Jumat, 14 September 2012

Takhayul

Takhayul


Takhayul, klenik, mistisisme memang menjadi tradisi bagi bangsa yang baru berumur 66 tahun merdeka ini. Kadang, apa yang kita lakukan selalu dikaitkan dengan segala sesuatu berbau aneh tersebut.


Kadang terlintas pikiran nyeleneh, cerita-cerita seram yang sering dikisahkan orang-orang tentang perhantuan justru menjadi cerita humor yang membuat logika akal pikiran sehat tertawa. Bayangkan saja, kenapa pula si suster ngesot harus berpayah-payah ngesot untuk menakut-nakuti orang? Atau si pocong yang kecapekan harus berlompat-lompatan ke sana kemari? Atau si kuntilanak harus tertawa cekikikan, meski tak ada sesuatu yang lucu? Kasihan juga jadinya dengan para hantu itu. Hahaha..

Berpikir logis merupakan dasar menuju keislaman sejati. Jadi, bila meyakini adanya makhluk halus semisal tuyul, berarti meyakini adanya jin. Bila meyakini adanya jin, berarti meyakini adanya alam ghaib. Dan bila meyakini alam ghaib berarti meyakini pencipta perkara ghaib, yakni Gusti Sang Maha Ghaib.

Ghaib adalah unindefinitely – tak terdefinisikan. Ghaib secara logis tidak berada pada dimensi ukuran hukum-hukum alam manusia maupun jin. Itu perkara yang hanya penguasaannya ada pada Sang Mahakuasa, Maha Pencipta saja, di mana dalam Al Quran pun sudah jelas-jelas difirmankan, bahwasanya perkara ghaib itu adalah urusan-Ku, jadi sebagai makhluk, ya sudah. Manut thok..

Jin menjadi terkategori ghaib, menjadi unindefinitely level dan perkara di luar perkara alam, bagi orang awam yang memang belum menyentuh sisi pengetahuan dan ma’rifat tentang jin.

Juga termasuk malaikat, alam malakut, tajali, akherat, pertenungan, dan masih banyak lagi, menjadi perkara-perkara ghaib bagi manusia karena tidak ada bukti empiris secara kasat mata, sehingga bisa dijabarkan dalam urutan kalimat ilmiah yang logis, karena pengetahuan membutuhkan hukum evolusi dan sebab akibat yang berada dalam koridor dimensi ruang dan dimensi waktu.

Apapun itu, entah tuyul, pocong, kuntilanak, dan sejenisnya yang populer di masyarakat kita, seyogyanya menjadi kecemasan sang jati diri untuk tidak berkubang pada sifat-sifat tuyul, pocong, kuntilanak yang bersemayam di hati tiap individu.

Yaitu, sifat-sifat kekanak-kanakan, mengambil barang orang lain yang bukan haknya, ingin tampil putih seakan bersih suci atau ingin tampil rupawan. Terlebih dari itu, sifat arogan yang membuat perasaan orang lain tak nyaman dengan kehadiran kita, bahkan tak nyaman ketika menyebut nama kita.

Dengan kata lain, sifat jin atau sifat api dan angin yang selalu meninggikan dan menuhankan ego diri dalam ketakaburan harus selalu ditangkap, dikekang, dan dijaga agar tidak gentayangan baik malam maupun siang.
RD Sukmana 9/2/2012

Tidak ada komentar: