan rasa raga dan rasa jiwa yang sifatnya fana, misalnya ketika palentin serba warna kesumba. Memang masih sedikit banget yang sampai pada pemuasan rasa sejati.

“Tapi kan, pencapaian ke poin itu kayaknya suatu hal yang mustahil, Kang?” sergah saya.

Abah Bujal lagi-lagi tersenyum.

“Kalau diri sendiri menilai seperti itu, ya seperti itulah jadinya, A,” jawabnya.

“Lagi pula kalau semua umat manusia sudah sampai di titik pemuasan sang rasa sejati, lantas buat apa lagi adanya aturan agama? Hidup justru jadi lebih indah dengan keberagaman dan keberagamaan. Hidup jadi lebih bermakna bagi diri, bila diri terus berjuang untuk menyaksikan, karena memang untuk itulah manusia diciptakan, A, menyaksikan Sang Ahad,” tutup Abah Bujal.

Dan bedug magrib pun berbunyi.
RD Sukmana 14/2/2012

Tidak ada komentar: